Alvonsus Glori A, S.Pd., Gr., M.Pd

Lahir di Kota MalangHobby : menulis dan membaca bermusik melukis hiking Profesional: 1. Penulis 2. Guru Bah...

Selengkapnya
Navigasi Web
KESUKSESAN PENDIDIKAN TERGANTUNG DARI MINDSET GURU !!
Alvonsus Glori

KESUKSESAN PENDIDIKAN TERGANTUNG DARI MINDSET GURU !!

Seringkali kita mendengar kata mindset. Konsep mindset dapat membedakan individu satu dengan individu lainnya. Lebih simpelnya, Mindset merupakan cara berpikir yang terbentuk dari keyakinan seseorang sehingga mampu memberikan pengaruh perilaku dan sikap seseorang.

Prof. Carol Dweck, seorang ahli psikolog Stanford University dalam bukunya yang berjudul “Mindset”, dengan jelas menyatakan bahwa cara berpikir seseorang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: cara berpikir tetap (Fixed Mindset) dan cara berpikir berkembang (Growth Mindset).

Seorang yang memiliki fixed mindset rata-rata memiliki sifat menolak tantangan baru, menganggap kerja keras sebagai sesuatu yang sia-sia dan tidak suka menerima kritik. Terlebih bila ada orang yang lebih hebat menjadi sangat sinis dan menganggap sebagai penebar benih persaingan karena adanya ancaman. Orang – orang seperti ini rata-rata menjadi arogan dan sering membanggakan pencapaian masa lalu (Susah move on).

Sedangkan growth mindset adalah sebaliknya. Mereka berani menerima tantangan dan pelajaran yang belum pernah dikuasai, tidak mengeluh, melihat usaha atau latihan sebagai bagian untuk menjadi mahir dan lebih cakap, mau menerima nasihat, saran dan kritik konstruktif serta mendapat insight dari kesuksesan orang lain.

Saya mengajak sahabat gurusiana, dan guru di seluruh penjuru nusantara untuk memaknai ilustrasi mengenai mindset dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Carol Dweck tentang anak-anak pandai yang berpotensi gagal dan anak-anak tak pandai yang berpotensi sukses.

Dalam studi kasusnya, Ia membagi dua kelompok anak-anak. Kelompok pertama adalah anak-anak berprestasi tinggi dan sadar dikenal sebagai anak pandai di suatu sekolah, dan selanjutnya adalah kelompok kedua yang terdiri dari anak-anak yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja dan ketika ditanya menjawab “I am Survive”, yang jelas mereka bukanlah “anak pintar”.

Kedua kelompok anak-anak ini telah diwawancarai dan diberi beberapa soal, terdiri dari yang mudah (sudah pernah diajarkan) sampai yang sulit (belum pernah diajarkan dan menyusahkan). Pada pelaksanaanya, ternyata anak-anak kelompok pertama banyak protes ketika mengerjakan soal-soal sulit yang belum diajarkan dan mereka menolak mengerjakan. Lembar jawaban tak diisi dan mereka mengatakan bahwa “soal yang diujikan ini belum dipelajari. Mungkin karena mereka pandai maka mereka tahu apa yang mereka ketahui dan yang tidak diketahui. Sedangkan kelompok kedua, anak-anak yang mengaku “survive” tadi justru mengerjakan semua soal. Mereka tak peduli dengan soal, apakah itu sudah diajarkan atau belum. Mereka tidak protes, tidak peduli dengan image mereka, sekalipun nilainya akan jelek dan dinilai tidak pandai.

Setelah menjalankan tes, semua anak diajak bicara dan diminta menuliskan surat kepada seseorang tentang pengalaman mereka selama ikut eksperimen. Ternyata anak-anak dari kelompok pandai melebih-lebihkan diri mereka, bercerita lebih hebat dari yang bisa atau mereka kerjakan. Sedangkan kelompok kedua bercerita apa adanya, sesuai yang mereka rasakan.

Fixed Mindset: Muara sebuah kegagalan

Setelah melalui analisis dan wawancara mendalam, Carol Dweck menemukan dua tipe manusia yang menentukan sikapnya terhadap sukses atau gagal. Ia mengatakan begini, “After seven experiments with hundreds of children, we had some of the clearest findings I’ve ever seen. Praising children’s intelligence harms their motivation & harms their performance. How can be? Don’t children love to be praised ?”. Tentu saja, mungkin sebagian dari kita senang dipuji. Khususnya pujian bakat dan kecerdasan. Lanjut ia mengatakan “But only for the moment. The minutes they hit a snag, their confidence goes out the window and their motivation hits rock bottom. If success means they are smart, then failure means they are dumb. That’s the fixed mindset”.

Prinsipnya, pandai atau tidak pandai, muaranya akan pada kegagalan kalau setting pikirannya adalah fixed mindset.

Permasalahannya adalah bahwa sebagian dari kita juga selalu mengukur kecerdasan hanya dilihat dari kemampuan belajar berdasarkan nilai kertas saja, bukan dilihat dari aspek seperti bagaimana kemampuan mengelola hidup, bagaimana respon dalam menghadapi setiap kesulitan.

Intinya, kalau seseorang sudah percaya bahwa dirinya sudah jago, sudah pandai dan terbiasa juara, bisa jadi merasa sudah puas, sudah selesai, sudah hebat dan sudah cukup. Kemudian fixed mindset membentuk cara berpikirnya dan membawa kecenderungan seperti merasa paling pandai sehingga tak berani mencoba hal-hal baru. Setiap kali mencoba hal baru dan hasilnya dinilai kurang bagus menjadikannya sangat mudah kecewa dan mengungkapkan rasa kecewanya melalui media sosial. Menggerutu, menyalahkan keadaan, bahkan orang lain.

Mereka lebih cenderung tidak bisa menerima kenyataan jika orang lain dinilai lebih baik dari dirinya.

Pada akhirnya timbul rasa iri, sikap sulit menerima tantangan, enggan mencoba hal baru yang sama sekali tak dikenal dan belum dipelajarinya. Sering mengeluh dan menolak menghadapi kesulitan. Mereka tak mudah menerima kritikan, otaknya mudah “stress” bila mendapat kritikan. Padahal kalau ingin berkembang, orang butuh “advice” dari orang lain, yak an?

Growth Mindset: Langkah awal meraih kesuksesan

Itulah faktor yang membuat orang pandai hanya berada dalam batasan yang dibuatnya sendiri. Sementara yang merasa “survive” bisa tumbuh dan berubah. Orang yang “survive” seringkali merasa kurang pandai dan akan terus mencoba dengan segala kemampuannya.

Maka, bukan awal yang menentukan sesuatu. Tetapi bagaimana respon yang kita berikan atas rintangan perjalanan. Itulah yang disebut Carol Dweck sebagai Growth Mindset.

Dalam bukunya Carol Dweck juga mengatakan “When you read about an athlete that wins over and over, remind yourself. More than ability, they have character”. Bahwa fondasi karakter itu dibentuk sejak kecil, dipertajam saat dewasa dan dikoreksi oleh pengalaman yang “keras” untuk membongkar keangkuhan (terbentur, terbentur, terbentuk : Tan Malaka).

Maka pemikiran saya, apapun bentuk pencapaian adalah sesuatu yang patut dibanggakan, penting untuk dihargai. Tetapi, jangan mudah puas dengan prestasi gemilang kalau tidak didukung dengan pembentukan mindset berkembang. Bukan tidak mengapresiasi atau demotivasi, karena setiap individu perlu memiliki “self regulation”. Kalau menurut Rhenald Kasali, seorang mentor sekaligus guru besar di FEUI mengatakan bahwa “self regulation” sangat penting agar kita terlatih meregulasi diri, mengaktifkan self control agar lebih berani terbuka terhadap perubahan sehingga memiliki kemampuan adaptasi, respek terhadap perbedaan dan keunggulan orang lain serta mau mencoba hal baru dengan penuh percaya diri dan berani melakukannya.

Suma Atmaja, psikolog yang juga ahli Bahasa Inggris menyatakan bahwa orang yang memiliki growth mindset pasti berani memberi dan menerima segala sesuatu, karena mereka berangkat dengan tekad yang bulat untuk terus belajar dan mengolah setiap pengalaman yang telah dilakukan berdasarkan kebenaran (memiliki orientasi value). Dalam bahasa jawa terdapat istilah “kendel” yang memiliki arti berani. Menjadi bagian penting untuk membangun kontemplasi diri menjadi titik moderasi untuk terus bertumbuh “Sesnse of language”, (Suma Atmaja). Dengan kata lain tidak hanya & tidak asal memiliki keberanian tetapi karena keberanian itu bersumber dari kebenaran “profetis”.

Saya sepakat bahwa pujian itu penting, tetapi hidup dalam pujian juga bisa bahaya. Oleh karena itu, growth mindset mampu mengendalikan diri agar kita tidak terjebak dengan pencapaian masa lalu dan menjadi kekuatan menghadapi bentuk rasa takut, seperti takut menghadapi kesulitan dan takut akan gagal.

Sebaiknya, kita bisa belajar dari pengalaman orang – orang yang awalnya sulit, penuh dengan tantangan, penuh dengan rasa tidak nyaman namun akhirnya bisa bangkit dan berkembang. Demikian juga dengan sahabat gurusiana, dan seluruh bapak/ibu guru dari sabang sampai merauke kalau diantara kita merasa belajarnya masih susah, selalu mengeluarkan effort besar dalam mendapatkan sesuatu, tetap harus berani, pantang menyerah, pantang membenci, pantang iri, terus berproses dan mencari jalan dan terobosan. Ingat, kalau “jalan” terasa berat, berarti hidup kita sedang menanjak menuju arah yang lebih baik. Dan pandai maupun tidak pandai bukan masalah. Tetapi persoalannya ada pada mindset yang terdapat dalam pikiran kita masing-masing.

Selamat berproses, Salam Profetis!

Referensi :

· Carol S. Dweck – Mindset, 2017

· Rhenald Kasali, “Growth Mindset”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sangat menarik dan edukatif

09 Apr
Balas

Terima kasih, salam maju

09 Apr

Salam maju

09 Apr

Mantap, ulasan yang lengkap! Growth mindset akan membuka pemikiran untuk terus maju dan menerima banyak tantangan untuk menjadikan pribadi yang luar biasa. Sukses terus Mas.

09 Apr
Balas

Salam literasi, semoga bermanfaat bagi semua mahkluk

09 Apr



search

New Post