Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
PIPINYA KEMERAH-MERAHAN 2

PIPINYA KEMERAH-MERAHAN 2

.....beberapa waktu telah lalu.

Angin kemarau dari arah pesawahan kembali berhembus. Sejuk dan hangat. Menggoyang-goyangkan dedaunan pohon pepaya di sebelah saung. Sekonyong-konyong burung pipit betina hinggap di salah satu dahannya. Bercicit indah, mungkin memanggil pasangannya. Tak berapa lama burung pipit jantan terbang menghampiri, hinggap di sampingnya. Kali ini dahan pepaya cukup kuat menopang sepasang burung pipit itu. Tidak layu dan tidak jatuh ke tanah seperti tiga tahun lalu.

****

Angin sepoi-sepoi menerpa pucuk-pucuk padi. Pucuknya bergoyang-goyang teratur. Menerpa pucuk-pucuk lainnya. Hingga membentuk suara yang indah didengar. Berdesau merdu. Cepat lambat, cepat lambat. Sangat teratur. Di ujung sawah segerombolan burung pipit berkejar-kejaran. Hinggap di padi-padi yang menguning itu. Dan sekonyong-konyong serentak terbang lagi. Karena ada orang-orangan sawah yang bergerak-gerak menakuti.

Di ufuk Barat sana semburat kuning jingga terlihat di balik Gunung Ciremai. Menjulang indah. Bak raksasa berselendangkan kain emas. Matahari senja sudah bersemayam di baliknya. Cahaya semburatnya tampak menyeruak di kedua sisi gunung. Indah memanjakan mata.

Ivan menarik nafas dalam-dalam. Disandarkannya punggungnya di tiang saung. Tatapannya kosong. Diusapnya wajahnya. Sekilas dia duduk kembali seperti semula, tidak bersandar seperti tadi. Gelisah.

Bodoh, aku benar-benar bodoh. Kenapa tidak kutanyakan nomor hp, atau pin bbm, atau apalah yang kira-kira aku dapat menghubunginya. Atau aku pergi saja ke rumahnya? Duh..cukupkah keberanianku datang ke rumahnya? Kenapa tidak aku tanya saja ke bapak, bukankah bapak pasti punya nomor kontaknya. Tidak, tidak, jangan nanya ke bapak. Pasti bapak meledek dan bilang, Jantan dong, pergi sana ke rumahnya. Laki-laki kok gak berani.

Bukan aku tidak berani. Tapi aku ragu benarkah apa yang waktu itu dikatakan Amelia. Bukankah itu jawaban normatif dari seorang gadis. Jawaban biasa yang selalu disampaikan gadis-gadis yang tidak ingin jawabannya menyakitkan para pria. Bukankah aku pun tidak bertanya tentang statusnya. Sudah ada yang mengisi hatinya atau belum. Bagaimana kalau aku ke rumahnya pas di sana ada kekasihnya. Pasti malu.

Tersentak Ivan dari lamunannya. Ditarik kembali nafasnya dalam-dalam. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara musik dari tetangga desa yang jauh. Mungkin musik dari acara nikahan. Lagu Sunda yang menyayat hati. “Situ Ciburuy laukna hese dipancing, nyeredet hate ningali ngeplak caina, duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing, nyeredet hate ningali sorot socana.”

Dalam kesendirian di saung itu, Ivan kembali termenung. Direbahkannya tubuhnya dibalai-balai saung. Mencoba memejamkan mata. Sayang, semakin dipenjamkan matanya, semakin pula bayangan Amelia melintas di depannya. Angin sawah kembali berhembus pelan. Meniup pelan wajah pemuda itu. Mata terkatup pelan. Dalam balutan mimpi indah pemuda itu pun tertidur pulas.

***

"Amel, dari mana saja, kok terlambat pulang?" Ibunya menyambut Amelia depan rumah.

"Ini Mamah tadi Amel lewat jalan Ciomas, ketemu Pak Kosim, jadi disuruh mampir dulu ke rumahnya"

"Ohh yang guru Amel waktu SMP itu kan?"

"Iya Mah."

Direbahkannya tubuhnya ke tempat tidur. Sambil ditopang kepalanya oleh kedua tangannya, ditengadahkannya wajahnya ke langit-langit kamar. Tatapannya kosong menerawang pertemuan tadi di rumah Pak Kosim. Pertemuan dengan Ivan yang cukup membangkitkan memori masa remajanya. Pertemuan kedua setelah tiga tahun lalu.

Masih diingatnya saat Ivan menemuinya di saung itu. Wajah lelaki itu gugup, tatapannya seperti memendam kerinduan yang tak tertahankan. Tapi aneh, ia pun senang melihat Ivan seperti itu. Sepertinya ia pun merasakan apa yang Ivan rasakan. Getaran-getaran rasa yang sulit tergambarkan. Tapi ahhkenapa pula Ivan tidak menanyakan no. kontakku. Bukankah dia akan sulit menghubungiku tanpa tahu no. kontakku.

Sepasang cicak berkejar-kerjaran di langit-langit kamar membuyarkan lamunannya. Sementara itu sayup-sayup terdengar suara pucuk-pucuk pohon bambu yang beradu karena tertiup angin. Khidmat dan syahdu. Menambah rasa risau yang tak terkatakan. Antara risau rindu dan risau tak akan dapat bertemu lagi dengan pemuda yang tadi pagi bertemu kembali setelah tiga tahun itu.

***

Tak terasa beberapa hari telah berlalu. Semenjak pertemuan itu, tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan bersua kembali. Tuhan mungkin akan menentukan atau memilihkan takdirnya untuk pertemuan mereka kembali. Tapi bukankah Tuhan hanya tinggal merestui pilihan kita tentang rezeki dan jodoh. Rezeki dan jodoh adalah takdir yang diupayakan. Rezeki harus dicari karena kalau tidak dicari maka rezeki tidak akan datang dengan sendirinya. Rezeki tidak akan kemana-mana kalau tidak dicari. Jodoh pun demikian pula, harus disongsong dan diupayakan. Jika kita tidak berupaya, maka jodoh tidak akan menghampiri. Maka untuk itu selayaknya kita harus mencari dan menentukan. Tuhan tinggal merestui semuanya.

Namun adakalanya pula terkadang Tuhan ikut menggerakkan takdirnya pada hal-hal kecil yang demikian itu. Seperti pertemuan Ivan dengan Amelia selanjutnya yang tak terduga di kemudian waktu.

"Ivan, nanti habis Magrib antar bapak ke sekolah. Ngambil berkas di kantor yang lupa tidak dibawa. Soalnya besok harus diantarkan ke kantor dinas," kata Pak Kosim di pintu belakang rumah sambil melihat Ivan yang sedang bersandar di saung.

"Iya Pak"

"Nanti Kamu yang nyetir."

"Iya Pak, siap."

Magrib pun menjelang, alam berangsur-angsur berubah dari terang menjadi gelap. Samar-samar rembulan muncul dari ufuk Timur. Cahaya samarnya menyemburatkan cahaya kekuningan yang cukup menerangi langit yang mulai kelam. Pohon mahoni yang menjulang di seberang rumah cukup samar terlihat karena cahaya bulan tersebut. Sekonyong-konyong serombongan burung pipit hinggap di dahan-dahannya. Lalu berjingkat-jingkat dan masuk ke sarangnya masing-masing. Begitulah hukum alam, binatang siang segera masuk ke peraduannya manakala malam menjelang. Sementara binatang nokturnal yang biasa keluar malam, segera bersiap untuk menyongsong malam. Mereka keluar malam untuk mencari penghidupannya.

Dari arah garasi rumah, keluarlah mobil. Dikendarai oleh Ivan, sementara Pak Kosim duduk di sebelahnya. Mereka hendak mengambil berkas-berkas kantor yang harus diserahkannya besok pagi. Jarak antara rumah dengan sekolah tidak begitu jauh, sekitar empat kilo meter. Sekolahnya berada di desa tempat rumah Amelia berada. Rumah Amelia dengan sekolah tersebut hanya berjarak beberapa ratus meter saja.

Tiba di sekolah, bergegas Pak Kosim masuk ke kantor. Sementara Ivan menunggu di parkiran mobil. Dibukanya pintu mobil lebar-lebar. Diaturnya sandaran jok mobilnya agak ke belakang. Sedikit bersandar ke belakang sambil tiduran, ditopangnya kedua tangannya ke belakang kepala. Sambil mencoba dipejamkan matanya, sambil pula dikhayalkannya Amelia. Ahh,,,gadis itu selalu mengganggu pikirannya. Rasa risau menyelimuti dirinya. Dapatkah Tuhan sejenak saja Kau aturkan takdirmu supaya aku bertemu dengannya sekali lagi. Kalau Kau berkehendak sekali saja mempertemukan aku dengannya, maka aku berjanji untuk meyakinkannya lebih serius. Tidak akan menyia-nyiakan pertemuan ini, kalau memang kami bisa bertemu.

Begitulah Tuhan yang segala maha mendengar. Maka lewat sentuhan takdirnya yang maha dalam dan maha mengetahui. Tersampaikan pula rasa risau rindu sang pemuda itu ke haribaan sang gadis. Maka risau rindu itu pun terbawa angin. Terbawa oleh irama pucuk-pucuk padi dan sampailah irama riang rindunya ke haribaan sang gadis.

Maka tiba-tiba tersentaklah Amelia dari lamunannya. Aku teringat kau, Ivan. Dapatkah sekali lagi kita bertemu. Aku tidak memintamu menyambutku dengan kereta kencana. Cukuplah kita sekali lagi bertemu dengan riang rindumu.

Begitulah Tuhan jika berkehendak mempertemukan dua sejoli. Tiba-tiba saja Amelia teringat bahwa ada tugas sekolahnya yang harus difoto kopi. Bergegaslah gadis itu mengeluarkan sepeda motornya. Hendak ke toko foto kopi tentunya. Jam menunjukkan pukul 19 lewat 5 menit. Mudah-mudahan saja toko belum tutup.

Bergegaslah sang gadis mengendarai sepeda motornya. Menembus dinginnya malam. Mesin sepeda motor menderu. Agak cukup kencang. Mungkin takut toko foto kopi segera tutup. Hingga pada sekitar jarak lima puluh meteran sebelum melewati sekolah SMP tempat bersekolahnya dulu, dilihatnya ada orang berdiri di teras sekolah. Tampak olehnya seseorang sedang berbicara dengan seorang lain yang berada di dalam sebuah mobil yang terparkir di garasi.

Makin dekat Amelia melewati sekolah, makin tampak jelas orang itu. Jantungnya berdegup kencang. Bukankah itu Pak Kosim?! Bukankah berarti orang yang ada di dalam mobil itu Ivan?! Bagaimana ini, apakah aku harus berhenti dan menyapanya. Ataukah aku pura-pura tidak melihat, bukankah dari arah sekolah ke jalan tidak mungkin terlihat karena jalanan tampak gelap.

"Bapak, lagi apa?" Amel menyapa di pinggir jalan sambil tetap duduk di sepeda motornya.

"Ohh, iya siapa itu?" Pak Kosim agak memicingkan matanya, karena dari arah teras sekolah tampak jalan itu gelap, sehingga orang yang menyapa akan tampak samar.

"Ini Amelia, Pak."

"Olalah Amel? Sini neng, ayo ke sini dulu, masuk lewat gerbang yang itu."

"Iya, Pak."

Ivan terkesiap, lamunannya buyar. Antara kaget dan terkejut. Rupanya Amelia datang tanpa diduga dan disengaja. Begitulah jika Tuhan berkehendak, apapun yang tak diperkirakan akan dapat terjadi. Dirapikannya rambutnya. Ditenangkan hatinya. Bukankah dia berjanji jika dipertemukan sekali lagi maka dia akan mempertegas semuanya.

"Neng mau kemana malam-malam begini." Pak Kosim menyambut Amelia yang langsung memarkirkan sepeda motornya.

"Ini, Pak. Mau moto kopi."

"Oh begitu. Ivan sini tuh ada neng Amel." Pak Kosim memanggil Ivan yang masih duduk di mobil.

"Hai Amel. Kita bertemu lagi." Ivan mencoba tak gugup sambil menjulurkan tangannya mengajak Amelia salaman.

"Ya, A Ivan. Bagaimana kabarnya."

"Kabar baik, Amel sendiri bagaimana?"

...........

Obrolan mereka semakin mencair. Sudah lebih bebas. Sudah lebih lepas. Pak Kosim tersenyum, ia pura-pura membereskan berkas-berkasnya di dalam mobil. Dibiarkannya dua orang anak muda itu bercengkerama. Setelah beberapa saat dilihatnya sepertinya mereka akan bergegas pergi.

"Amelia, bagaimana kalau aku antar saja motokopinya. Dengan sepeda motormu. Biar A Ivan yang bawa."

"Gak ngeropotin ini? Nanti bapak mungkin harus menunggu di sini?"

"Gak apa-apa, biar saja bapakku menunggu sini."

Akhirnya kedua anak muda itu berboncengan pergi ke arah pasar Ciawi. Sementara Pak Kosim yang mafhum, hanya tersenyum menatap kedua anak muda itu.

Angin malam mendesir. Menerpa dedaunan pohon gelodok yang berjajar depan gedung sekolah. Daun-daun keringnya berterbangan kian kemari. Sementara sayup-sayup deru suara motor Amelia yang dikendarai Ivan makin lama makin hilang.

***

Taman Kota Kuningan setiap Sabtu malam sangatlah ramai, hiruk pikuk orang menghabiskan akhir pekan. Tua muda, dewasa, remaja, dan anak-anak tumpah ruah. Para pedagang kaki lima sibuk melayani para pembeli. Beberapa pasang suami istri menuntun anaknya berjalan-jalan di sekitar taman. Beberapa pasang remaja duduk-duduk di kursi taman, saling bercakap bersenda gurau. Beberapa di antaranya saling berfoto di sekitar patung kuda dan air mancur.

Sementara itu di kursi taman sebelah Selatan kolam air mancur, duduklah sepasang anak muda. Wajahnya ceria dan tersenyum penuh makna. Sang pemuda tertawa riang, rupanya apa yang dirindukan dan diidamkannya setiap waktu telah terwujud nyata. Dia telah menyampaikan riang rindunya yang selama ini selalu mengganggu mimpi-mimpinya. Dan sang gadis telah menerima pula apa yang telah ditegaskan oleh sang pemuda. Dengan rasa hati yang penuh suka cita.

"Amelia." Ivan menatap Amelia.

"Ya, A Ivan" Amelia balik menatap Ivan.

Dalam keremangan cahaya lampu-lampu taman, terlihat sang gadis pipinya kemerah-merahan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sepertinya ini cerita masa lalu, atau rencana masa depan untuk anak-anak? Kereeen. Lanjutkan!

15 Nov
Balas

Hahahaha,,masa lalu dan sekarang Pak Ade...masih berjalan. Kisah aslinya belum selesai.

15 Nov
Balas



search

New Post