Amalia Damaianti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Salah Kaprah

Tantangan hari ke- 1#

Mataku mulai mengantuk. Dari kemarin masih saja susah terpejam. Kupandangi perempuan yang sedang rebahan di dekat pintu tendaku. Tampaknya begitu kelelahan. Ia baru saja kehilangan bayinya. Seorang lelaki paruh baya duduk di sampingnya.

“Mbok, ya, sudah. Mau menyalahkan siapa lagi?”, kata lelaki itu seraya memandangi perempuan di sampingnya.

“Ya, salahkan Tuhan! Siapa lagi yang mau disalahkan?”, jawaban ketus dari mulut perempuan itu. Aku tersentak kaget mendengarnya.

“Nyebut!Nyebut! Masih untung Bune diberi kesempatan. Lihat mereka yang sampai sekarang belum ditemukan juga jasadnya. Bersyukur, masih ada aku.”, menenangkan perempuan itu. Lelaki itu memang begitu sabar.

“Berapa lama kita kepengen punya anak? Katamu, Tuhan Maha Mengabulkan. Berapa lama kita menunggu keajaiban Tuhan? Katamu, Tuhan Maha mendengarkan. Berapa kali aku kehilangan jabang bayiku? Katamu, Tuhan Maha Berkehendak, bukan? Lalu, saat kesempatan punya anak tinggal sekali, kamu lihat kehendak Tuhan? Apa lagi yang mau kamu katakan tentang Tuhan?”, membentak laki-laki di sampingnya.

“Waktu Bune diseret ombak dan kaki Bune nyangkut di selokan, siapa yang menolong? Kurang baik apa Tuhan sama Bune?”, perempuan itu terdiam. Ia berbalik badan memunggungi laki-laki itu. Kerutan dahinya semakin menebal. Masih saja nggedumel tanpa mempedulikan omongan lelaki itu. Ia sudah biasa seperti itu. Setiap kali keinginannya belum terlaksana selalu saja mengadu. Tidak pernah mau manut. Ya, begitulah suasana mereka. Sebelum tidur di tenda itu juga sudah ramai. Memang ia begitu mengharapkan suara bayi di rumahnya. Jadi, orang-orang di sekelilingnya sudah paham.

Orang-orang keluar masuk tenda. Ada yang sibuk membagikan makanan. Ada yang memilih-milih pakaian dari kardus bantuan. Bahkan ada yang tampak resah menunggu kerabatnya yang sejak musibah itu terjadi belum juga ditemukan. Sedari tadi aku juga tidak tau harus bicara dengan siapa. Rasanya telingaku penuh dengan obrolan dua orang tadi. Masih untung perempuan itu ditemani suaminya. Lah, aku? Ah, sudahlah. Barangkali ini hukuman untukku.

“Gampang sampeyan, lah aku yang setiap hari membawanya kemana-mana. Sembilan bulan. Siapa yang bawakan makanan kalau sampeyan melaut? Siapa yang kesana kemari cari pinjaman kalau hasil melaut sampeyan tidak cukup?” masih saja suara perempuan itu membuat telingaku risih.

“Kuun fayakuun, Bune. Kalau Tuhan sudah berkehendak, mau sebahagia apapun kita bisa saja sekejap hilang. Sekarang makan dulu mi nya. Sudah dibuatkan, keburu dingin,” diambilkannya mi instan dalam mangkuk kuning itu. Tangan kanannya tidak bisa berfungsi seperti biasanya. Menurut saksi, tangannya sempat masuk di antara jendela warung tempat biasa orang-orang membicarakan keburukan keluarga mereka, termasuk perempuan itu.

Dalam sekejap daratan hancur. Anehnya, suaminya yang saat itu sedang melaut selamat meskipun sempat tersangkut di sekitar mangrove. Calon bayinya tidak terselamatkan. Itu yang membuatnya semakin tidak terima.

Masih kupandangi sekelilingku, barangkali ini hanya bunga tidur. Lelaki itu benar, Kun faya kun. Jadilah, maka jadilah ia. Tidak hanya mereka yang kehilangan. Bahkan yang sudah kubesarkan hingga jadi anak yang baik saja hilang seketika, hanyut dibawa arus. Mau menyalahkan siapa? Tuhan?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post