Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
KOMARUDIN,  MURIDKU

KOMARUDIN, MURIDKU

....Jumat, 2 Desember 2016

Salat Jumatku kali ini berbeda dengan salat Jumat sebelum-sebelumnya. Bukan masalah waktu zuhur yang lebih awal atau khotbah yang cukup singkat. Bukan pula tingkah laku para murid yang masih bersenda gurau saat khotib naik mimbar. Tapi ini masalah kekhusukanku saat berlangsungnya salat Jumat. Ada yang sangat mengganggu khusukku bersalat saat itu.

Salat Jumat kali ini giliran anak-anak kelas 7. Seperti biasa, berhubung mesjid sekolah tidak cukup besar, maka salat Jumat diadakan bergiliran seminggu sekali antara murid kelas 7, kelas 8, dan kelas 9. Mesjid sekolahku tidaklah besar. Ukurannya sekitar 8 x 6 meter. Dinding sekelilingnya didominasi kusen kayu yang penuh sampai lantai. Bagian dinding tembok hanya terdapat pada dinding depan dan sudut-sudut ruangan. Sehingga mesjid sekolahku dominan kusen kayu dengan full kaca tentunya. Angin-angin untuk sirkulasi udara tersedia banyak, terletak di bagian atas kusen kayu. Karena tiap dindingnya dominan kusen kayu dengan kacanya, maka cahaya yang masuk penuh. Terang. Tapi sejuk dan nyaman. Khas suasana mesjid. Dan biasanya sehabis selesai shalat Jumat, kami para guru lelaki senang berleha-leha tiduran di lantai mesjid ini.

Saat menunggu azan Jumat, aku bersandar di kusen kayu. Hendak berdzikir. Tapi tiba-tiba pandanganku sekilas tertuju pada satu anak. Aneh. Bukan aneh karena badannya yang kecil dan kurus, tapi ini lebih ke pakaian yang dikenakan anak tersebut. Murid yang lain pakai seragam muslim. Tapi anak ini tidak. Di sekolahku setiap hari Jumat semua murid wajib memakai pakaian muslim. Seragam muslimnya dibeli di koperasi sekolah.

Kembali ke anak itu. Dia pakai seragam putih biru. Seragamnya lusuh seperti sudah lama dipakai. Baju putihnya yang lusuh, kusut tak bersetrika. Celana birunya sudah memudar, tak dapat dikatakan biru tua lagi, sudah jadi biru muda, akibat lama dipakai sehingga memudar. Pakaian yang dipakainya itu terlihat longgar. Tak sepadan ukurannya dengan tubuhnya yang kecil. Sepertinya seragam itu hasil pemberian orang. Aku berpikir seperti itu, karena bukankah kalau baru kelas 7 seragam itu masih baru. Apalagi ini bulan November, tentunya kalau kelas 7 masih baru berjalan empat bulanan, pastilah pakaiannya masih baru, belum lusuh.

Lamunanku buyar. Iqomat telah dikumandangkan. Tak terasa rupanya lamunan tentang anak di depanku mengaburkan kekhusyukanku. Sampai-sampai terlupakan bahwa khotbah Jumat sudah selesai dan iqomat sudah dikumandangkan.

Dalam salatku tetap saja aku tak khusuk. Anak di depanku itu. Ya Allah, kenapa kubiarkan ada muridku yang tak mampu beli seragam sekolah. Jangankan beli seragam muslim, beli seragam putih biru saja dia tak mampu. Lihat wajah polosnya itu. Kerutan-kerutan wajah anak yang hidupnya kurang beruntung tampak jelas. Kurus letih tak terurus. Wajahnya cukup menyiratkan kesusahan dan keminderan. Minder ya pastinya. Bukankan dia pasti malu dan minder karena teman-teman lainnya memakai seragam muslim yang bersih dan masih bagus. Lha dia sendiri hanya pakai seragam putih biru itu pun sudah lusuh karena seragam bekas pemberian orang.

Tak terasa imam salat mengucapkan salam. Kembali aku tersentak, rupanya salatku tak baik. Pikiranku bercabang-cabang. Aku merasa salat terlalu cepat. Atau memang aku yang banyak termenung sehingga tak sadar tiba-tiba imam sudah mengucapkan salam. Astagfirullah.

Kulihat anak tadi masih khusuk berdoa. Sepertinya doa-doa terbaik dia panjatkan. Hhhmm, teringat aku masa kecil. Bukankah nasib aku dulu mirip dia? Seragam sekolah hanya punya satu-satunya. Itu pun dijahit sendiri oleh ibuku. Karena supaya irit, ibu hanya membeli bahannya saja di pasar. Tak sempurna jahitannya. Saku celananya agak tertarik ke belakang, tidak simetris rata kiri dan kanannya. Karena agak tertarik ke belakang, kalau merogoh saku itu agak sulit karena lobang saku menjadi rapat. Tapi ah… apa pedulinya pula saku-saku itu, toh aku tak pernah menggunakannya, bukankah aku jarang pernah punya uang jajan.

Masih teringat pula, ibu kurang piawai memasang badge lokasi sekolah yang dijahit di bagian lengan baju. Penempatannya terlalu ke atas, agak rapat dengan sambungan jahitan pundaknya. Kadang itu juga jadi kenangan karena lucu. Karena kelak zaman sekarang, seragam cucunya yang beli jadi dari toko, kalau dipasangi badge lokasi sekolah, pasti pula memasangnya seperti seragamku dulu.

Terbayang ibuku sibuk menjemur pakaian seragamku yang satu-satunya itu di atas petromak. Karena saat itu aku kehujanan pulang sekolah, maka basahlah seragamku. Karena hanya satu-satunya dan akan dipakai lagi esoknya, maka ibuku mengeringkannya di atas petromak itu.

*****

Masih juga anak itu belum selesai berdoa. Padahal aku niatkan menyapanya. Akan kutanya saja mengapa dia tak berseragam muslim. Ah… kenapa pula aku tanya-tanya, toh jawabannya sudah pasti anak itu tak bercukupan. Tak terbeli, pasti itu jawabnya. Baiklah Nak, aku niatkan belikan kau seragam itu. Hitung-hitung aku balaskan dendamku dulu. Karena dulu aku pernah seperti itu walau mungkin dengan kasus yang berbeda. Tapi agak mirip-mirip.

Dulu saat SD, ada lomba senam SKJ. Kami latihan tiap hari. Sampai tiba dua hari menjelang lomba, guruku menyuruh kami membeli kaos oblong warna putih polos. Tapi sekolah tidak menyediakan, jadi kami harus membelinya sendiri-sendiri ke pasar. Lekas-lekaslah aku pulang. Kusampaikan pada ibu bahwa sekolah mengharuskan beli kaos oblong putih. Ibu tertegun. Aku tahu kalau ibuku begitu artinya dia tidak punya uang.

Besoknya di sekolah anak-anak lain sudah memakai kaos oblong putih. Guruku menyuruh memakainya agar dapat diketahui segala kesiapannya untuk besok lomba. Hanya aku yang tidak pakai. Guruku bilang "tenanglah masih ada waktu satu hari ini. Kau harus segera cari kaos itu," begitu perintah guruku.

Pulang sekolah, ada kejutan. Ibuku sudah menyambut dengan kaos oblong warna putih di tangannya. Entah baru atau pinjam atau dikasih orang. Yang pasti aku tidak berani bertanya. Kuhargai benar upaya ibu untuk membahagiakanku. Dengan tersenyum gembira aku coba kaos oblong itu.

"Gimana Nak, Bagus kan?" Ibu bertanya sambil tersenyum.

"Iya Bu, bagus kaosnya. Besok akhirnya jadi lomba." Aku tarik nafas dalam-dalam. Mataku berbinar. Senang tentu saja.

Aku teriak gembira. Padahal pula kaosnya agak kebesaran. Lobang lehernya besar, sampai aku harus sering-sering menggeser-geserkan pundakku supaya kaosnya yang kebesaran pas di tubuh. Tidak apalah, ibuku sudah cukup berusaha mencari. Aku tak protes. Memang dari kecil aku tak pernah protes. Aku cukup kasihan dengan ibu yang cukup repot mengurusi kami.

Aku tersentak dari lamunan. Anak tak berseragam muslim itu rupanya sudah selesai berdoa. Dia keluar mesjid. Segera kuhampiri.

"Tong, kamu kelas mana?" tanyaku.

"Kelas 7B Pak."

"Kenapa tak pakai seragam muslim?"

"Belum beli, Pak."

"Kenapa?"

Si Kecil Kurus itu tak menjawab. Hanya menggelengkan kepala sambil menunduk. Aku tertegun. Gelengan kepalanya sarat makna. Bisa bermakna tak punya uang. Bisa pula bermakna ketidakberdayaan.

"Siapa namamu, Tong?"

"Komarudin."

"Komarudin, Kamu temui Bapak ya besok pagi-pagi di kantor."

Komarudin hanya mengangguk. Ngeloyor pulang. Kutatap terus sampai di gerbang samping mesjid sekolah. Ada perasaan tercekat di leher. Tenggorokanku rasa tersumbat. Mataku berkaca-kaca. Kulihat badannya kecil lesu, cerminan tubuh jarang kemasukan gizi yang baik. Ya Gusti Allah angkatkan derajat anak itu. Berilah masa depannya yang cerah.

*****

Jumat malam ini berita di televisi ramai oleh berita demo di Jakarta. Atas nama rakyat, atas nama kemanusiaan, atas nama agama, atas nama ibadah. Teringat aku pada Komarudin. Besok aku sudah janji akan berikan dia seragam muslim.

Aku punya cara sendiri bersikap agamis. Demikian pula mereka yang demo di sana punya caranya sendiri. Tapi aku yakin, masih banyak Komarudin-Komarudin lain di sekitar rumah mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menyentuh sekali. Terima kasih sudah menuliskan ini.

06 Apr
Balas

Terima kasih telah membaca Bu Agustina

07 Apr



search

New Post