Karak
"Mubadzir! mubadzir kalau sampai gak kemakan. Sayang sekali. Padahal dalam Islam sangat melarang sekali hal yang mubadzir itu. Membuang sia-sia segala macam apa saja, tak terkecuali juga makanan, terutama nasi." ujar Pak guru War sembari tangannya membolak-balik nasi diatas tempat hitam bulat yang terbuat dari plastik itu.
Tampak lengket beberapa nasi ditelapak tangannya. Dan setelah nasi terbalik rata, dijemurnya lagi diatas tanah.
Kalau dulu sih masih pakai tempeh (anyaman bambu).
"Nasi karak itu bukan nasi bekas makan orang yang gak habis...
Nasi yang kebetulan dari magic com atau rice cooker yang gak habis, dijemurlah akhirnya. Itu yang dikataken nasi karak..." ujar Pak guru Amirul yang gak pernah makan nasi karak.
Kemeroh! (sok tahu!)
Begitukah nasi karak itu?
Tidak juga sih...
Walau memang dulu banyak sekali ibuk-ibuk yang mengumpulkannya dari sisa-sisa atas piring yang gak kemakan...
Heuheuheuheu...
Karak, aron, jrangking, aking... biasalah orang menyebutnya setelah jadi.
Prosesnya gak begitu sulit. Nasi yang gak kemakan iťu dijemur di atas terik matahari sampai kering dan menjadi keras kembali keawalnya yang beras itu.
Tapi, dibilang susah juga bisa, karena seringkali saat kita bisa menjemurnya, ditinggal kerja dan tiba-tiba turun hujan.
Jadi basah lagi nasi yang sudah setengah kering itu dan berakhir dengan tumbuhnya jamur-jamur yang berwarna keorange-orangean.
Pernahkah kau memakannya?
Pernah?
Tidak?
Aku pernah.
Di jaman ku kecil dulu. Entah karena gak mampu beli beras atau memang ibukku kepingin saja makan sego (nasi) karak itu, akhirnya diolahlah nasi karak itu menjadi makanan yang baru.
Nasi karak yang kering yang sudah terjemur agak lama berwarna agak kecoklatan itu dicucinya sampai bersih kemudian dikukus dan setelah matang ditaburi garam dan diulet-ulet (dibolak-bali) pakai tangan beliau.
Setelah garam tercampur merata, hal terakhir adalah ditaburinya dengan parutan kelapa muda.
Rasanya...?
Benar-benar revolusioner...
Gurih, enak dan betul-betul mengenyangkan seperti bukan nasi kemarin yang gak kemakan.
Seperti nasi baru aja dengan olahan tangan terampil ibuk.
Cobahlah!
Minimal kau pernah merasakan sensasi rasanya yang revolusioner itu, heuheuheuheuheu...
Ada pula cerita dari temanku pak guru Fudz yang diamini Pak guru War.
Seringlah Bapaknya bawa pulang berkat dari kendurenan di Kalipare sana. Memang orang desa kalau mengadakan slametan, selalu saja berkat (oleh-oleh) yang dibawa pulang terlalu melimpah nasinya.
Jadi dijemurlah nasi sisa berkat itu keesokan harinya di atas tempeh.
Sehari penuh dibawah terik matahari dan mengering...
Jadilah nasi karak.
Nasi karak itu diolah oleh ibuknya. Di gorenglah karak dengan cara disangrai di wajan. Setelah matang disisihkannya. Selanjutnya dicairkanlah gula batok merah (gula jawa) dengan cara memasaknya.
Setelah gula mencair, dimasukkanlah karak yang sudah matang tadi. Setelah merata, baru bisa disantap dengan nama baru, yaitu Ampyang.
Sekilas mirip kayak nasi Intip.
Itu kisah-kisah dulu sewaktu kami-kami kecil.
Tapi sekarang sudah gak pernah aku merasakannya.
Makan sego karak buatan ibukku.
Ibuk sudah gak pernah memasaknya. Rata-rata sego karak sekarang dijual langsung pada seorang wanita agak tua yang keliling kerumah-rumah mengumpulkan sego karak.
Dibelinya sekilo 3 ribu rupiah.
Entah buat dimasaknya lagi atau diapakan. Digiling lembut juga bisa dijadikan campuran konsentrat.
Kalau bilangnya sih... buat konsentrat makanan bebek.
Maukah kau menjemurnya apabila gak kemakan nasimu?
"Gak! nasi yang gak kemakan langsung kukasihkan ayam-ayam atau mentok milik tetangga. Kebetulan tetangga ada yang pelihara binatang itu, jadi gak sempat ada sisa." jawab Pak guru Amirul.
Bolehlah, tapi kalau gak ada yang menghabiskan, lebih baik jemurlah agar bermanfaat lagi, jadi sego karak.
Pasti akan ada yang mengumpulkannya, seperti wanita tua yang keliling-keliling ke rumah-rumah mengumpulkan itu karak.
***
Wanita itu sudah nampak tua sekali.
Rambutnya yang putih itu terlihat tipis sekali hingga terlihat batok kepalanya.
Entah kenapa hari ini dia gak kelihatan keliling kekampungku sembari memanggul grasak yang penuh karak...
Kemanakah dia?
Jl. Basuki Rakhmat Sepanjang Gondanglegi kab. Malang, 6 November
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar