Amilia Rahma Sania

Saya adalah seorang ibu dari dua amanah yang luar biasa.Kedua anak saya adalah permata hati yang sangat luar biasa.Yang pertama cerdas matematika.Yang kedua cer...

Selengkapnya
Navigasi Web

SAWANG SINAWANG

SAWANG SINAWANG

Saat menuliskan judul di atas, serasa tidak ada padanan kata yang pas untuk menggantikannya. Ini soal rasa. Hal ini berkaitan dengan persepsi seseorang melihat “apa yang tampak” di depan mata. Sesekali saya terkecoh dengan penampilan luar, walau berbagai buku motivasi, tata cara mengenal emosi serta karakter seseorang sudah sering dibaca. Pernah suatu kali, ikut work shop penulisan artikel, seorang ibu bersahaja, tanpa bedak, memakai baju panjang sederhana. Sekilas hati surprise, ini pasti orang hebat, tidak perlu polesan agar terhormat. Tetapi watak manusiawi saya mencibir, mungkin ibu ini tidak siap, di rumah banyak kerjaan. Sehingga berdandan sedikit aja sampai tidak sempat. Ternyata wow, saat sesi penulisan berlanjut, beliau mengeluarkan semua artikel yang telah masuk koran nasional. Horee, hati saya ternyata yang menang.

Di saat yang lain, melihat teman yang kelihatan sangat perlente, posisi jabatan sangat memukau, tutur katanya lembut. Penampilannya sangat kebapakan dan bijaksana. Suatu hari beliau terlihat sedih, karena keadaan rumah tangga yang amburadul. Disebabkan ketidakmampuan untuk memimpin seorang istri. Padahal selalu kelihatan mesra kesana kemari berdua, mengunggah foto berdua yang membuat iri. Siapa yang menyangka? Wow, begitu hebat seorang wanita. Mampu menjungkirbalikkan dunia suaminya. Benarlah kata sahabat Rasulullah, Umar bin Khothob : Saat melihat seorang laki-laki menjadi hebat, ada dua tokoh hebat di balik layar kehidupannya, pertama ibunya dan yang kedua istrinya.

Seorang teman pengajian, yang biasa-biasa saja. Hafalan Alqurannya, cukup saja. Yang membedakan adalah raut wajahnya yang selalu tenang. Umurnya sudah 40 an tahun, cukup dewasa. Seorang PNS yang terasa enjoy dengan kesendiriannya. Wah, beli rumah lagi. Kenapa tidak menikah saja? Pikir saya yang naif. Ternyata ada pelajaran luar biasa tentang itsar [berkorban untuk orang lain]. Suatu sore, tiba-tiba ada kabar mengejutkan. Dia telah bertemu dengan Sang Khaliq, selama ini menyembunyikan kanker payudara yang dideritanya. Rumah yang baru dibeli, diatas namakan saudaranya yang papa, rekening untuk naik haji sang bunda, serta kado terbungkus rapi untuk semua sanak keluarga. Hal ini membuka cakrawala saya untuk lebih berhati-hati untuk mengasumsikan sesuatu.

Yang berikut ini membuat saya lebih hati-hati untuk tidak bersuudhon pada seseorang. Singkat cerita, saya agak marah menemukan seorang murid yang selalu mengantuk di kelas. Jarang masuk, serta selalu lupa mengerjakan tugas. Sebab telah berkali-kali mangkir, kedatangannya yang terlambat suatu waktu memicu emosi saya. Melihat saya, dia langsung tersenyum lebar tanpa dosa. Menubruk tubuh, dan merebut telapak tangan yang langsung di ciumnya.

“Bu, Saya rindu. Saya selalu menunggu cerita-cerita Ibu.” Karena hati sudah mendongkol lumayan parah. Walau sudah berusaha ditekan, semampu hati. Tak urung keluar kata-kata cenderung menyakitkan, yang akan saya sesali kemudian.

“Rindu kok tidak pernah masuk?” agar mengendalikan rasa marah, saya segera beranjak ke ruangan lain. Beberapa hari berlalu, dia tidak masuk lagi. Tiba-tiba hati bergelitik geli, serasa ada yang tidak enak. Saya melangkah ke kelasnya. Bangkunya kosong.

“Rini kemana, Nak?”

“Mencari cong-cong di hutan, Bu.”jawab temannya.

“Cong-cong?” Setelah mendapat cerita sekilas dari temannya. Hati saya merasa berdosa sekali. Ternyata Rina, gadis kecil periang itu, menjadi tulang punggung keluarganya. Selang-seling dia sekolah, dan bekerja. Ternyata benar yang dia ungkapkan kemarin. Dia anak yang rajin sekolah. Keadaanlah yang memaksanya berbuat lebih. Cerita saya telah memotivasinya, untuk berjuang lebih keras mengalahkan dunia yang terkadang sangat kejam. Cerita yang terkadang saya karang, membuatnya sedikit lupa pada dunia. Di dalam benaknya seakan menghunjam rindu, bahwa suatu saat lara itu akan pergi berlalu.

Hidup ini sawang sinawang. Terkadang kita melihat seseorang itu bergelimang harta, padahal belum tentu dia bahagia. Seseorang yang sakit fisiknya, belum tentu jiwanya. Dan seseorang hamba yang miskin belum tentu tidak bahagia. Teringat lagu, jagalah hati..jangan kau nodai... jagalah hati...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post