Ali Mahsun

Pengabdi di MTs Negeri 1 Grobogan Jawa Tengah, mata pelajaran bahasa Inggris. Ingin mempererat silaturahmi, hubungi di [email protected] ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menaja Asa di Bukit Kamulyan (part 4)
Gambar (Hanya pemanis): www.livejapan.com

Menaja Asa di Bukit Kamulyan (part 4)

Berkunjung ke tokoh-tokoh masyarakat.

Seje deso, mowo coro”, pepatah bahasa Jawa yang kira-kira berarti masing-masing daerah memiliki perbedaan dalam pola pergaulan sehari-hari dengan sesama. Hal yang sama aku temukan di tempat baruku, lokasi KKN kali ini. Mulai dari kebiasaan kegiatan sedari bangun pagi sampai menjelang tidur, hingga makanan dan minuman yang menjadi ciri khas daerah itu. Cara memperlakukan tamu yang datang ke rumahpun, mengalami perbedaan yang cukup menyolok.

Di hari kedua saat itu, kami mengadakan observasi lapangan. Aktivitas pendahuluan itu kami laksanakan untuk mengetahui dan menyerap lebih banyak informasi tentang lokasi daerah yang kami tempati. Kami telah sepakat bahwa masing-masing diantara kita harus menemukan produk unggulan yang dapat dijadikan sebagai reportase, minimal ke koran kampus, syukur-syukur bisa dikirim ke koran atau majalah yang lebih besar.

Semua produk yang kami dapatkan selama observasi, akan kami catat semua. Sedangkan pilihan pembuatan laporan akan didiskusikan nanti malam di meja makan.

“Kamu akan membuat laporan tentang apa, mas? Fuad bertanya kepadaku setengah berbisik.

“Ntar dulu, lihat kondisi di lapangan.”

“Bukan gitu. Sepanjang perjalanan kemarin, kita kan sudah bisa memperkirakan produk apa, gitu loh.”

“Aah, mau nyontek ya?

“Eeh, siapa juga yang mau nyontek? Paling laporanmu tak sebagus laporanku kelak.”

“Iya, mas. Tolong dong! Seperti apa sih gambaran laporan yang akan kita buat? Bisik Dita yang berdiri di samping kiriku.

“Tenang, Dit. Laporan yang pas buat kamu, itu ya kuliner. Banyak tuh! nasi megono, soto tauto, lodeh cecek, kue corobikang dan bermacam gethuk.”

Aku memang sedikit tahu tentang kuliner khas daerah Batang, karena aku punya saudara jauh di kota Batang. Kami sering berdiskusi tentang makanan-makanan khas daerah masing-masing.

“Sialan lo mas. Emangnya aku hanya pantas ngurus makanan?” Jawab Dita setengah ngambek.

“Sudah, sudah. Kita lihat saja nanti di lapangan. Kita bisa saling bantu.” Burhani menengahi, berlagak bijaksana.

“Teman-teman, akan kita mulai observasi kita dari kampung barat menuju kampung timur.” Ade memberi isyarat untuk segera berangkat.

“Siap!” Jawab kami serentak

“Tujuan utama observasi ini adalah menjajaki kemungkinan-kemungkinan program yang dapat kita lakukan, sebagai pelaksanaan program yang telah kita sepakati bersama. Waktu observasi yang hanya beberapa hari ini, dengan wilayah desa yang bermedan berat, membutuhkan tenaga ekstra.” Kata Ade menerangkan.

“Insyaallah! kalau kita kompak, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan.” Aku menimpali, memberikan semangat.

“Pagi ini kita akan berkunjung ke rumah pak Kadus di dukuh Pager Gunung. Informasi dari pak Kades, dukuh ini merupakan dukuh terjauh, bermedan paling berat. Karena letaknya di seberang sungai bawah bukit itu.” Ade menunjuk sebuah bukit menjulang yang dipenuhi pohon-pohon karet, kopi, cengkih dan bermacam-macam pohon dataran tinggi lainnya.

Sesuai dengan apa yang dipesankan pak Kades tadi malam, bahwa dusun Pager Gunung merupakan wilayah paling ujung dan bermedan paling berat. Untuk mencapainya, sebetulnya kami bisa melewati jalan raya, tapi harus memutar sekitar tiga kilometer. Maka kami memutuskan untuk melalui jalan setapak, sekalian untuk mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya.

Tibalah kami di bibir sebuah sungai yang lebarnya kira-kira delapan meter. Air di sungai itu tidak begitu dalam, namun arusnya mengalir deras. Kecipak air yang mengalir diantara bebatuan, riuh rendah menyuarakan kegarangan alam yang kadang-kadang enggan bersahabat. Sehingga untuk menyeberanginya harus berhati-hati, karena batu-batu di dasarnya berlumut dan licin.

Mataku serasa termanjakan oleh panorama yang membentang di depanku. Pohon-pohon karet tumbuh subur di sepanjang tepian sungai, menambah syahdu suasana hati kami saat itu. Hamparan kebun teh menghijau, bak permadani indah menawan. Burung-burung kecil bersiul, bernyanyi diantara dahan-dahan pohon yang menjuntai di bibir sungai, menambah semarak hari itu. Sesekali, terlihat burung srigunting menukik menyambar mangsa yang sedang berenang di airnya yang jernih. Gemericik air, mengalir riuh di sela-sela bebatuan, besar-kecil yang berserakan memenuhi dasar sungai.

Surga dunia, mungkin inilah kata yang tepat untuk menggambarkan pemandangan yang kini aku berada. Surga, seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an itu benar-benar nyata berada di depan mataku. “Jannatin tajri min tahtihal anhar”, surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, terpampang indah di depan mata. Sungai yang mengalirkan air jernih, diapit dengan hamparan kebun karet yang meneduhkan pandangan. Di sana-sini, juga terhampar kebun kopi dan juga kebun cengkih milik warga, menampakkan buah yang sebagian sudah mulai merah meranum. Di tepi jauh ujung sungai, terhampar tanah lapang membentang, sangat tepat sebagai area perkemahan. Pemandangan alam yang indah mempesona, berkombinasi dengan kebun buah yang subur, memanjakan mata. Sayang sekali, tempat seindah itu belum ada yang melirik untuk dikembangkan sebagai tempat wisata.

Kutepis anganku, aku melompat ke sebuah batu besar di dasar sungai. Satu..., telapak kaki kanan mendarat tepat atas batu pipih. Dua..., lompatan kedua berhasil menaklukkan batu hitam berlumut. Aku hampir terjerembab, namun aku masih bisa menguasai diriku. Belum sampai aku pada lompatan ketiga, satu-persatu teman-temanku menyusul dari belakang. Sesaat aku bersiap untuk lompatan ketiga, namun tiba-tiba ...

“Mas, aku gak berani menyeberang. Aku takut air” Dita berteriak dari tepi sungai.

Menurut berita yang aku terima, Dita memang trauma dengan air, karena pernah akan tenggelam saat berlatih renang pada jam olah raga. Dia masih duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Sejak itu dia sangat ketakutan kalau harus menyeberang sungai atau laut.

“Ayolah kita coba, hanya sebatas lutut, kok Dit. Tidak ada jalan lain, kecuali menyeberang.” Kataku meyakinkannya.

“Tolong mas Burhan, Dita dibantu.” Kataku kepadanya, karena dialah yang berada paling belakang.

“Iya, Han. Tapi bantu lo ya.”

“Iyya, masih saja tidak percaya.” Kata Burhan agak jengkel.

Grobogan, 10 Juli 2020

#Cerpen (3)

#tantangangurumenulis_11_gurusiana.id

By: Mistersun

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

salam literasi. sukses selalu

11 Jul
Balas

Terima Kasih pak Syaiba. Salam literasi

11 Jul



search

New Post