Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
ANTRIAN KE-19  (BAGIAN 2)

ANTRIAN KE-19 (BAGIAN 2)

Kukira antrian ke-19 inilah nasabah terakhirku di hari ini. Nunik. Nama yang selama ini selalu kukenang. Nama inilah yang selalu membuatku sanggup menghapus perasaanku pada perempuan lainnya yang kelak pernah menjadi kekasihku. Sehingga kukira pula inilah penyebabku mengapa sampai saat ini di usiaku yang sudah lebih dari matang ini tak juga menikah. Jikalau memang hari ini aku harus bertemu lagi dengan Nunik mungkin karena kuasa Gusti Ilahi yang telah menggerakkan takdirnya untuk kembali mempertemukan aku dengan Nunik. Sungguh pertemuan kembali dengan Nunik cukup membangkitkan kenanganku dengan memori-memori indah yang terekam jelas dari masa laluku itu.

Hujan masih belum reda. Walau sudah tak sebesar tadi. Tapi masih gerimis kecil. Nunik masih duduk di hadapanku. Wajahnya menunduk. Sesekali dengan sudut matanya dia mencuri pandang ke arahku. Ah, Nunik, kau masih seperti dulu. Manis.

“Nik…Kamu masih tinggal di rumah yang dulu?” kataku membuka obrolan.

“Iya masih,” jawab Nunik sambil menatap ke arahku,”Yud, sudah lama kerja di pegadaian Ciawi ini?”

“Belum begitu lama, paling dua bulanan. Aku pindahan dari kantor pegadaian Bandung.”

“Mmmm… boleh aku nanya? Maaf…ehh…” Nunik terbata-bata, wajahnya memerah.

“Lho ya boleh atuh.”

“Anu…kamu…kamu… sudah menikah?” tanya Nunik pelan hampir tak terdengar.

“Belum….”

“Lho kenapa?” tanya Nunik heran sambil menatap ke arahku.

“Iya begitulah….”

Nunik masih menatap lekat ke arahku. Aku faham sepertinya dia menunggu jawabanku lebih jelas kenapa sampai saat ini aku belum juga menikah.

“Iya begitulah. Tak dapat kutemui perempuan lain yang sepertimu.” jawabku tegas sambil mataku menatap tajam ke arahnya. Nunik terdiam dan menunduk. Sekonyong-konyong dia menatap ke arahku. Sejenak mata kami beradu pandang, lalu sejurus kemudian Nunik pun menunduk lagi.

Pohon mangga yang ada di halaman kantor pegadaian ini cukup rindang. Mampu membuat teduh manakala musim kemarau yang terik menerpa. Mampu pula menghalau cipratan air hujan manakala musim penghujan tiba seperti saat ini. Sesaat kemudian hujan pun benar-benar reda.

“Yud, aku permisi pulang, hujannya sudah reda, sudah sore pula takut tak ada angkot lewat.”

“Gimana kalau aku antar ya, sekalian aku pulang. Kan rumahmu kelewat juga.”

“Duh merepotkanmu ya….”

“Nggak ah. Sebentar aku ambil kunci motorku dulu di dalam.” kataku sambil bergegas masuk ke kantor.

…………………………………………….

Motorpun melaju pelan. Di arah belokan keluar halaman kantor, kuinjak rem motor agak mendadak. Karena tiba-tiba saja motor Mang Ja’i penjaga kantor masuk halaman kantor dengan serampangan. Hampir menabrak. Tak ayal tubuh Nunik, yang kubonceng dengan motorku, tak sengaja terdorong menekan punggungku. Tak sengaja tangannya reflek memelukku. Aku tertawa-tawa. Nunik pura-pura marah dan memukul-mukul punggungku. Lalu kemudian mencubit pinggangku. Sejurus kemudian Nunik pun tertawa-tawa. Ah aku ingat masa lalu kita Nik.

Motorpun melaju di jalan besar menuju arah selatan. Khayalanku menerawang jauh ke masa lalu. Teringat masa kuliah 12 tahun lalu, saat kami masih pacaran dulu, bermotor vespa berdua berboncengan….

oooOooo

Sekian belas tahun lalu ….

Pagi ini terasa indah. Bukan indah karena langit cerah dan tak turun hujan. Bukan pula karena bunga anggrek bulan favoritnya ibunya Yudi yang mekar berbunga lebat. Atau bukan pula karena Yudi tumben-tumbenan mencuci motor vespanya yang sebelumnya jarang pernah dicuci. Pagi ini cerah karena hati Yudi sedang berbunga-bunga. Cintanya diterima oleh Nunik! Gadis manis dengan tahi lalat kecil di ujung atas sudut kanan bibirnya. Gadis manis teman kuliahnya namun beda kelas. Hari ini Yudi mau menjemput Nunik kuliah dengan vespanya.

Sebuah hubungan yang tak menentu sebenarnya. Karena diketahui bahwa sebenarnya Nunik telah bertunangan dengan lelaki tetangga desa yang tak dicintainya. Entahlah apa sebab dan bagaimana muasalnya Nunik tak mencintai lelaki yang telah bertunangan dengannya itu. Yang pasti Yudi tak ambil pusing dengan semua itu. Baginya bisa mencintai gadis yang selalu diimpikannya setiap waktu itu sudahlah cukup baginya. Adapun kelak ternyata dia tak berjodoh dengan Nunik itu urusan lain. Yang penting saat ini Nunik telah menerima cintanya. Urusan lain itu bagaimana nanti.

Adapun lelaki tunangan yang tak dicintai Nunik itu telah bekerja di Jakarta. Pulangnya sekian bulan sekali. Tak menentu, kadang sebulan sekali atau dua bulan sekali. Jikalau setiap pulang kampung dan dia berkunjung ke rumah Nunik, maka yang terjadi adalah Nunik dengan alasan kuliah atau sibuk mengerjakan tugas, segeralah menjauh dan pergi dari rumah.

Pun pagi ini, Nunik segera bergegas keluar rumah. Setelah Ibunya mengabari bahwa tunangannya sedang libur kerja dan akan berkunjung. "Kau hari ini tak usah dululah kuliah, ada Dudung mau datang," begitu perintah ibunya Nunik. Nunik hanya diam saja. Hatinya merasa tak nyaman. Maka yang selanjutnya adalah Nunik mengendap-ngendap pergi dari rumah.

Segera dilangkahkan kakinya menyusuri gang kecil menuju jalan besar. Setengah berlari karena takut Dudung keburu nyampe rumah. Tak berapa lama tibalah Nunik di pinggir jalan besar. Dilihatnya ke kiri dan ke kanan. Tak ada Yudi di sana. Padahal Yudi sudah berjanji akan menjemputnya kuliah. Dilangkahkan lagi kakinya menjauh dari arah pertigaan gang itu.

Setelah berjarak 30 meteran menjauh dari gang arah rumahnya, sebuah motor vespa melaju ke arahnya. Plong…hatinya ngemplong, itu Yudi! Bergegas gadis muda itu membonceng motor Yudi.

“Yudi, ayo agak kencang dikit motornya.”

“Eh, kenapa buru-buru, masih pagi ini. Kita kan masuknya masih tiga jam ke depan.”

“Sudahlah kamu jangan tanya, ayo agak ngebut,” sergah Nunik sambil segera tangannya erat memeluk punggung Yudi.

“Eh, kok? Kenapa harus pula buru-buru?”

“Aku…aku…mmmm..anu..kangen kamuuu….” kata Nunik sambil mencubit pinggang Yudi

“Aduhhhhhh……….” teriak Yudi sambil wajahnya memerah menahan sakit. Walaupun begitu hatinya senang dan berbunga-bunga.

“Kan masih lama ya jadwal kuliahnya. Jalan-jalan dulu dong…” kata Nunik merajuk.

“Kemana kamu maunya?”

“Kemana sajaaa….”

“Iya tapi kemananya kemana?”

“Kemana saja asal dengan kamuuuu…. hihihi…” Nunik tertawa manja.

“Ok.”

Deru mesin vespa pun makin nyaring terdengar. Yudi memacu vespanya agak kencang. Dari arah belokan pertigaan Cijoho, motor bergerak ke arah kanan, menuju arah utara kota Kuningan.

Setengah jam kemudian setelah menempuh beberapa belokan memotong jalan ke arah jalan desa, tibalah mereka di sebuah jalan lurus pedesaan yang banyak pohon soka dan flamboyan di sisi kiri kanan jalan.

Jalanan cukup sepi, beberapa orang petani sedang mencangkul-cangkul ladang ubi jalar. Salah satu orang menyapa Yudi. Sepertinya mereka saling mengenal.

“Eh itu siapa yang menyapamu? Kamu kenal?” kata Nunik terheran-heran.

“Ya, dia kenallah pasti, aku kan ngetop…hehehe.”

“Uhhh…sombong!” Nunik gemas lalu mencubit lengan Yudi. Yudi kaget dielus-elusnya lengan yg dicubit Nunik. Sakit. Sejurus kemudian Nunik mengusap-usap lengan Yudi yang dicubitnya.

“Hehehe…jelaslah pasti, itu ladang yang sedang dicangkuli itu kan milik kakekku?

“Oohh….”

Mereka berdua pun duduk di tepian trotoar di samping pohon flamboyan. Teduh. Di hadapannya terhampar menghijau tanaman ubi jalar. Sementara di sisi lain lahan ubi jalar, terhampar pesawahan yang padinya sudah menguning. Tampak terlihat serombongan burung-burung kecil hinggap di padi-padi yang sudah menguning. Sesaat kemudian serentak terbang kembali saat orang-orangan sawah bergerak-gerak terkena angin atau mungkin ditarik digoyang-goyangkan oleh petani yang menunggui.

Sejenak mata Nunik memandang kosong. Melamun. Direbahkan kepalanya ke pundak Yudi, sambil kedua tangannya memegang lengan Yudi. Sekonyong-konyong air matanya meleleh. Menangis. Yudi diam saja, dalam hatinya dia mafhum mengapa Nunik menangis. Yudi menahan diri untuk tak bertanya mengapa dia menangis. Akhirnya Yudi mencoba memulai obrolan, mengalihkan kesedihan Nunik.

“Kau pernah jalan-jalan ke daerah ini?” tanya Yudi.

“Belum….” Jawab Nunik sambil menghapus air matanya.

“Daerah ini adalah kampung asal kedua orang tuaku. Bandorasa Kulon nama desanya. Rumah kakekku ada di belokan pertama tadi. Rumah pertama pas belokan itu.”

“Kakekmu masih ada?”

“Masih. Mungkin sebentar lagi dia ke sini. Tuh akan panen ubi di ladang yang ada orang menyapaku tadi.”

Kembali obrolan terhenti. Nunik masih merebahkan kepalanya di pundak Yudi. Masih pula memegang lengan Yudi.

“Nunik, tahukah kau?”

“Apa itu?”

“Tempat duduk kita ini? Dulu ibuku pernah bilang, saat masa mudanya dulu dia ketemu bapakku di sini.”

“Oh iyakah?”

“Dulu saat kecil, aku ikut bapak dan ibu bantu-bantu panennya kakek di sini. Ibu bercerita bahwa dulu saat ibu dan bapakku pacaran, pernah duduk-duduk di sini. Di bawah pohon flamboyan ini. Jadi pohon flamboyan ini umurnya sudah cukup tua.”

“Bapak dan ibu asli juga orang sini?”

“Iya. Mereka asli orang sini. Bapak pertama kali kenal ibuku saat main-main ke sawah ini juga. Bapak ikut kakek panen. Nah ibuku itu anaknya orang yang bekerja di sawah kakekku itu. Karena sering ketemu, ya mungkin akhirnya saling tertarik gitu.”

“Ih bagus juga ceritanya ya. Hhmm….”

“Kenapa hhmmm….”

“Hhhmmm…Yudi…akankah cerita kita ini akan berakhir manis pula seperti ceritanya bapak dan ibumu.” Nunik menarik nafas dalam-dalam, pandangannya kosong, menerawang jauh.

Dari arah pesawahan yang menguning, kembali serombongan burung-burung kecil yang bandel menghampiri padi-padi yang menguning. Kembali pula petani yang sabar menunggui sawahnya segera menggoyangkan tali yang terhubung ke orang-orangan sawah. Rombongan burung-burung kecil itu pun segera terbang kembali karena ketakutan dengan orang-orangan sawah yang bergerak-gerak.

Dari arah jalan, motor vespa yang dikendarai lelaki muda dengan kekasihnya, melaju pelan ke arah timur. Tampak sang gadis memeluk erat sang lelaki muda. Mungkin takut jatuh dari motor ataukah mungkin takut dia tak akan pernah bertemu lagi dengan sang kekasihnya itu.

………………………………………….

Sebulan berlalu. Dua tiga bulan telah berlalu pula. Tak terasa Yudi dan Nunik telah setahun menjalin hubungan. Sedih senang dan haru biru telah mereka lalui bersama. Namun walaupun begitu, mereka hanya menjalin hubungan di kampus saja atau di luar. Tak pernah sedikit pun Yudi berkunjung ke rumah Nunik. Sang gadis melarang Yudi berkunjung. Yudi mafhum benar, bukankah statusnya Nunik sebenarnya adalah kekasih orang lain.

Hingga akhirnya di tahun ke dua setelah mereka naik ke tingkat tiga, Peristiwa inilah yang menjadi penanda bahwa cerita mereka telah berakhir. Nunik tidak masuk lagi kuliah. Yudi pun kemudian mendatangi rumahnya Nunik di kampung itu. Sayang, sejak itu kisah mereka selesai, karena ternyata saat Yudi berkunjung ke rumahnya, langkahnya hanya sampai pertigaan jalan saja. Karena terlihat ada tiang janur kuning melengkung di pertigaan jalan menuju rumahnya itu, dengan tulisan di kertas menggantung di ujungnya: NUNIK DAN DUDUNG.

Kesedihan yang tak terperi tampak terpapar jelas di wajah Yudi. Walaupun hal demikian ini sudah dia perkirakan jauh-jauh sebelumnya. Namun hal demikian itu tetap saja sedikit mengguncang perasaannya. Sedih berkepanjangan. Yang akhirnya kelak di kemudian hari Yudi pindah kuliah ke Bandung. Mencoba untuk melupakan semuanya. Menghilangkan bayang-bayang Nunik.

Cerita pun berakhir sedih untuk akhir kisah cinta mereka. Nunik menikah dengan tunangannya dan Yudi pergi ke Bandung.

…………………………………………….

Hingga bertahun-tahun kemudian cerita nan indah dulu itu pun terulang kembali saat pertemuan yang tak terduga antara Yudi dengan Nunik di kantor pegadaian. Yudi sebagai pegawai juru taksir pegadaian, dan Nunik sebagai nasabah yang menunggu antrian panggilan. Nunik ada di urutan antrian ke-19.

oooOooo

Motor Hondaku masih melaju pelan. Sengaja tak kupercepat. Supaya tak segera sampai rumahnya Nunik. Aku masih ingin berlama-lama dengan Nunik. Tapi di motorku Nunik tak memelukku seperti dulu. Ah tak apalah mungkin Nunik sungkan.

“Yud…mana motor vespa yang dulu?” tanya Nunik memulai obrolan. Sekonyong-konyong spontan kedua tangannya memelukku saat motor tiba-tiba oleng karena ada bis yang menyalip terlalu mepet. Sejenak kemudian dilepaskan lagi pelukannya.

“Sudah kujual dulu. Saat aku pindah kuliah ke Bandung, kujual motor vespa itu. Sekedar mencoba melupakanmu sebenarnya.”

“Bisakah kau lupa?”

“Hhhhhhhh….,” aku menarik nafas dalam-dalam,”Ya begitulah….”

“Maafkan aku Yud…maafkan atas semuanya.”

“Jadi saat kamu menikah. Itu sampai berapa lama?” tanyaku penasaran.

“Menikah?”

“Iya menikah!?” tanyaku agak keras karena suara mesin truk di depanku sangat bising.

“Hehehehe… sebenarnya aku belum menikah, Yudi.” jawab Nunik. Jawaban yang cukup mengagetkanku. Aku tak percaya. Bukankah tadi di kantor dia bilang sudah bercerai.

“Ehhh, kamu kan tadi katanya bilang sudah bercerai. Kok ya sekarang bilang belum menikah??!!”

“Ceritanya panjangggg…”

“Singkatnya saja 'atuh'!” aku betul-betul penasaran.

“Hhhhhh…” Nunik menarik nafas, ”Saat hari pernikahan itu, tahukah kamu Yudi? Pengantin lelaki itu tak datang. Ya, Dudung tak pulang dari Jakarta. Orang tuanya menunggunya sampai hari pernikahanku itu, tapi tetap Dudung tak kunjung pulang. Sampai utusan orang tuanya datang ke rumahku bahwa pengantin laki-laki tak dapat datang. Pernikahan batal.”

Sejenak suasana hening. Aku masih terbawa perasaan aneh yang sukar dijelaskan. Sungguh aneh. Bertahun-tahun kami dipisahkan oleh sebuah cerita yang mengharu biru.

“Entahlah aku harus bilang senang atau gimana waktu itu. Kedua orang tuaku menangis karena malu. Tapi aku diam. Diam antara bahagia atau sedih, aku tak tahu. Yang aku tahu, hatiku sedih saat berhari kemudian kau pun tak ada di kota ini. Kata orang-orang kamu telah menghilang, pergi ke Bandung.”

Motor pun hampir sampai ke pertigaan jalan dekat rumah Nunik. Di mulut gang yang menuju rumahnya Nunik, motor pun berhenti. Nunik turun dari motor.

“Aku pulang Yud. Terima kasih mau mengantarku.”

“Boleh aku bertanya?” tanyaku. Nunik mengernyitkan dahi, ”Nunik…setelah kejadian itu kau belum menikah sampai saat ini?”

“Belum…” jawab Nunik pelan sambil menunduk.

“Mengapa?”

Nunik terdiam. Sambil berdiri matanya menerawang jauh, hampa. Sementara sambil masih duduk di motor, dengan sabar aku menunggu jawabannya.

“Mengapa?” tanyaku mendesak.

Tiba-tiba Nunik yang berdiri, kembali menghampiriku yang duduk di motor. Segera dia membisikkan pelan ke telingaku, “Karena aku masih menunggumu, Yudi….”

Sejenak kemudian Nunik menunduk. Kulihat wajahnya memerah.

Aku masih bengong dengan apa yang telah dibisikkan oleh Nunik. Tak dapat kupercaya sekian tahun ternyata kami masing-masing dapat mempertahankan kisah sejati kami. Semesta telah berkenan untuk menjaga marwah cinta suci ini. Takdir ilahi telah mengerahkan kuasanya terhadap perjalanan hidup makhluknya.

Baiklah Nunik. Kali ini kau tak akan kulepaskan. Kelak esok lusa atau nanti aku akan meminangmu. Kelak pula nanti kan ku pastikan di pertigaan jalan ini akan ada janur kuning melengkung dengan tulisan menggantung di ujungnya: NUNIK DAN YUDI.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post