Ketika Mimpi Harus diperjuangkan
Ketika mimpi harus diperjuangkan
Ku tengok, liku kehidupan ku beberapa tahun silam. Ku lalui hari- hari ku dengan sejuta warna. Indahnya goresan luka yang membuatku bangkit dari keterpurukan. Tujuan dalam hidup ku hanyalah satu Ridhailah ketulusan hati ku ya Rabb, sehingga ibu ku bisa bahagia melihat perjuangan hidup yang aku alami tak kan sia-sia.
Teringat selalu dalam benak ku, bapak dan ibuk ku broken home ketika aku masih berada di gendongan, entah apa yang membuat perceraian melanda keluarga ku? Hingga saat ini pun akau tak pernah tahu apakah bapak ku masih hidup atau telah di musiumkan dalam bumi pertiwi.
Beberapa tahun kemudian Ibu ku menikah lagi. Awalnya Ibu menolak tetapi peria itu selalu merayu dengan sejuta pesona dan memberikan janji-janji palsu. “Aku akan berjanji padamu, aku akan menyayangi anak mu seperti anak ku sendiri dan kita bisa hidup bahagia hingga ajal menjemput kita.” Itulah kalimat yang masih terngiang dalam fikiran k.
“dasar lelaki buaya darat” gumamku
Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, diriku selalu di hina oleh ayah tiri yang biadab, namun ibu ku tak kan pernah terima dan akhirnya adu mulut pun terjadi. Aku merasa bersalah “gara-gara aku, bapak biadab itu selalu ada konflik dengan ibuk .”Keluh ku dalam hati.
“Kamu itu anak gak tahu di untung. Pergi kamu!!!!!” Bentak bapak tiriku. Aku tak tahu apa salah aku sehingga bapak tiriku membenciku. Aku diusir dengan tangan kosong. Namun ibuku tak bisa berkutip apa-apa, hanya isak tangislah yang aku dengar, sungguh malang nasib ku.
Saat itu juga aku memutuskan untuk tinggal di rumah nenek. Berjalan kaki hingga puluhan Km, alhamdulillah ada seorang pemuda yang memberiku tumpangah hinga akhirnya sampai tujuan juga, mungkin karena wajah melasku muncul yang membuat pemuda itu merasa iba.” Kasihan sekali kamu nak, kamu kenapa menangis, dimana rumah mu?” tanya pemuda itu dengan santun.
Aku terdiam dan tak sepatah katapun keluar dari mulutku, aku masih menangis dan semakin aku ditanya banyak hal, tangisan air mata ini semakin kencang.
“Kamu lapar nak?” sekali lagi pemuda itu bertanya.
Sudah sekian kalinya pemuda itu bertanya baru aku respond “kak tolong anterin aku pulang”
Namun aku juga bingung mau pulang kemana? Setelah aku fikir-fikir apa sebaiknya tinggal bersama nenek, tapi nenek hidup dengan sederhana makan saja terkadang masih kekurangan, aku sebenarnya tidak tega namun aku tak tahu harus kemana lagi? Neneklah satu-satunya keluarga aku.
“huft” ku hembuskan nafasku dengan lega.
“Lia..... kowe rene karo sapa nduk?” Tanya nenek ku yang tak mengerti bahasa indonesia, walaupun beliau asli orang indonesia namun hidup di zaman penjajahan dahulu.
Gumpalan-gumpalan awan menyatu semakin lama semakin gelap, terutuplah bagaskara yang menyinari panorama pedesaan ini.
Tik....tik....tik.... hujan mengguyur rumah warga, gemelur petir berkumandang membuat diri ini ketakutan. Nenek memeluk erat tubuh ku sambil membaca doa-doa kuno yang tak aku mengerti. Banyak genting atap rumah nenek yang bocor tapi apa boleh buat? Nikmati saja sedikit guyuran hujan yang masuk ke rumah.
Sumurup semakin mendekati waktu, ba’da salat magrib nenek melantunkan beberapa kalimat tausiah. Walaupun masih beranjak remaja aku benar-benar faham maksud dari tausiyah nenek tadi.
Usai salat isa’ aku bertanya kepada nenek. “Nek, seandainya aku melanjutkan Sekolah Menengah Atas gimana?
Malam itu nenek hanya bisa membalas dengan senyuman kecil.
Hari berikutnya aku meminta penjelasan kepada nenek, kenapa nenek tidak merespond pertanyaan ku. Akhirnya jawaban yang aku tunggu-tunggu tidak keluar dari mulut nenek.
Hari demi hari ku lalui dengan membantu nenek di kebun, walaupun bukan kebun senidiri aku semangat membantu nenek. Asal kalian tahu jadi buruh itu tidak enak, seharian bekerja dari mentari belum terbit hingga terbenem hanya mendapatkan uang 25 ribu itu pun kalau ada orang yang menyuruh kerja.
Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit itulah pepatah yang sering aku utarakan dengan nenek agar diperbolehkan melanjutkan sekolah sehingga aku bisa menjadi orang yang lebih baik. Aku sadari bahwa kemampuanku otak ku biasa-biasa saja tidak sepandai tupai melompat.
Ambisius ku untuk masuk Sekolah Menengah Atas semakin menggebu-gebu karena waktu pendaftaran sudah mulai selesai. Nenek masih saja melarang aku untuk sekolah karena dana, padahal aku sudah memberi pengertian nenek, sedih, pilu dan galau yang aku rasakan saat itu.
Aku sudah putus asa, aku hanya bisa terdiam sejenak untuk meluluhkan hati nenek ku, namun faktanya nenek tetap besi kukuh terhadap pendiriannya. “Ih sebel............” bentak ku pada nenek
“Astagfirulloh hal adzim.....” sambil mengelus dada. Aku keterlaluan tak sepantasnya aku membentak nenek ku seperti itu, aku egois banget, dari situ aku sadar aku tak pernah mengeluh lagi sama nenek untuk minta sekolah.
“Hari ini nenek tidak pergi ke kebun, nenek mau mengantarkan kamu ke suatu tempat” kata beliau
Aku masih belum faham apa yang barusan di bilang nenek, yasudahlah aku ikuti saja perintah nenek.
Berjalan 100 meter ke utara menuju jalan raya. Sebuah mini bus di stop nenek “kiri-kiri pak!”
Aku masih tidak mengerti, nenek mau mengajak aku pergi kemana. Aku sempat berfikir negative thingking terhadap nenek dalam hatiku “ apa nenek mau menjual aku gara-gara tak mau nurut dan membangkangnya, gara-gara aku agresive ingin sekolah?”
Beberapa pernyataan muncul di benakku “aku harus bisa kabur lari nih, kalau sama-sama lari pasti nenek tidak bisa mengejar karena sudah tua.”
Ketika seorang kondektur itu memberi kode berhenti kepada pak sopir karena ada penumpang yang mau naik,dengan kekonyolan saya, bergegas lari kebelakang meninggalkan nenek sendiri.”
“Loh, loh lia..... mau kemana kamu?” nenek teriak-teriak dalam bus seperti orang yang sedang kecopetan.
Banyak orang yang menolong nenek, jadi aku terdesak banyak orang sehingga tak bisa meloloskan diri. Akhirnya nenek dan aku jalan kaki gara-gara udah turun dari mini bus itu. “Kamu itu sebenarnya mau nenek daftarin sekolah apa tidak?” bentak nenek dengan nada halus, sebab nenek lia itu tidak bisa bicara kasar.
“oalah nenek, tak pikir mau nyulik aku lalu dijual. Hahaha” kami tertawa terbahak-bahak
Aku sangat menyesal telah menuduh nenek yang tidak-tidak, tapi lucu juga sih hehe... padahal jika mau daftar sekolah kan harus membawa syarat-syaratnya, menganggap mudah saja si nenek.
Tok...tok...tok.... suara pintu dari ruang tamu kiranya, ini jo tolong antar lia nyari sekolah, kemaren itu tidak jadi daftar sekolah gara-gara itu anak kabur. Cetus nenek.
Setelah menunggu pengumuman selama 2 minggu akhirnya diterima lia di terima disekolah Menengah Kejuruan Luar Negri yaitu Swasta. Walaupun bukan seperti yang diharapkan lia sekolah di Sekolah Menengah Atas Negri, tapi itu sudah lebih dari syukur karena neneknya membolehkan ia untuk melanjutkan sekolah.
Lia setiap pagi membawa jajanan dari rumah untuk dijual di sekolahannya, bertujuan agar bisa membantu meringankan beban neneknya. Lebih bersyukur lagi ketika lia membayar uang sekolah selalu telat namun pihak sekolah telah memaklumi karena sudah tahu kondisi kehidupan sehari-hari Lia.
Tuhan itu maha adil, Tuhan itu maha tahu, Tuhan itu maha Kuasa
Terimakasih ya Tuhan atas limpahan Rahmat MU yang kauberikan untuk keluarga aku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar