Alviona Nurul

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Percakapan dalam Konteks Teori Kesantunan

Percakapan dalam Konteks Teori Kesantunan

Pendahuluan:

A. Latar belakang 

Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks eksternal bahasa dan maknanya melalui interpretasi konteks linguistik.Prinsip pragmatis mencakup studi bahasa, tujuan dan sintesisnya. Pragmatik mengkaji makna kontekstual atau situasional dalam hal pengaturan tempat dan waktu, partisipan, subjek, dan mode komunikasi.Teori pragmatis digunakan untuk menilai nilai yang dikandung karya sastra bagi pembaca tertentu atau tujuan mata kuliah. Pragmatisme memiliki prinsip, salah satunya adalah prinsip kesantunan yang digunakan untuk mencegah  bahasa digunakan dengan asumsi praktis.Narasi mencakup pernyataan penolakan atau penerimaan panggilan, saran, atau permintaan orang lain. Penolakan karena jawabannya tidak adalah fungsi utama dari komunikasi verbal.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana percakapan dalam konteks teori kesantunan?

C. Tujuan Penulisan

Persyaratan  untuk UTS Pragmatik 

 

Pembahasan :

Dalam percakapan bahasa Indonesia,  penutur terlihat mengandung kata, frasa, atau konstruksi tertentu yang sesuai dengan tanda kesantunan.

Seperti halnya tuturan A pada unit dialog (6) dan (7), sapaan juga dapat menjadi tanda kesopanan.

A, B dan beberapa teman pergi mengunjungi bos mereka.

(6)A:Assalamualaikum Kyai bisa menerima tamu pada Selasa malam. tidak usah buru-buru 

 B: OKE. Selesai.

Konteks: 

 A dan B dan beberapa teman ingin mengunjungi pendeta mereka. Teman-temannya menyarankan agar A meminta informasi kepada Kyai tentang kapan dia bisa bertemu  A dan teman-temannya.

(7) A : Dari 52 nama yang terkumpul, hanya 29 nama Fakultas dan Jurusan Ekonomi.

Selain sapaan, satuan fonetik (6) dan (7) juga dapat digunakan untuk menyatakan terima kasih, seperti yang ditunjukkan pada satuan fonetik.

Dalam istilah sehari-hari, kesopanan/ kesantunan sering disertai dengan kesopanan, seperti B.

Tentu saja, yang baru dalam teori sastra Brown dan Levinson adalah persepsi wajah atau penggunaan gambar wajah seseorang.

Goffman pertama kali menggunakan istilah “wajah” pada tahun 1967, dalam hal ini diterjemahkan sebagai wajah atau potret diri.Muka adalah istilah untuk citra atau rasa diri yang berakar secara emosional yang dapat disakiti, diabaikan, ditekan, dilindungi, dipelihara, dimanipulasi, diasuh, dll.Kebutuhan non-fisiologis adalah kebutuhan non-fisiologis untuk bertahan hidup berbeda dengan kebutuhan fisiologis.

Kebutuhan ini didasarkan pada keinginan sebagai berikut:

(1) keteraturan dan stabilitas;

(2) Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Kebutuhan rasa aman memiliki kesamaan dengan kebutuhan non-fisiologis lainnya, yaitu kebutuhan berafiliasi,kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan pengetahuan dan pemahaman, dan kebutuhan estetika.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan berpakaian merupakan bagian dari kebutuhan rasa aman dan merupakan kebutuhan dasar non fisiologis.Dalam hal ini, kebutuhan non esensial adalah kebutuhan yang muncul dari keinginan untuk meningkatkan nilai, seperti kebutuhan akan kesempurnaan dan kebutuhan akan keadilan, kekayaan, kebaikan, eksklusivitas, dan kebahagiaan.

Faktor lainnya adalah orang lain dipengaruhi oleh pembicara atau pendengar. Dengan kata lain, semakin berpendidikan pembicara, semakin banyak makna tidak langsung yang disampaikan dan semakin bebas pembicara.Dalam hal ini, Anda harus berhati-hati.Apakah kerendahan hati yang berlebihan mengarah pada ironi pragmatis?

Ungkapan kesantunan adalah aturan tata bahasa untuk komunikasi verbal, Aturan perilaku, bahasa mereka, interpretasi tindakan dan pernyataan lawan bicara.

Selain itu, peribahasa juga dikenal sebagai bentuk praktis, yang didasarkan pada prinsip kerja sama dan kesopanan.

Pepatah ini mendorong kita untuk mengungkapkan keyakinan kita dengan sopan dan menghindari bahasa yang vulgar. Sopan santun adalah fenomena nyata.Kesopanan tidak terletak pada bentuk dan kata-kata, tetapi pada tujuan dan makna sosial yang ditunjukkannya.Jika pembicara mengucapkan bentuk yang lebih sopan daripada yang diminta konteksnya, pihak lain akan mencurigai adanya makna tersembunyi tertentu di dalamnya.

Kesopanan berbeda dari rasa hormat, yang merupakan ekspresi formal dari jarak dan rasa hormat kepada seseorang dengan status lebih tinggi, seringkali dengan preferensi tersirat.Karena sastra adalah fenomena pragmatis, ia dipengaruhi oleh konteks.

Ada dua situasi yang mempengaruhi, yang pertama adalah tingkat pembatasan, aturannya adalah: “Semakin banyak ekspresi yang dibatasi, semakin sedikit ekspresi langsung.” Misalnya, ketika kita ingin meminjam uang, biasanya kita berkata: “Jika kamu tidak membutuhkannya sekarang, bisakah aku meminjam setengah juta?” Semakin formal acaranya, semakin tidak langsung ekspresinya.

Pilihan bentuk hukum tergantung pada jarak sosial dan otoritas antara para pihak. Dengan social distancing, pendidikan terbebani dan banyak pembicaraan tidak langsung. Ketika jarak sosial berkurang, begitu pula kesopanan negatif dan tidak langsung. Variabel yang menentukan jarak sosial meliputi kedekatan, perbedaan status, peran, usia, jenis kelamin, pendidikan, kelas, pekerjaan, dan ras.

Misalnya, cobalah untuk tidak membuat jarak antar teman,  jika seorang teman mengatakan “terima kasih untuk secangkir kopi”, itu akan menyebabkan kesalahpahaman dan perselisihan di antara kalian.

3. penutup

Kesimpulan

Prinsip kesantunan merupakan kaidah komunikasi untuk menyelaraskan pembicara dan lawan bicara. Kesantunan negatif adalah kesantunan yang memiliki muka negatif untuk dikenakan dan orientasi menyelamatkan muka yang negatif. Kesantunan positif adalah kesantunan dengan muka positif dan sikap selamat muka yang positif.  

 

 

Sumber :

Brown, P.dan Yule, George. 1983. Discourse Analysis.Cambridge: CUPChaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Gunarwan, A. 1992. Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta. Dalam B. Kaswanti-Purwo (Ed.), Pellba 5. Yogyakarta: Kanisius.

Kuntarto, E. 1999. Strategi Kesantunan Dwibahasawan Jawa-Indonesia Kajian pada Wacana Lisan Bahasa Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.

 

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren banget kak artikel nya, semangat terus

19 Apr
Balas

Terimakasih kak..

01 May
Balas



search

New Post