Pak Pen
Dengan ditemani kopi hitam entah apa nama racikan kopinya. Aku mencoba mengingat kembali seorang tua yang terduduk di sebelah tangga aula hotel bawah bagian kiri.
Kusruput kopi pagi ini setelah kutuntaskan pecel sepiring, mendol dan kawanan sayuran yang matang terebus di resto hotel.
Sudah terkenal menu terakhir hotel, yaitu pecel.
Hal ini aku dengar dari percakapan Pak guru Fat dengan Bu guru Wid di WA.
"Nanti pasti akan nyaman diperut. Gak seperti kemarin-kemarin. Nanti hari terakhir pastilah Pecel, lauk mendol dan ayam goreng. Gak akan mules lagi nanti Bu Wid" tulis Pak Fat, karena Bu Wid beberapa hari mengeluh, bahwa şarapan dan makan siang yang tak pernah cocok dengan perutnya.
Jadinya ya... mules terus.
***
Pagi, Aku keluar kamar bersama Pak Imun, mengenakan sendal kulit kepunyaan Pak Nur, guru dari Gunųng Kawi.
Tanpa permisi kupakai sendal kulit itu, karena tak ada orangnya.
Tali sendal jepitku selalu saja putus.
Malang benar nasibku, karena kakiku kesleo waktu cangkruan di depan kemarin malam. Jadinya ya putus itu tali sendal jepit.
Gak di Madrasah, gak di Hotel, selalu saja aku gak berjodoh dengan apa yang namanya sendal jepit itu. Selalu saja putus terus talinya.
Entah kenapa.
Tapi kata orang bijak sih, aku memiliki banyak kelebihan.
Ya!
Kelebihan.
Suatu kelebihan yang tidak semua orang memilikinya.
Ya! benar!
Kelebihan berat badan! ...hahahahha...
Jadinya setiap aku melangkahkan kaki yang menopang 82 kg berat badanku, selalu saja tali sendal yang kupakai menjerit,
"Aduh! aduh....! badanku molor, molor...dan, dan...putus lagi kan....? iya kan...?" begitu rintihan si tali sendal jepit.
Dalam perjalanan keluar kamar hotel, Pak Imun menghampiri seorang tua yang terduduk dibawah tangga itu. Mengambil pesanan pen nya yang 3 biji, dengan masing-masing pen tertulis 3 nama yang berbeda.
Kulihat, nama Pak Imun, istrinya dan anak lakinya.
Lalu Ia sodorkan uang kertas 2 lembar 5 ribuan. Diambilnya pen itu yang terbungkus plastik dan kertas nama pemesan.
Kubaca pada kertas itu,
Melayani Pulpen gratis nama
Logo: Kota Wisata Shining Batu
untuk hadiah seminar & sovenir pernikahan
Sedia kacamata plus & minus
Raya Gempol Punten Bumiaji Kota Wisata Shining Batu
Pak Pen HP.081805000744
Begitu yang tertulis pada bagian bawah kertas nama pemesan.
Sederhana hanya warna hitam putih foto copian.
Aku lihat, kayaknya menarik.
Memang sudah lama aku lihat seorang tua itu setiap ada acara di hotel. Ku duduk sejajar dengan beliau,
"Pesan 4 Pak" aku membuka pembicaraan.
Dia menatapku dengan senyuman khas kebapakan.
"Oh, silahkan silahkan. Silahkan isi dulu dikertas siapa-siapa yang ingin ditulis namanya ya? Dan silahkan dipilih jenis pen nya. Itu ada berbagai macam jenis pen"
Segera kutulis nama istriku, anak lakiku dan anak perempuanku serta namaku sendiri.
Selesai..., kukasihkan beliau.
"Kamar no. berapa?"
"No. 131 Pak"
"O..."
"Kenapa Pak? ada yang aneh dikamar tersebut?"
"O, Gak papa. Gak ada yang aneh kok. Biar enak saja nanti kalau namanya sudah selesai. Akan saya antarkan" tawarnya.
"O, ndak Pak usah Pak. Saya tungguin saja sambil melihat prosesnya. Saya pigin sedikit tahu. Bisa kan sambil ditungguin Pak?"
"O, bisa bisa...silahkan"
Kulihat ia menggoreskan spidol warna merah lurus garisnya terlebih dahulu pada tengah pen silver yang dipegangnya. Kemudian sejenak tangannya meraba-raba dan mulutnya terdengar seperti mengucap mantara menyebut-nyebut nama yang akan digoreskannya, dan dirasa sudah siap, segera ia langsung menggoreskan sejenis pisau tatah kecil yang dilengket lakban hitam itu ke pen.
Ia ukir dengan fleksibel itu nama-nama yang tertera dengan sedikit penekanan yang sudah lihai pasti.
Ketrampilan yang tak semua orang bisa melakukannya.
Tulisan indah, tulisan tangan orang jaman dahulu.
"Aslinya sini Pak?" tanyaku.
"Rumah saya di Punten itu mas." sambil menggores, "seperti yang tertera dikertas. Kalau asli saya dari Kediri"
"Berarti sudah lama ya Pak kerja memberi nama pen ini?"
"Ya, sudah lama sekali mas...sejak saya muda dulu. Lupa tahun berapa itu. Saya sudah malang melintang didunia gores pen ini mas."
Hebat! Istiqomah! batinku...
"Pasarnya disini saja ya Pak?" tanyaku kembali.
"Gak mas. Pindah-pindah hotel. Kalau disini pas ada acara saja, ya kayak workshop ini, saya datang kesini. Kalau di hotel lain juga ada acara, saya kesana juga. Jemput bola aja...hehheheh...makanya yang pesan pen saya dari mana saja"
Ia terus menggores nama pada pen.
Tak tampak bingung kala ku tanyai.
Ia jawab dengan senyuman tapi tetap tāngan dan matanya konsentrasi pada goresannya.
"Emangnya pernah kirim keluar Malang kemana aja Pak?"
"Saya juga pernah mengirim ke Lumajang, Kediri, Probolinggo, Nganjuk kok mas. Kemana-mana. Ini ada sms nya" Ia tunjukkan sms di hpnya yang jadul merk Nokia.
Tertulis,
800 pen untuk oleh-oleh pernikahan Rara & Romi. dari Solo. Begitu tulisnya.
"Solo ya Pak?"
"Iya mas, juga ke Solo jawa tengah juga kok. Saya kirim paket JNE. Kadang juga pos. Murah, perkilo 17 rb untuk ongkos kirimnya. Daripada kenang-kenangan pengantin pakai apa itu sejenis sovenir boneka-boneka kecil atau yang dari keramik, habis lihat lalu tahu bahkan ada yang sampai terbuang. Sayang sekali kan...? mending pakai pen aja, bisa digunakan untuk menulis. Dan ada nama pengantennya juga. Penganten akan selalu teringat terus. Sovenir pen lebih punya banyak faedah" promosinya.
Ya, bolehlah.
Aku dukung, agar orang indonesiā mau untuk terus menulis seperti Pak Pen.
Menulis untuk hidup. Hidup yang semakin tergerus oleh kemajuan teknologi dunia maya komputerisasi.
Anak-anak sudah jarang sekali menulis tangan apalagi nanti sampai bisa menulis indah kayak Pak Pen.
Anak-anak akan punah suatu saat nanti tulisan tangannya karena sudah tak pernah pegang pen untuk menulis.
Sudah terihat mulai tergantikan oleh board komputer. Tombol-tombol papan ketik.
**
Angin pagi menghembus dan sinar mentari mulai menerobos dengan sorotan kuningnya.
Silau sedikit kala kulihat ke langit-langit.
Suara nyaring crecetan burung emprit terdengar saling bersahut-sahutan. Menambah kenyamanan suasana hotel yang tampak asri tersebut.
Tapi itu tak sama dengan perasaan hati Pak Pen. Kulihat wajah Pak pen.
Kulihat mata Pak Pen berair.
Loh! kenapa?
Diusap dengan punggung tangannya yang kanan. Ku tanyai,
"Kenapa kok tiba-tiba menagis Pak?"
Ia sedikit mengambil napas panjang.
"Ini mas, sudah gak ada lagi penerus saya. Meneruskan menulis tangan indah ini. Anak saya dua saja, gak bisa nulis indah. Kucari anak lainnya juga gak ada yang mau. Semua anak gak ada yang bisa menulis indah. La, ini akan punah lama-lama...ketrampilan saya ikutan punah!
Umur saya sudah 60 tahún. Sudah dekat ajal saya mas. Gak ada pewarisnya."
Matanya nanar menatap ku. Dan pada mata yang tua itu, seperti menangkap secercah harap yang telah lama ditunggunya.
Kemudian ia berkata,
"Mungkin Mas mau meneruskan usaha saya ini...?"
Batu, Oktober
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Thanks atas supportnya ya...
Suka tulisan ini.