Catatan Seorang Sejarawan
Tok... tok... tok. Suara ketukan pintu berulang-ulang.
“Pak bron.... Pak bron.... Pak Bron....”. Terdengar suara keras teriakan kebingungan. Ya suara itu bersumber dari pakde Temon. Anak nomor dua dari nenek yang bertempat tinggal di Purworejo. 3 hari sebelum nenek menghembuskan nafas terakhirnya pakde menginap dikediaman nenek, tidak tahu ada firasat atau kebetulan memang ingin berkunjung. Malam itu terasa sunyi sepi dan damai, tak ada satu suarapun terdengar sehingga tidur menjadi pulas.
Ayah, Ibu dan Adek tidak ada satupun yang terbangun biasanya mereka tengah malam bangun untuk mengecek keadaan simbah. Mungkin karena mereka kecapekan. Ayah dan Ibu ternyata pulang pukul 23.00an dari rumah nenek yang letaknya 5 meter dari rumah. Ayah dan Ibu silih berganti untuk menjaga dan merawat nenek. Nenek selalu ingin didampingi oleh sanak cucunya dan tidak ingin ditinggal pergi. Waktu itu terasa aneh, malam begitu lama.
“Pak Bron.... Mbahe tinggal........ Pak Bron.... mbahe sudah tidak ada....”. Terdengar suara semakin keras. Segera ku meloncat dari kasur untuk membangunkan Ayah dan Ibu. Terlihat baru pertama kalinya Ayahku menangis kaget.
“Astagfirullah...... gimana Make.... Ya Allah gimana make”. terdengar ucapan yang keluar dari bibir merah Ayah.
Ayah sangat ketakutan dan menghawatirkan ketika nenek sakaratul maut tidak ada yang menuntunnya, tak ada disamping orang yang kami sayangi. Ayah dan ibu terlihat sangat sedih kehilanga orang yang benar-benar kami sayangi. Dialah surganya Ayah. Dialah malaikat yang menyinari kehidupan kami. Bagaimana mungkin kami merelakan begitu saja kepergiannya?.. tapi bagaimana lagi, mau tidak mau ya harus Ikhlas. Itulah rencana terbaik Tuhan. Kami sangat menyayangi nenek tapi tak mampu berbuat apa-apa. Ikhals maupun tidak sama saja nenek tidak bisa hidup kembali. Ketidak ikhlasan justru membuat hidup kami semakin berat dan menyulitkan jalan nenek menuju alam barunya.
***
Mereka segera menuju ke rumah nenek, sedangkan aku bergilir membangunkan Adik. Aku dan adik segera menyusul. Aku hanya bisa menangis, tak bisa berkata apa-apa. Saudara yang lain sudah berkumpul bersama ayah, ibu dan adek, terus membacakan doa untuk nenek. Sedangkan aku yang saat itu sedang haid tak mampu mengirimkan doa untuknya. Aku hanya bisa menangis bersedih kehilangan. Untuk berkatapun terasa berat. Aku hanya menganggukan kepala jika aku meng iyakan dan menggelengkan kepala jika aku tidak mau. Aku terus menangis, tak tahu kenapa air mata keluar tak henti-henti. Aku ingin disamping nenekku. Aku tak mau jauh-jauh darinya. Aku ingin menemaninya. Aku hanya ingin selalu bersama nenek. “Maafkan aku nek yang tidak ada disisa terakhir hidupmu!” Aku ingin terus memeluk menciummu malaikatku.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un”.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un”.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un”.
Telah berpulang kerumah Allah nenek tercintaku. Kini tiada lagi kehangatan cumbu mesra dalam kehidupan kami.
“Seluruh hidupmu untukku, seluruh nafas mu untukku, hidup dan mati mu unttukku.” Kata yang pernah terucap dalam bibir tipis nenekku.
Nenekku, Pahlawanku, Malaikatku, Penjagaku. Beliau Ibu dari ayahku. Orang yang benar-benar tulus menyayangiku. Beliau orang yang telah merawat, mendidik dan mengasuhku sejak bayi hingga tumbuh menjadi anak yang pandai menggemasksan juga tentunya. Bukan karena kedua orangtuaku tak menyayangiku hingga aku dititipkan dengan nenek. Aku tahu mereka sangat sayang terhadapku. Untuk itu mereka berjuang sampai titik darah penghabisan demi kehidupan masadepan juga demi sesuap nasi untukku. Nenek tak ingin aku diasuh oleh orang yang tak menyayangiku dengan tulus. Mungkin itu alasan nenek yang ingin selalu bersamaku. Nenek meminta kepada Ayah dan Ibu agar aku diasuh dan dirawatnya ketika mereka pergi. Sebenarnya Ayah tak menyutujui permintaan ibunya itu. Ayah tak ingin menyusahkan nenek dihari tuanya. Namun sebagai anak yang berbakti ia mematuhi apapun permintaan Ibunya itu. Berkat keikhlasan dan ketulusan seorang nenek yang sudah berambut paruh putih aku dapat tumbuh menjadi anak yang patuh, anak yang senang berbagi kasih sayang terhadap sesama dan anak yang tumbuh pintar. Nenek mengajarkanku banyak hal yang tak pernah kulupakan hingga akhir hayat.
Pergi secepat itukah dirimu? Kau pernah berjanji kepadaku. Kau akan selalu ada buatku, kau akan selalu menemani hari-hariku hingga aku bertemu pangeran berkuda yang datang menjemputku. Pangeran dunia akhiratku. Kau selalu berjanji dan mengulang janjimu kau akan melihat aku sukses, kau akan selalu melihat senyum bahagiaku dan akan mendampingiku saat hari bahagiaan itu datang dihadapan. Ah kau pembohong, kau ingkar janji. Aku marah kepadamu nek. Isak tangis terus bercucuran pada pipi yang sedikit lesung hingga mata itu lembam sipit. Kenapa cinta itu harus pergi secepat kilat? Sebenarnya aku kecewa terhadap diriku sendiri. Kenapa disaat nenek sakit keras, sangat membutuhkan sanak cucunya aku tidak lagi ada untuk menemaninya. Aku sibuk dengan skripsiku, dengan targetku lulus April 2018. Aku benci diriku sendiri. Aku sungguh menyesal tidak ada waktu untuk nenekku padahal beliaulah yang selalu ada sejak bayi. Aku belum mampu membalas jasamu, kau sudah tinggalkanku.
***
Sore sebelum nenek pergi aku masih berbincang-bincang dengannya.
“Nduk kapan lulus kuliahmu? cepet wisuda nenek pengen lihat kamu senyum bahagia, jadi pegawai, jadi orang sukses terus jadi manten!” katanya.
“Siap, besok April 2018 aku wisuda tapi janji ya nanti datang!”
Ya aku asal jawab seperti itu saja agar menyenangkan hati nenek. April adalah bulan wisuda paling cepat diperiodeku. Dikampusku ada 2 periode wisuda pertama di bulan April sedangkan ke dua bulan Oktober. Jika aku dapat menyelesaikan ujian sidang skripsi pada bulan maret kemungkinan masih bisa lulus 3,5 tahun walaupun harus jungkir balik karena waktu yang sangat mepet. Saat itu aku masih semester 7 kuliah di UNISSULA. Aku selalu kerjakeras untuk bisa lulus dibulan April 2018. Jatuh bangun, aku lakoni setiap hari, lembur tanpa tidur, bimbingan ditolak berkali-kali, hingga dosen menyuruhku ganti judul. Itu semua karena aku inggin melihat nenek bahagia. Aku ingin berbakti kepada nenek. Aku ingin membuktikan bahwa beliau dapat melihatku senyum bahagia. Namun takdir berkata lain. Tuhan lebih sayang Nenekku. Aku hanya menyesal tidak ada disampingya, aku menyesal nenek pergi disaat yang tidak tepat. Ia tak dapat melihat aku wisuda, ia tak melihat aku sukses dikemudian hari, ia tak dapat menemani di bangku pelaminanku nanti.
Sebelum nenek menghembuskan nafas terakhir dikediamannya. Nenek sudah sering sakit dan keluar masuk rumah sakit kurang lebih 13 bulan. Nenek difonis dokter menderita penyakit kangker. Namun karena kegigihan dan semangat juang yang tinggi melawan kangker pada pencernaanya itu, setelah lima kali kemoterapi nenek dinyatakan sembuh oleh dokter yang menanganinya. Alhamdulillah rasa syukur selalu tercurah pada Allah Tuhan semesta alam.
Sewaktu nenek masih ada, beliau suka bercerita kepadaku. Bukan hanya cerita rekaan seperti fiksi yang dimuat pada media cetak ataupun media sosial pada umumnya. Masih teringat jelas cerita nenek tentang zaman perjuangan, dimana Indonesia belum merdeka.Nenek mulai bercerita. Awalmulanya Belanda datang ke Indonesia untuk berdagang. Mereka mencari informasi tentang rempah-rempah karena kesukaan bangsa barat dengan iklim yang dingin. Para pedagang ini lama kelamaan memahami adat Indonesia. Akhirnya mereka memainkan sistem monopoli aktivitas dagang di Indonesia. Para pedagang tersebut kemudian membuat organisasi VOC. Sejak saat itulah mereka mulai memainkan pengaruhnya dibidang perdagangan ke berbagai wilayah Indonesia.
Meskipun VOC hanya sebuah perusahaan akan tetapi boleh membentuk tentara sendiri karena mendapat keistimewaan dari pemerintahan Belanda. Ribuan bala tentaranya diguakan untuk mengendalikan kepulauan yang ada di Indonesia. Persaingan dengan para pedagang barat menyebabkan beban yang berat bagi Belanda. Pemerintah Belanda memutuskan bahwa Indonesia dimanfaatkan sebagai sumber utama pendapatan bagi Bangsanya, untuk itu dimulailah sistem tanam paksa dengan ketentuan setiap petani diwajibkan menyerahkan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman berupa kopi, tebu, tembakau, karet, teh, pala. Beruntungnya lahan yang dipakai untuk tanam paksa dibebaskan dari pajak dan kegagalan panen bukan tanggung jawab petani, akan tetapi hasil panen diserahkan kepada Belanda. Selain itu dibidang pertahanan dan militer Belanda membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya. Membangun pangkalan armada laut di merak dan ujung kulon, membangun rel kereta api belakang rumah mu itu yang sampai saat ini masih digunakan, membangun jalan raya dari anyer sampai panarukan yang sampai sekarang ini masih digunakan yaitu jalan pantura. Rakyat Indonesia diajarkan tentang kemiliteran yang fungsinya untuk memperkuat pasukan Belanda. Nenek saat itu masih remaja, jadi juru masaknya mereka, jadi tentara yang lapar sudah ada yang masakin.
“oh pantesan masakan nenek sangat lezat itu belajar dari zaman penjajahan.” Kataku sambil meledeknya dikala itu.
“Tidaklah nduk, nenek kan terima ing pandum jadi nurut andume gustiallah jadi waktu dapat takdir jago masak masakan enak nenek langsung terima saja tidak ditukar-tukar sama sampingnya”. Jawabnya sambil tertawa.
“Kenapa nek?” Tanyaku sambil ketawa padahal aku tahu maksutnya itu hanya lelucon.
“Karena sampingnya nenek waktu pembagian takdir laki-laki”. jawabnya sepontan.
“Pantesan nenek awet cantik, pinter masak lagi ternyata gara-gara perempuan sendiri sayang gak punya gigi”. Ejekku pada nenek
“Haha... ha... ha...” aku tertawa nenek juga. “Lanjut lagi ya” kata nenek.
Saat itu banyak pekerja yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia karena kelaparan. Mereka dipaksa fokus untuk bekerja sehingga nasib mereka sendiri dan keluarganya tidak terurus. Pelaksanaan tanam paksa sudah jelas melanggar hak asasi manusia akan tetapi banyak juga hikmah yang bisa dipetik untuk kehidupan masyarakat dikemudaian hari. Berbeda cerita dengan zaman penjajahan Jepang yang licik dan lebih kejam lagi memperlakukan penduduk Indonesia.
Pada awalnya romusha disambut baik oleh Indonesia bahkan banyak yang bersedia menjadi sukarelawan. Namun semua itu berubah, pengerahan romusha menjadi keharusan bahkan paksaan hal tersebut membuat rakyat Indonesia menjadi sengsara. Semua dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa diberi imbalan, bahkan kehidupan yang layak, apalagi diberi upah, sehingga banyak dari mereka yang gugur mengenaskanS. Selain itu banyak juga tenaga kerja wanita Indonesia yang dijadikan penghibur bagi tentara-tentara Jepang. Ketika Indonesia masih dalam penjajahan Jepang sistem ekonomi yang diterapkan ialah sistem perang. Saat itu Jepang menguasai sumber bahan mentah dari Indonesia. Jadi begitulah kondisi bangsa kita dahulu ketika berada dibawah penjajahan Jepang. Banyak kebijakan yang dikeluarkan justru menyengsarakan rakyat Indonesia dengan cara yang tidak berkemanusiaan menguasai SDA dan SDM Indonesia.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar