Amdai Yanti Siregar

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGENANG 73 TAHUN PERISTIWA PERTEMPURAN LENGKONG 1946

MENGENANG 73 TAHUN PERISTIWA PERTEMPURAN LENGKONG 1946

Apa itu Peristiwa Pertempuran Lengkong?

Bagi anda yang melintasi jalan yang membentang antara Grogol-Kali Deres,Tangerang, tentu sering melihat Jl. Daan Mogot. Tapi, tahukah anda, siapakah Daan Mogot itu? Mengapa nama Daan Mogot digunakan sebagai nama jalan yang cukup panjang? Biasanya, nama jalan raya menggunakan nama-nama Pahlawan/orang yang berjasa terhadap negara.

Daan Mogot terlahir dengan nama Elias Daniel Mogot. Lahir di Manado, 28 Desember 1028. Putera pasangan Nicholaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Anak kelima dari tujuh bersaudara. Biasa dipanggil Daan Mogot.

Pada tahun 1939, keluarga ini pindah ke Batavia (Jakarta). Saat itu Daan Mogot berusia 11 tahun. Pada tahun 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Pada tahun itu, Daan Mogot direkrut sebagai Seinen Dojo (Pasukan paramiliter bentukan Jepang, di Tangerang), saat berusia 14 tahun. Karena prestasi dan kepandaiannya selama pendidikan militer, Daan Mogot dipromosikan menjadi Pembantu Instruktur Pembela Tanah Air (PETA) di Bali, pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot bersama beberapa perwira PETA (Shodancho) lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali. Bali merupakan daerah pertahanan strategis dan tempat pendaratan potensial. Pihak Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot untuk melatih. Pada tahun 1944, Daan Mogot harus kembali ke Jawa, ditempatkan sebagai Staf di Markas Besar PETA di Jakarta.

15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu. 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR), dan mendapat pangkat Mayor, di saat berusia 16 tahun.

Mendirikan Akademi Militer Tangerang (Militaire Academie Tangerang)

Mayor Daan Mogot bersama beberapa perwira menengah TKR, seperti Kemal Idris, Daan Jahja, dan Taswin, menggagas pendirian Akademi militer, melatih calon-calon perwira TKR, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Gagasan tersebut ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara di Jakarta, sehingga berdirilah Militaire Academie Tangerang (MAT) pada 15 November 1945, dan melantik Daan Mogot, sebagai Direktur. (Di Yogyakarta, telah didirikan Militaire Academie Yogya (MAY) pada tanggal 5 November 1945).

Pada tahap pertama direkrutlah 180 calon kadet MAT yang akan dilatih menjadi perwira. Pada tanggal 24 Januari 1946, Kepala Staf Resimen IV Tangerang, Mayor Daan Jahja, menerima informasi intelijen, bahwa pasukan Belanda dan KNIL, sudah menduduki Parung, dan akan merebut Depot Senjata Tentara Jepang di Lengkong. Hal tersebut mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademie Militaire Tangerng secara serius. Pihak Resimen IV Tangerang memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo (Perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang).

Peristiwa Pertempuran Lengkong, 25 Januari 1946

Pada tanggal 25 Januari 1945, setelah melapor pada Komandan Resimen IV Tangerang, Letnan Kolonel Singgih, Sekitar pukul 14.00, berangkatlah pasukan yang dipimpin Mayor Daan Mogot, dengan berkekuatan 70 kadet MAT, 8 tentara Gurkha, beberapa perwira seperti Mayor Wibowo, Letnan Satu Soebijanto Djojohadikoesoemo, dan Letnan Satu Soetopo Kedua nama terakhir adalah Perwira Corps Polisi Militer (CPM), menuju Markas Tentara Jepang di Lengkong. Strategi yang akan mereka lalukan adalah mendahului, jangan sampai Depot Senjata Jepang jatuh ke tangan tentara Belanda/KNIL. (Belakangan dketahui, Belanda/KNIL menduduki Parung pada Maret 1946). Pada pukul 16.00, mereka tiba di lokasi. Mendekati gerbang Markas, truk diberhentikan.

Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan Taruna Alex Sajoeti masuk ke markas, menemui Kapten Abe. Sedangkan pasukan MAT diserahkan pada Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo. Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena belum penah mendapatkan perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berlangsung, Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo mengerahkan sejumlah Kadet memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana. Sekitar 40 orang tentara Jepang yang ada di sana dikumpulkan di lapangan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan yang tidak diketahui dari mana datangnya, dususul rentetan tembakan dari pos penjagaan yang tersembunyi bersenjatakan mitraliur, diarahkan pada pasukan MAT yang terjebak. Tentara Jepang yang tadinya dikumpulkan di lapangan, segera merebut kembali senjata yang telah dikumpulkan, namun belum sempat dimasukkan ke dalam truk, menyebabkan Kadet MAT sebagai sasaran empuk. Terjadi perlawanan yang tidak berimbang.

Mayor Daan Mogot segera keluar dari perundingan dan berupaya menghentikan ‘pembantaian’, dan meminta sisa pasukannya untuk mundur ke hutan kebun karet yang ada di sekitar markas. Kadet MAT yang berhasil menyelamatkan diri ke hutan karet merasa kesulitan menggunakan Karaben Temi yang mereka sandang. Dalam pertempuran itu, Mayor Daan Mogot terkena peluru di bagian paha kanan dan dada. Ketika melihat anak buahnya mati tertembak, segera Daan Mogot mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki tentara Jepang, yang membuat ia dihujani peluru oleh tentara Jepang. Sekitar 33 Kadet dan 3 perwira gugur. 10 Kadet luka berat. Mayor Wibowo beserta 20 kadet lainnya ditawan tentara Jepang. Mereka yang ditawan, dipaksa menggali lubang, untuk menguburkan teman-temannya. Sedangkan 3 orang Kadet, Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil menyelamatkan diri pada 26 Januari 1946 dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada keesokan harinya.

Pada tanggal 29 Januari diselenggarakan penguburan kembali bagi 36 jenazah yang gugur. Disusul meninggalnya Taruna Soekardi yang mengalami luka berat dan dirawat di RS Tangerang. Mereka dimakamkan di tempat yang sekarang lebih dikenal sebagai Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna Tangerang.

Pada Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang terdapat 48 makam yang ada di TMP Taruna Tangerang. Selain ke 37 para syuhada yang gugur, terdapat 8 makam lain, serta 3 makam ‘Pahlawan Tak Dikenal’ yang juga gugur pada peristiwa Lengkong. Terdapat pula tugu monumen Peristiwa Lengkong. Pada tugu tersebut terdapat sajak:

Sajak yang ditemukan di saku Almarhum Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo (Paman Prabowo Subianto). Sajak tersebut merupakan terjemahan dari Puisi Henriette Goverdine Anna Roland Holst-Van (Penyair Belanda, 1869-1952), yang berbunyi…

Wij zijn de bouwers van de temple niet

Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen

Wij zijn het geslacht dat moest vergaam

Opdat een betere oprijze uit onze graven

Sajak tersebut diterjemahkan budayawan/tokoh pers nasional, Rosihan Anwar (1922-2011), seperti yang terdapat pafa Tugu Monumen Peristiwa Lengkong:

Kami bukan pembangun candi

Kami hanya pengangkut batu

Kamilah angkatan yang mesti musnah

Di atas pusara kami, lebih sempurna

Kini, setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Bhakti Taruna. Upacara HBT dilakukan di Akademi Militer Magelang dan Upacara Tabur Bunga dilakukan di TMP Taruna Tangerang dan Monumen Lengkong yang terdapat di Lengkong Wetan, BSD (Golf). Tempat terakhir dijadikan Cagar Budaya, agar selalu dikenang dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya. (BMS)

***

Sumber: Wikipedia, Kompas, Gepey Sandi, wawancara Saksi mata yang masih hidup, dan lain-lain

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masya Allah puisinya. Benar-benar cerminan ketulusan mereka. Salam literasi, Bu. Mohon difollback.

25 Jun
Balas



search

New Post