Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
SENJA DI PENGHUJUNG NOVEMBER

SENJA DI PENGHUJUNG NOVEMBER

Segera kunaiki bis antar provinsi ini. Kupilih kursi barisan paling belakang. Sengaja. Aku paling suka duduk di barisan paling belakang. Kurasakan duduk di belakang lebih bebas dan lebih leluasa. Kebetulan pula penumpang bis tak begitu banyak.

“Mas, ini langsung ke Kuningan?” kataku pada kondektur bis.

“Betul Mas, 10 menit lagi kita berangkat, pukul empat sorean kita nyampe Kuningan,” jelas kondektur bis.

Kulihat jam tangan, masih menunjukkan pukul enam pagi. Berarti perjalanan dari Yogyakarta ke Kuningan ini sekitar sepuluh jam.

Masih terngiang jelas dulu saat bapak masih ada, selalu menyuruhku agar sesekali kunjungi Kuningan. Hanif, kapan-kapan pulanglah ke Kuningan. Masih ada saudara-saudaramu di sana. Berkunjunglah. Temuilah paman bibimu, adik-adik sepupumu. Supaya kelak kalau kau punya anak, anak-anakmu pun akan tahu asal usul bapak dan kakek neneknya. Asal mula keturunannya.

Terhitung sudah 15 tahun kami tak kembali ke Kuningan. Sejak kepindahan kami ke Yogya, kami tak pernah lagi pulang ke Kuningan. Entahlah mengapa pula bapak ibu seolah memutuskan tali silaturahmi dengan sanak saudaranya di sana. Mungkin pula karena bapak adalah anak semata wayang. Yang sesaat setelah meninggalnya kakekku, bapak pergi ke kampung halamannya ibu di Bantul Yogyakarta.

Mungkin pula bapak segan untuk kembali ke Kuningan, karena tak kuasa menahan kesedihan saat meninggalnya kakek yang begitu mendadak akibat kecelakaan tertabrak mobil. Sementara kalau nenek sudah lama meninggal jauh sebelum kejadian itu. Pun paman bibi yang disebutkan bapak tadi adalah adik-adik sepupunya bapak. Bukan adik atau saudara sekandung. Sehingga mungkin juga bapak tak pernah kembali ke Kuningan ini karena tak punya saudara dekat.

Namun sesekali ada juga saudara-saudara jauhnya yang berkunjung ke Yogya. Artinya pula memang tali silaturahmi dengan saudara-saudara dari Kuningan tak begitu padam juga. Nah ke rumah saudara jauhku inilah aku hendak berkunjung. Beberapa hari lalu aku dapat telepon dari Mang Didi bahwa dia mau menikahkan anak perempuannya. Mang Didi mengundangku agar dapat hadir di pesta pernikahan anaknya. Mang Didi adalah adik sepupunya bapak.

Setengah jam berlalu. Rupa-rupanya perkataan dari kondektur bis bahwa 10 menit lagi bis berangkat, meleset. Tak apalah, mungkin bis masih belum cukup penumpang.

Kulihat memang terminal bis tak begitu ramai. Tak sengaja kulihat kalender tergantung di warung kaki lima samping bis. Kalender satu lembar yang besar. Tertulis 28 Okt 1999. Pantas saja, sekarang tanggal tua. Orang-orang malas bepergian karena tak cukup uang. Mungkin.

Di ujung trotoar dekat koridor masuk terminal, terlihat serombongan pengamen pemusik Cilacapan memainkan musiknya agak lesu. Malas-malasan. Deretan angklung dan gendang dipukul-pukul agak pelan. Tak bersemangat. Mungkin karena sepi dari orang yang ngasih uang.

Bis pun berangkat. Keluar dari terminal. Pelan. Lalu berbelok ke arah jalan besar. Dan bis pun melaju.

Hari masih cukup pagi. Sinar mentari yang hangat menyeruak masuk. Cahayanya bias menembus kaca-kaca jendela bis. Kubuka gorden jendela bis lebar-lebar. Sengaja kubiarkan cahaya mentari masuk menerpa wajah. Hangat. Aneh tiba-tiba saja aku teringat 15 tahun lalu. Aku teringat pada Atikah, yang selalu membuka gorden rumahnya lebar-lebar membiarkan cahaya mentari masuk menerpa wajah kami.

*****

Saat itu. Pukul delapan pagi di hari Minggu tahun 1984. Di belasan tahun lalu. Seperti biasanya, Aku dan Ujang sudah duduk-duduk di rumah teman karib kami, Atikah. Kami yang umurnya sepuluh tahunan ini, duduk-duduk di kursi. Duduk di kursi kayu jati yang bentuknya melengkung membulat di setiap tangan-tangannya. Kursi yang tak begitu empuk, yang jok kursinya berbahan anyaman rotan.

Pastilah kalau sudah begitu, maka Atikah akan segera membuka semua gorden jendela ruang tamu. Lalu dibukanya lebar-lebar. Cahaya mentari pagi yang hangat segera menerpa wajah kami. Dan biasanya pula, Mimih (panggilan ibunya Atikah) mengantarkan pada kami tiga piring nasi goreng. Sambil ngobrol cekakak cekikik bersenda gurau, kami menghabiskan nasi goreng itu. Dan pastilah pula tak lama kemudian Mimih akan menghardik kami bertiga:

“Ehh!! Kalian lekas mandiiiii!”

“Baikkk Mihhh,” jawab kami bertiga.

Maka segeralah kami bertiga bergegas menuju sungai jernih yang ada jauh di belakang rumah Atikah.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Jalan setapak yang tanahnya keras mengkilat karena sering dilalui orang yang akan mandi di sungai. Menerobos pohon-pohon albasiah. Kami tak khawatir akan ada ular atau binatang liar apapun di sini. Karena mungkin saja binatang itu pun tahu bahwa jalan setapak ini sering dilalui orang. Sehingga binatang-binatang itu pun pasti takut ada di sini.

Kalau sudah terlihat pohon flamboyan yang bunga-bunganya merah semarak, sudah pastilah kami tahu bahwa sungai ada sebentar lagi. Karena pohon flamboyan itu letaknya ada di pinggir sungai.

Letak pohon flamboyan ada di tebing atas daratan pinggiran sungai. Banyak anak-anak yang senang naik ke pohon ini, lalu melompat dari atas pohon dan terjun ke sungai. Di bagian sungai yang anak-anak sering terjun dari atas pohon itu, terdapat kedung (bagian sungai yang agak dalam) yang asyik tentunya kalau terjun di situ.

Segeralah aku dan Ujang membuka baju. Lalu naik ke atas pohon flamboyan. Maka tak lama kemudian, sambil berteriak, kami melompat dan terjun ke kedung sungai. Byuuuurrr…

Tak lama kemudian Atikah yang masih mengenakan baju lengkap ikut terjun pula ke kedung. Bukan terjun dari pohon. Tapi dari bawah pohon, dari tebing tempat pohon itu ada. Atikah tak mahir manjat pohon yang tinggi.

Karena hentakan lompatan kami dari dahan pohon Flamboyan, maka bunga-bunga flamboyan yang kecil-kecil dan semarak itu pun berguguran ke kedung sungai tempat kami berenang. Maka sungai yang jernih itu pun bersemarakkan bunga-bunga flamboyan yang indah.

Sesudahnya tentulah kami pulang sambil berbasah-basah. Kecuali Atikah. Biasanya dia membawa pakaian gantinya. Berganti pakaian di belakang pohon flamboyan itu. Tentulah sebelumnya dengan mata melotot segera mengusir kami agar jauh-jauh dari pohon. Awas Kalian jangan lihat! Teriak Atikah.

Perihal tentang Atikah itu, kadang aku agak sedikit sungkan juga. Seringkali Mimih menganggapku terlalu berlebihan menurutku. Aku suka dipanggilnya mantu. Entahlah apa maksudnya. Wah, ini mantuku sudah datang… Eh mantu, kamu sudah makan? …Eh, bocah ganteng calon mantuku… Begitulah Mimih kalau memanggilku. Entahlah mungkin sekedar guyonan. Atau pula jangan-jangan beliau ingin bermantukan aku. Hhhmm….

Tapi kadang aku canggung juga jika bertemu dengan Atikah berdua saja tanpa Ujang. Kami canggung untuk bercakap-cakap. Biasanya kami hanya berdiam saja. Sukar untuk memulai obrolan. Sekonyong-konyong kami bertatapan. Gugup. Dan menunduk kembali. Kalau sudah begitu wajah manisnya Atikah terlihat memerah.

Dan aku masih teringat jelas. Saat aku dan orang tuaku mau pindahan ke Yogya. Aku berpamitan ke rumah Atikah. Atikah menangis tersedu sambil memeluk ibunya. Mimih memeluk erat Atikah sambil mengelus-elus rambut panjangnya. Sesekali mata sembab Atikah melirik ke arahku. Aku tersenyum dan mengangguk. Mataku pun ikut berkaca-kaca.

Perihal tentang Ujang. Nah inilah sahabatku yang paling pengertian. Sahabatku paling setia kawan. Apa-apa yang menurutku harus dilakukan maka pastilah Ujang akan turut denganku. Jika kami bertengkar pun, pastilah Ujang yang akan mengalah duluan.

Kemana saja aku pergi pasti dia ikut. Jika bapak dan ibu pergi ke luar kota agak lama, pastilah Ujang akan menemaniku tidur di rumah. Di sekolah pun kami duduk sebangku dari mulai kelas I sampai kelas IV ini. Maka saat aku pindahan ke Yogya pun, Ujang sedih tak terkira. Dipeluknya aku erat-erat. Maka kami berdua pun menangis terisak.

Maka sejak saat itulah hubungan kami dengan mereka berdua terputus. Hilang kontak. Tak pernah berjumpa walau sekalipun juga.

Ah…Atikah dan Ujang, masih adakah engkau sekarang? Masih ingatkah Kalian bahwa kita sering berenang bersama di sungai kita yang airnya bening itu? Masih adakah pohon flamboyan tempat kita melompat terjun ke sungai?

*****

Tiga jam berlalu. Bis melaju dengan cukup tenang. Tak lambat tapi juga tak terlalu kencang. Lambat laun, mataku terkantuk. Maka selanjutnya, aku pun tertidur pulas.

Tak sadar. Mimpiku telah kembali membawa masaku ke masa lalu. Kulihat Atikah memanggilku sambil berteriak-teriak, ”Hanif…aku ikuuuttt…Haniffff… tungguuu!”

Segera kulari menghampiri Atikah, “Iya Atikah, ini akuuuu… tak kemana-manaaaa…. Aku di siniii…mana Ujaaaang??” Namun tak kulihat Ujang.

“Mas…Mas…maaf Mas, bangun. Ini telah sampe ke terminal Cilimus Kuningan, katanya minta berhenti di terminal Cilimus,” seru kondektur membangunkan sambil menepuk-nepuk lenganku.

“Oh, iyakah? Duh tak terasa, aku ketiduran Mas,” kataku sambil menggeliatkan badan.

*****

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Dengan ojek kulanjutkan perjalanan ke kampungku. Kampung Bandorasa Kulon yang teduh. Kampung yang di belakang perkampungannya terdapat sungai yang airnya bening. Kampung di mana ada pohon flamboyan yang batang pohonnya besar. Yang batang pohonnya mampu menyembunyikan tubuh Atikah yang sedang berganti pakaian sehabis berenang di sungai.

Ojek pun melaju menyusuri jalanan yang cukup lengang. Dari arah perempatan, motor berbelok ke kanan ke sebelah barat. Maka motor pun melaju menyongsong matahari senja. Matahari senja yang 15 tahun baru kutemui lagi di kampung ini. Matahari senja yang cahaya samarnya tertutup Gunung Ciremai yang tinggi nan anggun. Matahari senja yang sinarnya berpendar-pendar menyeruak dari balik gunung. Pemandangan yang sungguh indah. Keindahannya masih hampir sama dengan masa belasan tahun lalu.

Ah… aku rindu kampungku. Aku rindu Atikah. Aku rindu Ujang. Aku rindu melompat dari pohon flamboyan dan terjun ke kedung sungai yang dalam itu. Yang cipratan airnya menyeruak ke atas permukaan sungai. Yang cipratan airnya berpendar kemerah-merahan karena banyak guguran bunga-bunga flamboyan yang jatuh ke air.

Maka di pekarangan sebuah rumah yang cukup luas, motor ojek pun berhenti. Inilah rumahku dulu. Rumahku yang ditinggalkan bapak dan dititipkan pada saudara sepupunya itu. Rumah yang pekarangannya terdapat pohon mangga yang dahan-dahannya menjuntai ke pinggir.

Di dahan-dahan pohon mangga itu kami bertiga biasanya duduk betah di situ. Masih kuingat jelas, biasanya Atikah duduk di dahan paling bawah. Tak mau di atas kami. Atikah bilang takut diintip kalau dia duduk di dahan atas.

Dari dalam rumah, kulihat Mang Didi dan Bi Inah (istrinya) keluar rumah menyambutku. Mang Didi memelukku sambil menepuk-nepuk pundak.

“Akhirnya si ganteng datang juga. Ayo masuk Hanif.”

“Makasih Mang. Ini pohon mangga masih ada ya Mang?”

“Masih De Hanif. Sengaja tak ditebang. Karena Bibi yakin, suatu saat De Hanif akan pulang,” Bi Inah yang menjawab. Mang Didi menggangguk dan tersenyum.

Segera kumasuki rumah. Masih seperti dulu. Kulihat gantungan lampu antik warisan kakek masih tergantung di ruang tamu. Lemari-lemari pun masih tertata di tempatnya. Ah… Mang Didi dan Bibi benar-benar merawat dengan baik titipan bapak.

*****

Malam hari pun tiba. Tak terasa pukul delapan malam pun telah menjelang. Suasana masih tampak akrab. Tak asing bagiku. Belasan tahun berlalu tak membuat suasana tampak berubah. Masih seperti dulu. Bunyi-bunyi suara jangkrik dan nyanyian kodok yang merdu masih terdengar di belakang rumah. Dari kejauhan, sayup-sayup masih terdengar suara radio. Dongeng enteng Mang Jaya yang legendaris. Musik degung sunda latar dongeng masih terdengar syahdu nan menyayat hati.

“Mang…” kataku membuka obrolan.

“Ya…” jawab Mang Didi.

“Kemana Ujang dan Atikah?”

“Anu Nif…anu…” kulihat Mang Didi seperti ragu-ragu.

“Kenapa Mang dengan mereka?” tiba-tiba perasaanku tak enak.

“…mmm…anu…Ujang … sudah meninggal…”

“Apaaaaa??!!” aku kaget bukan kepalang.

Tiba-tiba saja mataku berlinang dan hampir teriak histeris. Tak percaya.

“Iya Nif. Sudah dua tahun. Meninggal tertabrak di jalan perempatan. Jalan perempatan yang dulu kakek pun meninggal di situ.”

“Oooo…Innalillahi wainnalillahirojiun…duhh Ujanggggg…” aku bergumam lirih.

Kusandarkan kepala di sandaran kursi. Lunglai. Mataku memerah. Menangis tertahan.

“Dia mau nyeberang jalan saat mau jemput istrinya yang baru melahirkan di rumah bidan.”

“Kalau Atikah…?”

“Ada….”

“Sudah menikah? Sudah punya anak?”

“Nggak…eh anu…belum…”

“Masih di sana rumahnya? Mimih masih ada?”

“Iya masih di sana. Masih ada. Ibunya Atikah masih jumeneng. Masih sehat. Bapaknya saja yang sudah meninggal, 10 tahun lalu.”

“Oo kalau begitu aku mau ke rumahnya sekarang,” aku pun segera berdiri dari kursi. Hendak bergegas ke rumahnya.

“Tapi anu Nif…mmm…anu...”

“Oh iya,” kupotong ucapan Mang Didi, “aku jalan kaki aja Mang. Gak usah ditemani. Sambil jalan-jalan aja. Sambil lihat-lihat pula rumah-rumah kampung, apa sudah banyak berubah.”

*****

Malam belum larut. Masih belum pukul sembilan. Tapi malam ini orang-orang kampung sudah tak ada di luar rumah. Hanya ada beberapa saja anak remaja tanggung yang duduk-duduk di pinggiran jalan.

Di sebuah rumah sederhana aku berhenti. Inilah rumah Atikah. Bentuk rumahnya masih seperti dulu. Hanya berubah warna cat dan bentuk kusen pintu. Pintunya sudah agak modern.

Kuketuk pintu pelan. Tak ada tampak orang membuka pintu. Kuucapkan salam. Tetap orang rumah tak ada menyahut. Kuketuk pintu lagi agak keras.

“Ya sebentar…” kudengar ada orang menjawab. Masih kuingat suaranya. Itu pasti Mimih. Tak lama kemudian pintu pun terbuka.

“Assalamualaikum Mihh…”

“Waalaikumsalam…siapa ya?” Mimih tampak mengernyitkan dahi. Sudah lupa.

“Aku Hanif Mih. Hanif anaknya Mamad. Cucunya Bah Undan.”

“Ya Allahhh….Hanif…Mant…” Hampir saja Mimih mengucapkan panggilannya padaku. Mantuku! Tapi tak diteruskan. Entahlah kenapa?!

“Mih… apa kabar? Sehat? Atikah ada Mih?”

“Oh sehat…sehat…Atikah? Ada... Ayo masuk dulu.”

Aku masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang tamu. Sementara Mimih bergegas ke belakang. Mungkin memanggil Atikah.

Kulihat ruang tamu sedikit berubah. Kursi jati melengkung yang joknya dari anyaman rotan sudah tak ada. Berganti dengan kursi sofa sudut yang empuk. Kulihat gorden pun sudah berganti. Hhhmmm… aku masih teringat, setiap hari Minggu jika aku dan Ujang main di rumah ini, maka Atikah biasa membuka gorden lebar-lebar. Membiarkan cahaya mentari yang hangat masuk ke ruangan ini. Menerpa wajah kami yang belum mandi.

Walaupun tampak berubah, tapi di ruang tamu masih ada sesuatu yang tak asing. Lukisan gambar Mimih dan almarhum bapaknya Atikah masih tergantung di dinding.

Di lemari pajang pun masih ada yang tak berubah. Hhmmm…foto kami bertiga masih ada di situ. Foto hitam putih dengan pose berdiri bertiga. Atikah di kiri, aku di tengah, dan Ujang di kanan. Kuamati lekat-lekat foto hitam putih itu. Aku baru sadar sekarang, ternyata pada foto itu, Atikah memegang pundakku!

Tak kusadari Atikah dan Mimih sudah berada di ruang tamu.

“Atikah!?” Aku menjulurkan tanganku.

“Hanif…” Segera Atikah pun menjulurkan tangannya. Lalu menggenggam telapak tanganku erat-erat dengan kedua tangannya.

Sekonyong-konyong, Atikah segera memeluk Mimih yang masih berdiri terpaku di situ. Memeluk Mimih dengan erat-erat. Menangis tersedu. Mirip seperti saat dulu aku berpamitan akan pindah ke Yogya.

Sejenak suasana haru. Aku terpaku. Naluriku mengatakan ada sesuatu hal terhadap Atikah. Suasana sejenak kaku. Membisu. Tak ada obrolan. Aku masih duduk di kursi. Sementara Atikah dan Mimih masih berpelukan. Mereka masih bertangisan.

Hingga akhirnya pelukan anak dengan ibunya itu terlepas saat seorang anak perempuan kecil dua tahunan keluar dari ruang tengah lalu menghampiri dan memeluk tubuh Atikah yang sedang berdiri.

“Ma--mah…bo-bo..,” ujar anak perempuan kecil itu terbata-bata. Tangisan Atikah makin menjadi-jadi. Direngkuhnya, lalu dipeluknya si anak cilik. Diciuminya.

Aku tersadar. Naluriku mengatakan anak kecil itu adalah anaknya Atikah. Berarti Atikah sudah menikah!?

“Ma-mah i-tu ba-pa ta? Ba-pa utah pu-lang?” anak perempuan kecil menunjukku. Meronta-ronta ingin lepas dari pelukan Atikah. Kemudian turun dan menghampiriku.

Segera kupeluk anak Atikah. Entahlah, sepertinya anak ini berasa dekat denganku. Padahal kami baru bertemu. Kuelus rambutnya. Si kecil terdiam. Merasa nyaman. Dilihatnya wajahku sambil berbicara terpatah-patah: ba-pa…ba-pa. Aku tersenyum dan mengangguk. Kucium keningnya.

Sementara kulihat Atikah dan Mimih duduk di kursi. Masih menangis sesenggukan. Makin menjadi-jadi malahan.

Antara kaget, penasaran, dan heran. Kucoba membuka obrolan.

“Di mana… bapaknya… anak ini, Atikah?” kataku pelan.

Namun kulihat Atikah makin menjadi-jadi tangisannya.

“Nif…kau… tahu Ujang?” Atikah mulai tampak menjawab.

“Ya. Aku tahu. Dari Mang Didi tadi. Ujang sudah tiada. Tertabrak saat mau jemput istrinya di bidan.”

Tampak Atikah makin menangis. Bukan sesenggukkan lagi. Tangisannya makin kencang. Ditutupinya wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku makin bingung.

“Hanif anakku…,” Mimih mencoba menjawab, ”Hanif anakku…yang dijemput di bidan saat itu adalah…Atikah.”

“Ooo…Ya Gusti Allah…” aku bergumam pelan, makin kupeluk erat anaknya Atikah. Kuciumi kedua pipinya. Tak sadar, air mata keluar dari kedua mataku.

“Iya betul…itu… anaknya Ujang. Anaknya Atikah…” kata Mimih pelan.

*****

Hampir satu bulan berlalu. Oktober yang mengharu biru telah pergi dan berganti dengan bulan November yang indah.

Senja ini, di tepian sungai tempat biasa kami berenang dulu. Tempat biasa aku, Atikah, dan Ujang bersenda gurau sambil melompat terjun dari pohon flamboyan. Maka sekarang di senja penguhujung bulan November ini pula, kami bertiga pun kembali bersenda gurau bermain air di sungai ini. Ya, kami bertiga. Bukan bertiga dengan Ujang yang telah tiada.

Kami bertiga: aku, Atikah, dan si kecil Fatimah bermain-main air di sungai yang masih tampak bening seperti dulu. Bersenda gurau saling menciprat-cipratkan air ke wajah. Fatimah teriak kegirangan. Sementara aku dan Atikah saling tersenyum bahagia.

Beberapa saat setelah selesai mandi, kami pun bergegas naik ke atas. Ke dekat pohon flamboyan.

Maka setelahnya, sama seperti dulu, kulihat Atikah hendak mengganti pakaiannya di balik pohon flamboyan.

“Titip dulu Fatimah,” seru Atikah, “awas jangan lihatin aku. Jangan ngintip!”

“Ah…peduli amat. Kita kan sudah menikah. Sudah halal diintipin!” jawabku.

TAMAT

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpennya keren, femomenal. Salam kenal dan salam literasi. Sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah.

22 Dec
Balas

Aamiin.. Salam kenal juga. Terima kasih

22 Dec

Aamiin.. Salam kenal juga. Terima kasih

22 Dec

Jika kumpulan cerpennya sudah dibukukan izinkan saya membeli dan memilikinya.

22 Dec

Trims, nanti sy kabari

22 Dec

Mantapz... suka ceritanya...

22 Dec
Balas

Terima kasih.

22 Dec



search

New Post