Amin Sakir

Saya adalah guru di SDN Kertagena Laok 1 Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan....

Selengkapnya
Navigasi Web
TERSERAH ?
Gambar hasil download di Google

TERSERAH ?

Penulis : Amin_S

Kebebasan perlu diperjuangkan. Bahkan banyak aksi demonstrasi dilakukan untuk menuntut kebebasan. Namun ada kalanya, saat kebebasan didapat, malah jadi bingung sendiri. Bahkan tidak jarang kita terpaksa memeras otak saat mendengar kata "terserah". Dan Saya pernah mengalaminya.

Ceritanya begini. Saya punya teman yang berprofesi sebagai sopir. Tepatnya sopir mobil angkutan (pick up) yang bisa dipakai untuk mengangkut barang atau orang. Selain teman, dia juga menjadi pengurus komite di sekolah tempat saya mengajar. Makanya, ketika sekolah ada urusan angkut mengangkut barang/orang, dialah yang selalu saya hubungi.

Nah, suatu ketika, saya diminta Pak Kepsek untuk menghubunginya. Ada belasan siswa mendapat dana PIP yang harus diantar ke Bank untuk proses pencairan. Berangkatlah siswa ke bank dengan memakai jasanya. Sementara, saya ikut mengawal dengan naik motor.

Singkat cerita, selesailah proses pencairan di Bank. Anak-anak sudah tiba kembali di sekolah. Dari sini masalah dimulai. Setelah basa-basi menyilakan teman sopir saya ini untuk mampir dulu ke kantor, saya nanya soal ongkos.

"Bos, berapa?" Tanya saya.

"Terserah Pak," jawabnya sambil membersihkan bak mobil bekas sepatu anak-anak tanpa melihat ke arah saya.

"Waduh gimana nih? Pikir saya. Masak saya yang harus menentukan berapanya. Saya kan guru, bukan sopir.

"Ayo lah bos, berapa?" Tanya saya lagi. Bahkan saya mengulanginya sampai beberapa kali. Tapi jawabannya, sama. Terserah !

Terpaksa saya harus mengambil keputusan. Meski sejatinya bingung, karena memang tidak faham soal ongkos mobil, saya putuskan untuk memberinya sekian puluh ribu dengan mengira-ngira saja. Saya sodorkan uangnya, dan tanpa dihitung, dia masukkan ke gulungan sarung. Ucapan terima kasih berungkali meluncur dari mulutnya. Dia tampak puas, sayapun senang. Tugas saya mengawal siswa selesai.

Ternyata, masalah muncul. Sekitar jam 4 sore, Pak kepsek nelpon saya. Beliau memberi tahu, kalau baru saja mendapat SMS dari sopir yang saya pakai jasanya tadi pagi.

"Pak, kenapa sekolah pelit sekali, ngasih ongkos kok sekenanya?" Pak Kepsek membaca bunyi SMS nya.

"Waduh, kok sampai begitu?" Pikir saya, mulai kesal. Padahal, tadi sudah saya nanya dan jawabnya, terserah.

Setelah menjelaskan duduk perkaranya, saya sampaikan ke Pak Kepsek, masalah itu akan segera saya selesaikan.

Tanpa menunggu lama saya hubungi si sopir, saya tanya posisinya, saya datangi, lalu tanpa ba bi bu, dua bungkus rokok saya berikan.

Awalnya dia menolak, tapi tetap saya paksakan. Dengan intonasi kesal saya bilang supaya diterima saja.

Jujur, saya jengkel sekali. Saya pikir kata "terserah" nya bagian dari kebaikan hati sebagai teman yang bakal membuat saya nyaman. Tapi, ternyata malah sebaliknya. Dan yang paling bikin saya kesal, kenapa dia sampai SMS ke Pak Kepsek? Bikin saya malu saja. Mulai saat itu, saya hampir tidak pernah menggunakan jasanya lagi. Saya trauma dengan kata “terserah”nya yang penuh racun itu.

Sakarang pindah topik, tapi masih dalam konteks kata "terserah".

Beberapa hari terakhir, guru kelas 1 dan 4 di sekolah saya terlihat sibuk. Lebih tepatnya panik. Usut punya usut, ternyata mereka panik gegara aplikasi pengisian rapot. Karena kurikulum berubah, aplikasi rapotnya juga berubah. Saya dengar mereka ribet soal pengisiannya. Nampaknya, istilah-istilah baru yang belum familiar membuat mereka bingung.

Dalam hati, saya senyum-senyum sambil mikir. Katanya kurikulum merdeka. Merdeka itu kan identik dengan kata bebas dan "terserah". Harusnya mereka senang dong, dengan kurikulum baru itu. Mereka menjadi merdeka, bebas, dan terserah mau mengisi rapot dengan cara mereka sendiri, sesuai kondisi di kelas masing-masing. Lah, ini malah sebaliknya, bukan tambah nyaman tapi tambah ribet.

Akhirnya, dari kejadian-kejadian seperti pada paparan di atas, saya berani menyimpulkan. Meski sering diperjuangkan, ternyata, kebebasan itu tidak selalu selaras dengan kenyamanan. Justeru saat kita diberi kebebasan, malah bingung mau melakukan apa.

Sama persis dengan cerita tetangga saya yang mendapat jawaban “terseraaaah…!” dari isterinya, saat ijin mau kawin lagi. Eh, malah dia tidak berani ngapa-ngapain.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post