Memakan Mayat
Berbilang hari. Jauh dari keramaian. Berjibaku dengan lapar. Berselimut takut. Berkawan mayat. Beratap langit. Beralas puncak pohon.
Nasib si kaya. Tak pernah terkira dalam bayang peta hidupnya akan melalui satu lintasan peristiwa yang teramat tragis. Hampir-hampir saja merenggut nyawa. Menghempaskan dirinya di dasar terendah.
Menyalalakan kesadaran, bahwa pada akhirnya seorang hamba penuh dengan kelemahan. Tak punya daya apa-apa. Semua yang berjalan di muka bumi atas izin dan pengendalian langit.
Tak ada ruang alasan bagi diri untuk menarik nafas kebanggaan. Pun tak punya setitik arah untuk menghembus lepaskan nafas dengan aroma merendahkan. Status di duniai sama. Semua datang menyandang sebagi hamba. Selintas. Lalu akan berlalu pergi terlupakan oleh zaman.
Pluralitas adalah keniscayaan dan kebutuhan. Ketidaksamaan pasti tertemukan dimana-mana, disetiap aspek kehidupan. Beragam peradaban dan bangsa, bahasa dan warna kulit. Termasuk berbeda dalam hal hubungannya dengan jatah rezki.
Dari ketidaksamaan yang nyata lahir keindahan. Ada pandang sebutan orang kaya sebab adanya orang miskin. Ada sebutan kuat karena ada lemah sebagai pasangan. Ada warna putih karena ada hitam yang membersamai. Termasuk tumbuhnya kesadaran taubat karena ada khilaf dosa mendahui.
Suatu hari orang kaya itu ingin menikmati kekayaannnya dari atas helikopter. Berkeliling dan memandang dari ketinggian kebun teh miliknya yang menghampar luas. Rumah besar serta koleksi mobil dari berbagai merek nan mewah. Terbersit rasa bangga dalam diri. Merasa hebat, tak akan miskin lagi, dan bisa mendatangkan sesuatu dengan mudah apa saja yang diinginkan.
Entah apa yang terjadi, atau takjub membuatnya mabuk. Helikopter tiba-tiba mengarah jauh masuk membelah hutan pegunungan. Naas. Helikopter terjatuh dan tersangkut di atas pohon besar yang ditaksir ribuan tahun usianya. Semua meninggal kecuali si orang kaya.
Lama tak ditemukan. Berbilang minggu. Sampai semua daun yang bisa dijangkau habis dimakannya. Mau turun tak mungkin. Pohon besar itu berada tepat di bibir jurang dalam. Semakin hari semakin lapar sementara daun sudah habis di dekatnya.
Inilah balasan cash atas kesombongannya. Jalan terakhir, ia memakan mayat temannya yang sudah hancur termakan mikroba dan penuh dengan ulat. Dan itu berhari-hari dimakannya sampai ia ditemukan.
Sadar. Bertaubat. Memohon ampun kepada Allah. Ia langsung hijrah dari sombong menjadi tawadhu, dari merasa hebat menjadi tak memiliki apa-apa, dan dari kikir harta menjadi ringan membantu.
#SatuHariSatuTulisan
#TantanganGurusiana
#TantanganMenulisHari_12
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hiii serem bangettt, sukses pak
Salam literasi, Bunda