Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
NAMAKU JONI, HATI-HATI DENGANKU!

NAMAKU JONI, HATI-HATI DENGANKU!

Namaku Joni, usiaku 14 tahun. Aku baru kelas VIII. Dimana SMP tempat aku bersekolah sementara aku rahasiakan dulu. Bukan apa-apa, aku takut setelah kalian tahu siapa aku, maka kalian akan berbondong-bondong ke sekolah untuk mencariku. Aku takut seperti Ponari Sang Penyembuh itu. Yang karena kehebatan Batu Petirnya, orang-orang berbondong-bondong datang ke rumahnya.

Aku tak seperti Ponari yang punya jimat. Aku hanya manusia biasa (itu asli kataku, entah kata orang-orang yang tahu tentangku) yang tak punya kelebihan apapun yang bisa dijadikan kebanggaan. Namun sebenarnya tak begitu bagi keluargaku atau orang-orang terdekatku. Mereka bilang aku punya kelebihan yang orang lain tak punya. Mereka bilang aku indigo atau semacam itulah.

Sepertinya dari kecil aku bisa melihat makhluk yang mungkin bukan manusia. Memang yang aku lihat nampak seperti manusia. Tapi orang sekelilingku tak melihat orang yang aku lihat itu. Kadang kulihat orang banyak berkerumun. Mereka diam dan hanya tersenyum. Saat aku membalas tersenyum, malah teman sebelahku menganggapku gila karena terlihat aku senyum-senyum sendiri.

Aku tak merasa takut dengan apa yang aku lihat, karena ya itu tadi, yang aku lihat berbentuk manusia biasa. Lain soal kalau yang aku lihat berbentuk menyeramkan, mungkin aku akan takut juga.

Feelingku sangat kuat (kelak orang menyebutku mampu meramal) dengan hal-hal yang tak kuduga sebelumnya. Misalnya saja, pernah suatu hari aku dibonceng bapak pergi naik motor ke tukang urut. Bapakku hendak dipijat pinggangnya karena syaraf kejepit katanya. Kami sebenarnya tak tahu alamat tukang urut itu, temannya bapak hanya mengatakan bahwa tukang urutnya ada di Desa Gardu. Tapi entah bagaimana, feelingku sangat kuat, tiba-tiba saja pas pertigaan Desa Gardu aku bilang: "belok ke kanan Pak, nanti di situ ada tanjakan. Terus saja Pak, nanti kalau tak salah di habis tanjakan ini ada rumah yang di sampingnya ada kuburan tiga, nah di situ".

Betul saja ternyata apa yang aku katakan alamatnya itu tepat! Rumah tukang urut tepat ada di arah yang aku tunjukkan! Kalau sudah begitu bapakku hanya bengong sambil mengelus-elus kepalaku.

Hal-hal lain yang kadang aku juga merasa aneh adalah kata hatiku tiba-tiba saja mengatakan sesuatu hal, dan anehnya hal yang tiba-tiba tercetus itu menjadi kenyataan. Misalnya saja saat tetanggaku menikah, tiba-tiba saja aku bilang ke ibuku: "Bu, itu jodohnya pengantin tak bagus, beberapa lama lagi coba pasti cerai". Betul saja beberapa bulan kemudian pasangan pengantin itu cerai seperti apa yang aku katakan tadi. Maka sejak itu ada beberapa tetangga yang datang kepadaku untuk diramalkan jodoh anaknya yang masih berpacaran, tentang bagus tidaknya jodohnya kalau kelak menikah.

Kadang pula ucapanku menjadi sesuatu yang harus dihindari, atau tak boleh diucapkan. Untuk hal ini ibuku mewanti-wanti bahwa aku tak boleh menyumpah atau mengutuk orang sembarangan, karena kadang ucapanku itu selalu jadi kenyataan.

Hal tersebut pernah dialami saat suatu hari kami duduk-duduk depan rumah. Tiba-tiba saja di jalan depan gang rumahku motor berknalpot bising meraung-raung ngebut sembarangan. Tanpa sadar aku yang merasa terganggu bergumam: "sebentar lagi mati kau!" Maka yang terjadi kemudian adalah di ujung jalan depan yang terhubung ke jalan raya tiba-tiba saja motor yang berisik tadi bertabrakan hebat dengan sebuah mobil yang lewat. Brrukkkk! Pengendara motor tewas seketika. Maka mulai saat itu ibu melarangku berkata-kata yang seperti itu. Walaupun sebenarnya aku tak sadar dan tak bisa mengerem dengan apa yang aku ucapkan.

Seperti hari ini tepat pukul satu siang. Saat baru saja aku pulang sekolah. Di gang yang menuju arah rumahku kulihat Kang Dadang membawa sabit dan karung pergi ke gang yang sama searah dengan arah rumahku. Kang Dadang berpapasan sebentar denganku. Mengangguk kaku. Selebihnya dia hanya menyeringai pelan lalu segera pergi searah gang rumahku. Dia di depan dan aku di belakangnya membuntuti. Selepas belokan dekat rumahku, aku masuk ke rumah. Sementara Kang Dadang berbelok ke arah kiri lalu melipir ke belakang rumahku. Dan selanjutnya pergi ke kebun belakang rumahku. Di belakang kebun itulah ada sekian meter persegi kebun kepunyaan mertuanya.

Kalau melihat Kang Dadang tentu saja aku ingat istrinya. Teh Enok namanya. Teh Enok ini aslinya adalah guru SD di Pulau Sumatera sana. Tepatnya entah di kota mana. Kalau tak salah ibuku pernah bilang Teh Enok dan Kang Dadang pernah merantau ke Jambi. Lalu Teh Enok ikut testing guru, dan lulus. Sementara Kang Dadang itu konon tak bekerja alias pengangguran. Aku percaya kalau Kang Dadang itu pengangguran. Toh di sini saja, di Kuningan, Kang Dadang kan menganggur. Kerjaannya hanya pergi ke kebun mertuanya, lalu nyuri kelapa untuk dijual.

Nah sekarang Teh Enok ini tak bekerja. Dia keluar jadi guru SD. Dia keluar jadi guru karena pulang kembali ke Kuningan ini, dan tak mengajukan pindah kerja secara resmi. Konon katanya Teh Enok pulang dengan memaksa alias kabur dari Sumatera sana. Ibuku bilang Teh Enok merasa tak tahan dengan perlakuan suaminya, Kang Dadang. Dia suami yang galak dan sering KDRT. Saat dulu ibuku bilang KDRT aku hanya manggut-manggut saja pura-pura faham. Kini setelah sekolah SMP aku baru tahu kalau KDRT itu singkatan dari kekerasan dalam rumah tangga.

Setelah tak tahan mengalami KDRT, Teh Enok pulang ke Kuningan membawa dua anaknya. Dan sekarang tinggal di rumah orang tuanya. Adapun Kang Dadang, beberapa minggu kemudian ikut menyusul pulang ke Kuningan. Lalu ikut tinggal juga di situ. Sekarang tak terdengar lagi kalau Kang Dadang melakukan KDRT. Bisa jadi tak melakukan demikian karena Kang Dadang tinggal serumah dengan mertuanya.

Mengenai Teh Enok, aku sebenarnya punya historis yang menyakitkan dengannya saat usiaku lima tahun dulu. Saat itu kami bermain bersama. Dengan teman-teman lainnya tentunya. Aku lima tahun, dan Teh Enok sudah 12 tahunan. Sementara beberapa teman lainnya ada yang sebaya denganku dan beberapa lainnya di atas usiaku sedikit, diantaranya adik-adik Teh Enok itu.

Saat bermain bersama, dalam sebuah permainan aku bergerak mundur ke belakang. Lupa, beberapa langkah di belakangku ada jurang kecil sekira dua meteran dalamnya. Karena aku makin bergerak mundur, maka sebentar kemudian serosottttt… aku terperosok ke dalam jurang kecil itu. Daguku membentur batu runcing yang nempel di tepian jurang. Darah mengucur deras, daguku robek melintang sekitar tiga senti. Sakit tak terkira. Mataku berkunang-kunang, pandangan terasa berputar-putar, hampir pingsan. Tapi walau begitu masih sempat kudengar anak-anak berteriak peduli ingin membantu. Tapi kuingat jelas Teh Enok berkata ke anak-anak: "Eh tinggalkan saja, takut nanti kita disalahkan, ayo pergi!"

Aku yang ditinggalkan mereka, hanya bisa berusaha semampuku, mencoba naik kembali ke atas. Sambil menahan sakit, segera merayap menaiki tebing jurang kecil itu. Selepas kembali ke atas, ke tempat yang tadi semula, aku duduk terkulai dengan berdarah-darah.

Tak terasa ada sedikit marah pada Teh Enok atas ketidaksolidaritasannya meninggalkan aku yang terperosok celaka ke jurang kecil tadi. "Ah, suatu saat kapan-kapan kau atau siapa orang dekatmu akan mengalami menyakitkan sepertiku," aku tak sadar menggumam. Aku tak sadar telah mengucapkan kutukanku.

Namun untunglah ucapanku tak terbukti. Tak ada perkara apapun dengan apa yang telah aku ucapkan itu. Teh Enok selamat sampai sekarang. Entahlah sepertinya kutukanku sudah tak manjur. Atau mungkinkah kutukanku tersimpan rapat dan baru kejadian bertahun kemudian.

*****

Hari cukup panas, matahari sudah tepat di atas kepala, sedikit agak condong beberapa derajat ke arah Barat, tapi tetap panas. Angin cukup kencang berhembus, sampai-sampai jejeran pohon kelapa milik mertuanya Kang Dadang miring-miring terkena angin kencang tadi. Beberapa pelepahnya yang kering terlepas kena angin dan jatuh ke bawah.

Kang Dadang memicingkan matanya karena silau terkena sinar matahari. Sambil memiringkan telapak tangannya lalu ditempelkan di alisnya, ia melihat ke arah pohon kelapa yang tinggi menjulang. Sepertinya dia sedang mengira-ngira dan mengukur-ngukur tingginya pohon kelapa. Mungkin akan dipanjatnya. Mungkin akan dipetiknya kelapa-kelapa milik mertuanya itu.

Aku mengira mungkin demikian yang akan dilakukan Kang Dadang. Aku yang tampak jelas melihat tingkah polah Kang Dadang di balik jendela belakang rumahku, menebak-nebak demikian tadi terhadap Kang Dadang. Kang Dadang sebentar lagi pasti akan memanjat pohon kelapa yang amat tinggi menjulang itu. Ayo Kang, Kau naik. Kau panjat pohon itu. Aku ingin tahu bagaimana hebatnya orang memanjat pohon kelapa yang amat tinggi.

Kubuka gorden jendela lebar-lebar, supaya tampak jelas melihat bagaimana prosesi lelaki kurus dan tirus memanjat pohon kelapa yang tingginya tak terkira. Lelaki kurus yang galaknya tak kenal ampun. Lelaki kurus yang istrinya dulu pernah membiarkanku tanpa pertolongan apapun terhadap aku yang sedang celaka berdarah-darah masuk jurang kecil.

Lamunanku melewatkan prosesi Kang Dadang memanjat pohon kelapa. Tiba-tiba saja kulihat bahwa Kang Dadang sudah ada di tiga perempat tinggi pohon kelapa. Panjatannya cepat. Padahal aku barusan melamun tak lebih dari dua menit saja. Hebat, lelaki ini hebat menurutku. Jagoan manjat!

Tapi ahh… dalam hitungan kedipan mata saja. Entah karena angin kencang atau hilangnya konsentrasi. Tiba-tiba saja tubuh Kang Dadang merosot dengan kencang ke bawah. Kedua tangan Kang Dadang masih dalam posisi memeluk batang pohon kelapa. Brrakkkk!!!! Tubuh kurus terkulai menghantam tanah. Bumi dengan gravitasinya seolah-olah saja telah menyedot tubuh kurus Kang Dadang dengan kencangnya. Tubuh Kang Dadang berdarah-darah.

Aku panik, pemandangan mengerikan terpampang dengan jelas, walau jarak tempat kejadian itu dengan tempatku berada agak jauh. Mungkin jaraknya sekitar 50 meter. Tubuh kurus meluncur kencang dari atas pohon terlihat jelas dari arahku berdiri di balik jendela belakang rumahku ini. Spontan aku segera keluar rumah dan berlari ke arah tempat kejadian.

Beberapa orang sudah mengerumuni Kang Dadang yang sudah tak sadarkan diri. Aku mencoba menjinjitkan kaki ingin melihat Kang Dadang yang sedang dikerumuni orang-orang. Namun tubuhku yang baru 14 tahun ini belum cukup tinggi menembus kerumunan orang-orang.

Sekian menit berlalu kerumunan orang-orang pun menyebar karena tampak mertua Kang Dadang datang menghampiri. Akhirnya aku pun cukup dengan jelas melihat tubuh Kang Dadang.

Tubuh Kang Dadang sudah terkulai lemas. Tak terlihat ada tarikan nafas. Tubuhnya beradarah-darah. Dari bagian dagunya, kulihat robekan luka melintang sekitar tiga senti, persis seperti robekan di daguku dulu saat aku terjatuh ke jurang kecil. Kutukan telah terjadi!

Kulihat satu orang seperti hilir mudik ke sana ke mari. Wajahnya tak tampak jelas karena terhalang kerumunan orang-orang yang sibuk melihat jasad Kang Dadang. Tampak orang itu lari ke sana ke mari dengan wajah panik. Kulihat pula orang itu seperti menyapa tiap orang yang ada di sini. Tapi aneh setiap orang yang disapanya diam tak membalas sapaannya. Hingga akhirnya orang aneh itu pun melihat ke arahku dan tersenyum. Aku balas tersenyum dan mengangguk. Sekarang wajah orang itu tampak jelas kulihat. Wajahnya tirus mirip Kang Dadang!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post