Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
GADIS KECIL DI STADIUM 3

GADIS KECIL DI STADIUM 3

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, tampak Misnah sudah membuka kandang ayamnya. Ayam-ayam pun berebut keluar. Diambilnya dedak di karung sebelah kandang, dituangkannya ke piring seng bekas. Lalu diletakkannya piring seng bekas itu di kerumunan ayam-ayamnya. Tak lama kemudian ayam-ayamnya pun berebutan mematuk-matuk dedak yang ada di piring seng.

Misnah tersenyum, ayam-ayamnya sebagian sudah cukup besar, layak untuk dijual. Nanti siang sepulang sekolah, aku sempatkan mampir ke rumah Pak Ebo, pasti dia membeli ayam-ayamku, demikian pikir Misnah.

Pak Ebo adalah bandar ayam di kampung ini, langganan jual ayamnya Misnah. Dia sering memberikan harga yang bagus untuk Misnah. Sebenarnya Pak Ebo kadang membeli ayam tak sesuai harga jualnya kembali. Khusus untuk Misnah, Pak Ebo membeli ayamnya lebih mahal dari pada harga jual di pasaran. Bukan tanpa sebab demikian, tiada lain karena Pak Ebo cukup kasihan dengan kehidupan Misnah yang cukup memilukan.

Misnah lahir dari orang tua yang jauh dari kelayakan. Ibunya meninggal saat melahirkan Misnah. Sementara itu bapaknya meninggal saat Misnah usia tiga tahun. Saat itu bapaknya bekerja jadi buruh panggul di pasar. Pagi buta bapaknya biasa berangkat ke pasar. Naas, saat menyeberang jalan ke arah pasar, dari arah lain sebuah mobil truk melaju dengan kencangnya. Tanpa ampun mobil menabrak tubuh bapaknya Misnah. Bapaknya Misnah pun meninggal seketika.

Alkisah Misnah kecil pun diasuh oleh kakek dan neneknya. Yang kehidupan mereka pun jauh dari berkecukupan. Kehidupan Misnah makin nestapa saat Misnah usia enam tahun. Sang kakek yang sudah lama sakit-sakitan meninggal dunia.

Pak Ebo sang bandar ayam mafhum benar akan perjuangan Misnah memelihara ayam lalu menjualnya. Hasil penjualan ayamnya digunakan untuk keperluan Misnah bersama neneknya sehari-hari. Tidak dapat mencukupi sebenarnya, hanya sekedar dapat mencukupi beberapa hari saja. Karena setelahnya tentu saja Misnah harus menunggu lagi ayam-ayamnya besar.

Jam menunjukkan pukul 06.30. Misnah bergegas berangkat sekolah. Sekolah SMP-nya agak cukup jauh dari kampungnya, harus berjalan sekitar satu kilo meter. Dia berjalan memotong jalan menerobos lewat kebun bambu samping rumahnya. Kalau melalui jalan kampung maka perjalanan akan lebih jauh lagi.

Di sekolahnya Misnah adalah murid yang rajin. Ia jarang sekali absen sekolah. Selalu saja datang tepat waktu, tak pernah datang terlambat, walaupun setiap pagi Misnah harus mengurusi ayam-ayamnya terlebih dahulu. Walaupun anak yang rajin, prestasi Misnah memang kurang bagus. Nilai-nilainya kecil, mungkin sedikit kurang cerdas akibat kurangnya asupan gizi sejak dari kecil.

Bel sekolah berbunyi. Para murid termasuk Misnah segera bergegas masuk ruang kelas. Misnah berjalan gontai, tiba-tiba saja sakit kepala kambuhannya muncul. Kepalanya tiba-tiba sakit tak tertahankan, mata berkunang-kunang. Dirasakannya pijakan kakinya, seolah-olah saja pijakan kakinya terasa dalam dan terasa mengambang. Diliriknya teman yang berdiri di sampingnya, seperti memohon bantuan untuk memegang tubuhnya. Temannya faham, lekas saja diraihnya tubuh Misnah.

“Eh, hati-hati Misnah. Pegang tanganku, sepertinya tubuh kamu lemas.”

“Titi, bawa aku ke bangkuku, aku mau duduk. Sakit kepalaku kambuh lagi. Tolong mintakan obat sakit kepala ke kantor guru.” Misnah memegang kepalanya sambil meringis.

Sudah lama Misnah mengidap sakit kepala kambuhan. Sejak dari kelas 4 SD dia merasakan seperti ini. Sakit kepala yang kadang tiba-tiba datang. Sakit kepala yang menurutnya sakitnya sangat tak tertahankan. Yang kadang karena sangat sakitnya, dia seringkali menjerit sekerasnya hanya untuk sekedar mengurangi rasa sakitnya itu.

Entah apa dan bagaimana dia bisa mempunyai penyakit seperti itu. Awal-awalnya sakit kepalanya biasa-biasa saja. Tak begitu sakit. Cukup ditidurkan sebentar saja maka sebentar kemudian sakit kepalanya itu reda. Tapi semakin bertambahnya waktu, sakit kepalanya itu makin sering dan makin parah.

Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, Misnah hanya mengobati sakit kepalanya itu dengan obat sakit kepala yang biasa ada di warung-warung. Diminum sebentar, lalu sebentar kemudian biasanya sakitnya mulai reda. Walaupun sebenarnya obat tersebut hanya mengurangi rasa sakitnya saja, tanpa menghilangkan penyebab sakitnya tersebut.

Sebenarnya Misnah sudah berobat ke puskesmas. Dokter kesulitan mendiagnosa sakit kepalanya tersebut. Dokter menyarankan agar Misnah ke rumah sakit kabupaten untuk didiagnosa dengan peralatan yang lebih lengkap. Misnah hanya mengangguk mengiyakan perintah dokter. Walaupun setelahnya, Misnah hanya pulang ke rumah tanpa melaksanakan perintah dokter puskesmas tersebut. Misnah berpikir bagaimana dia mau ke rumah sakit, takutlah biayanya besar. Jangankan untuk biayanya, untuk ongkos perjalanannya saja Misnah tak mampu.

“Misnah, baiknya kau ke rumah sakit saja. Sesuai saran dari dokter puskesmas itu,” kata Pak Muhtar wali kelasnya.

“Iya Pak, nanti besok-besok kalau ayam-ayamku sudah besar.”

“Sudahlah jangan kau pikirkan biaya ke rumah sakit. Kami, sekolah, akan membiayaimu diperiksa di rumah sakit kabupaten.”

“Tapi Pak, aku takut sakitku berat, lalu aku harus dirawat. Kalau aku dirawat gimana nenek tak ada yang mengurusi. Ayam-ayamku pun tak ada yang mengurusi pula.”

Hening. Ucapan Misnah, yang terbaring lemas di tempat tidur UKS, membuat mata Pak Muhtar berkaca-kaca. Kerongkongan rasa tercekat. Dilihatnya Misnah, gadis remaja itu menangis terisak. Entah menangis karena menahan rasa sakit di kepalanya, atau menangis karena meratapi hidupnya yang serba keterbatasan.

Sayang sekali di usianya yang masih relatif muda belum genap 13 tahun, dia harus menanggung hidup yang berat. Yatim piatu semenjak kecil dan harus menanggung biaya hidup sendiri dan neneknya yang sudah tua dengan menjual ayam-ayam ternaknya yang tidak seberapa banyaknya. Lingkungan kampung tempat dia tinggal pun tidak mampu menolong keterbatasannya itu, karena orang-orang kampungnya itu pun bukanlah orang-orang berada.

Guru-guru di sekolahnya faham benar kalau Misnah terlilit kesulitan hidup. Beberapa guru kadang pula sering memberikan makanan untuk Misnah dan neneknya. Adapula yang rutin memberikan uang jajan. Pak Muhtar wali kelasnya itulah yang rutin memberikan uang jajan pada Misnah.

Pak Muhtar sangat peduli pada anak walinya tersebut. Dialah yang sering mendorong agar Misnah segera memeriksakan sakit kepalanya itu ke rumah sakit kabupaten. Yang dia takutkan adalah kalau-kalau sakit kepalanya itu adalah disebabkan kanker otak.

Dugaannya mengatakan demikian. Kalau Misnah mengidap kanker otak. Itu disebabkan pengalaman anak saudara Pak Muhtar yang mengidap sakit kepala yang mirip dengan yang dialami Misnah. Setelah diperiksa di rumah sakit kabupaten, diagnosa dokter menyebutkan bahwa anak saudaranya itu mengidap kanker otak. Orang tuanya, yang kebetulan kalangan orang berada, membawa anak tersebut ke rumah sakit provinsi untuk ditangani lebih lanjut. Akhirnya rumah sakit provinsi melakukan operasi terhadap kanker otak yang diidapnya. Sekarang anak tersebut sudah sehat sediakala. Hanya memang biaya yang dikeluarkan sangatlah besar, konon biayanya mencapai 150-an juta rupiah.

Rabu pagi ini cuaca agak sedikit mendung. Burung-burung pipit tampak berjejer di atas genting sekolah. Sepertinya sang burung berusaha menyambut hangatnya matahari pagi yang enggan menyembul. Matahari enggan bersinar, sepertinya pagi ini akan menyongsong hujan. Tapi Tuhan sebaiknya janganlah Kau turunkan hujan dulu. Karena Misnah anak yatim piatu itu akan berangkat ke rumah sakit kabupaten untuk memeriksakan sakit kepalanya.

Pak Muhtar segera menghidupkan motor vespanya. Sebentar kemudian mesin motor tua itupun meraung-raung keras. Sedikit berisik khas motor vespa dengan keluaran asap knalpotnya yang agak membumbung.

“Ayo Misnah kau naiklah. Kita takut tercegat hujan.”

“Baik Pak.”

Sebentar kemudian dua orang guru dan murid itu pun segera meluncur menuju rumah sakit kabupaten.

Perjalanan membutuhkan waktu hampir satu jam menuju rumah sakit kabupaten. Dari arah kampung ini agak lumayan cukup jauh. Jarak kampung ini dengan rumah sakit sekitar 20-an km. Misnah yang memang jarang naik motor harus berkali-kali menyuruh Pak Muhtar menghentikan motornya. Selain karena terlebih dahulu membetulkan posisi duduknya, kadang pula Misnah berhenti sejenak sekedar beristirahat karena kepalanya yang sering tiba-tiba sakit. Satu jam kemudian mereka pun tiba di rumah sakit.

***

Sabtu pagi ini cuaca kembali mendung. Awan hitam menggelayut di ufuk. Burung-burung pipit tak ada berjejer di genting sekolah. Mungkin mereka tahu sebentar lagi akan turun hujan. Benar saja, sebentar kemudian hujan pun turun. Dari arah gerbang sekolah, Misnah berlari-larian basah kuyup.

“Misnah, kenapa tidak kau berteduh dulu, ini hujan lebat, nanti sakit kepalamu tambah parah,” Pak Muhtar menegur Misnah yang sedang membetulkan letak kerudungnya.

“Iya Pak. Ini tanggung. Pas sampai gerbang pas hujan,” jawab Misnah sambil segera menuju ke ruang kelasnya.

Pak Muhtar pun mengangguk. Dengan mata berkaca-kaca ditatapnya gadis malang itu yang sedang berjalan menuju ruang kelas. Kasihan benar anak malang itu, sudah harus menanggung beban hidup, harus pula menanggung beban sakit yang luar biasa. Dokter mendiagnosa bahwa Misnah mengidap kanker otak. Sudah stadium tiga. Harus segera dibawa ke rumah sakit provinsi. Namun apa daya biaya operasinya sangat mahal. Pengalaman saudaranya Pak Muhtar yang sudah melakukan operasi tersebut menghabiskan biaya lebih dari 150 juta. Dari mana biayanya, jangankan untuk biaya, untuk biaya hidup sehari-hari saja tak mampu.

Adapun Misnah gadis malang itu mungkin belum faham bahwa mungkin usianya sudah tak lama lagi. Yang dia tahu bahwa sesaat setelah Pak Muhtar selesai bercakap-cakap dengan dokter yang memeriksanya, Pak Muhtar tampak mengusap air matanya. Itulah Misnah, sampai detik ini dia tak tahu bahwa dia telah divonis mengidap kanker otak stadium 3.

Adapun Pak Muhtar sampai saat ini belum menyampaikan pada Misnah perihal hasil pemeriksaan dokter tersebut. Dia takut kalau Misnah semakin banyak pikiran, yang tentu saja akan menambah beban sakitnya. Yang jadi pikirannya adalah apa dan bagaimana cara mengumpulkan biaya yang cukup besar itu.

Seperti siang ini, Misnah kambuh kembali sakit kepalanya. Ia memilih bersandar di kursi ruang tamu sekolah, tidak berbaring di tempat tidur UKS seperti biasanya. Pak Muhtar dan dua orang guru perempuan menemaninya di situ.

“Misnah, baiknya kamu tiduran saja di ruang UKS,” kata Pak Muhtar sambil memijit-mijit kening Misnah.

“Nggak Pak ah, biar di sini saja. Kalau di ruang UKS Misnah takut, sepi.”

“O, ya sudahlah.”

“Pak…”

“Ya, Misnah…ada apa?”

“Anu…semalam Misnah mimpi ketemu Bapak Misnah.”

“Oh, ya?”

“Bapak Misnah mengajak Misnah jalan-jalan ke Telaga Biru. Itu Pak, telaga biru yang Bapak ceritakan dulu waktu di kelas.”

“Oh, iya. Itu di pasawahan ya.”

“Pak…”

“Ya…”

“Misnah ingin tahu Telaga Biru.”

“Minggu depan deh, nanti kamu Bapak ajak.”

“Besok dong Pak, besok kan Minggu.”

“Nanti aja ya, besok Bapak ada perlu dulu, lagian kepalamu kan masih sakit. Pokoknya janji, minggu depan kita ke sana.”

Suasana hening, yang terdengar hanya tarikan nafas Misnah yang sedang menahan rasa sakitnya. Sebentar kemudian Misnah minta ijin untuk kembali masuk kelas, karena dia merasa sakitnya sudah agak berkurang.

***

Semalaman Pak Muhtar tak bisa tidur. Ia memikirkan terus keinginan Misnah yang ingin pergi ke Telaga Biru. Ah, kenapa tidak aku kabulkan saja keinginannya itu, kasihan sekali anak itu. Kenapa pula harus Minggu depan, kenapa tidak Minggu besok saja, kalau Minggu depan terlalu lama. Bagaimana seandainya kalau Misnah besok-besok sudah tidak… ah janganlah aku berpikiran tidak baik, yakinlah Tuhan akan memberikan anak itu umur panjang.

Minggu pagi ini akhirnya Pak Muhtar menentukan pilihannya mengajak Misnah ke Telaga Biru sesuai keinginannya, pada hari Minggu ini, tidak hari Minggu depan. Maka dikeluarkanlah vespa tuanya, dihidupkannya mesinnya.

Minggu pagi ini langit begitu cerah tidak mendung seperti hari-hari sebelumnya. Awan mendung yang biasanya menggelayut menutupi matahari, sekarang tampak sirna, langit tampak bersih. Matahari pagi tampak gagah bersinar. Cahayanya sampai menyilaukan mata Pak Muhtar yang sedang mengendarai vespa tuanya. Sehingga berkali-kali Pak Muhtar harus memicingkan matanya karena silaunya sinar matahari. Alam semesta sepertinya ikut menyambut Pak Muhtar yang akan mengajak Misnah jalan-jalan ke Telaga Biru.

Perjalanan dari rumahnya Pak Muhtar ke rumah Misnah di kampung Sukaraja ini lumayan jauh. Sekitar 30 menit perjalanan. Dari perempatan jalan kecamatan, motor pun berbelok ke jalan sebelah kiri. Dari sini, kampung Sukaraja tinggal beberapa menit lagi. Dari ujung jalan kampung, ada gang kecil ke sebelah kiri, di gang itulah rumah Misnah berada.

Motor pun sampai di ujung kampung. Agak dipelankannya motornya, karena motor harus berbelok ke gang yang cukup kecil. Memasuki gang kecil ini jalanan agak rusak, aspal gang sudah terkelupas, tinggal batu-batu kecil. Sekitar 100 meter ke depan, di situlah rumah Misnah.

Menjelang sampai ke rumah Misnah, mendadak di jalanan gang banyak orang lalu lalang menuju arah rumah Misnah. Satu orang terlihat memegang bendera kuning yang ditancapkan ke batang pohon pisang lalu diletakkannya di pinggiran gang. Pak Muhtar segera meminggirkan motornya, perasaannya tidak enak, pasti ada apa-apa dengan Misnah.

Pak Muhtar pun berjalan agak cepat, setengah berlari. Betul saja dilihatnya sudah banyak orang di rumah Misnah. Tanpa permisi lagi, segeralah Pak Muhtar masuk ke dalam rumah. Dilihatnya di tengah rumah, gadis malang itu sudah ditutupi kain. Tuhan sudah memanggilnya pulang….

Selamat jalan Misnah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisahnya hampir sama seperti tempo hari aya 2 anak.

01 Dec
Balas



search

New Post