Anggo Marantika

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Silent and Brilliant

Silent and Brilliant

Silent and Brilliant

Juni 2013 menjadi awal pertemuanku dengan seorang anak perempuan berambut pirang. Ditemani oleh ibunya yang meledak-ledak, anak ini terlihat sangat tenang. Berbeda dengan ayahnya, yang terlihat mengawasi pembicaraan kami. Kepalanya polos tapi fikirannya terlihat sangat intelektual. Ia meminta sang istri menjelaskan tentang sistem pembelajaran di lembaga kami. Sesekali aku tersenyum dan memandang keduanya. Diskusi yang membuatku kikuk. Hanya sesekali berkata Yes, that’s right, sir! Pasalnya, lelaki berperawakan kekar ini memiliki keterbatasan komunikasi dengan Bahasa ibu kami. Jika ada pilihan dengan kondisi yang menyulitkanku kali ini, baiknya aku undur diri. Pura-pura sakit perut untuk menghindari perdebatan yang bahkan tak kupahami sedikitpun.

Ku perhatikan, anak berambut pirang memandangku malu-malu. Matanya terlihat sayu tapi tidak ada illustrasi sendu. Wajahnya cantik, berbentuk oval, dengan pipi yang sedikit menggemaskan. Ku lemparkan saja sebuah senyum padanya. Setelah diskusi yang cukup panjang, orangtuanya bersepakat untuk melengkapi administrasi sekolah. Nama anak ini ternyata bernama Lyla. Hasil persilangan genetik antara Belanda dan Indonesia. Wajahnya terlihat mirip seperti ibunya. Yang berbeda, hanya bagian rambut yang terjuntai dengan warna emas kecoklatan. Dari Sorot matanya, ku memperhatikan keusilannya. Anak berusia 11 tahun yang pandai menempatkan diri. Tubuhnya mematung, lengkap dengan mulutnya yang terkunci rapat. Sesekali ia hanya menggeleng, ketika ia tidak setuju dengan pernyataan orangtuanya.

Seminggu berlalu, ku terima lembar jadwal baru. Kali ini sedikit berbeda. Proyeksi bidang pengajaran mempercayaiku untuk mengampu kelas 5 SD. Ku lihat nama Lyla diantara dua siswa lainnya. Mulutku mengangga, gejolak di dada yang melemaskan semua sistem sarafku seketika. Batinku menjerit. Bagaimana mungkin aku bisa berkomunikassi degan ayahnya? Sial! Gerutuku.

Tepat di hari rabu minggu berikutnya, adalah kelas pertama bagi Lyla dan dua rekannya yang lain. Kali ini senjataku lengkap. Ku kantongi latar belakang setiap permasalahan peserta didik dari divisi psikologi. Lyla akan berteman dengan melati dan Rafif. Kelas komunitas kecil yang penuh dengan kejutan.

Pagi itu, 3 anak SD kelas 5 telah duduk dengan manis, menunggu pelajaran pertamanya. Tak ada satupun dari mereka yang memperkenalkan diri. Atau paling tidak terlibat pembicaraan film kartun yang mereka tonton weekend lalu. Aku mengetuk pintu dan membawa optimisme masuk ke dalam ruang kelas berukuran 4 x 4 m2 yang terletak disisi timur gedung sekolah kami. Dari catatan psikologi, ku kantongi melati sebagai anak yang lambat belajar, rafif pemilik trauma dengan kondisi sekolahnya yang dulu dan Lyla bersih. Tanpa catatan apapun.

Pelajaran ilmu pengetahuan alam selalu menawarkan sesuatu yang berbeda. Dengan mempertimbangkan beragamnya problematika yang menimpa siswa-siswiku, kutinggalkan sistem konvensional di awal pertemuan kami. Ku ajak mereka menengok kebun dan halaman depan sekolah, sebagai aktivitas belajar yang menggugah selera. Melati dan rafif mengekoriku tapi Lyla ternyata diam membisu. Tanpa pikir panjang, ku gapai tangan Lyla. Ia menerimanya tanpa perlawanan. Lalu kami berjalan menyusuri hutan tandus sekolah.

Kumulai dengan menjelaskan prinsip IPA yang dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari. Mengenalkan bagian-bagian tumbuhan adalah tema pelajaran hari ini. Jadi, wajar saja, ku manfaatkan lingkungan sekitar sebagai media pembelajaran. Mulailah mulutku bercerita tentang indahnya team work yang dimiliki oleh tumbuhan. Dengan penjelasanku yang mudah diterima. Melati sesekali terlihat tertawa renyah, dan rafif hanya ikut menyunggingkan senyumnya. Sementara itu, Lyla seolah tak tertarik dengan joke yang kusampaikan. Mungkin, semua ini terlihat membingungkan baginya. Tapi ia justru mengangguk, setuju dengan segala ucapanku. Lyla melumat ku melalui matanya yang dingin dengan lekat. Ekspresinya datar seperti susu murni yang tak memiliki rasa.

Ku alihkan pandangan pada lembaran yang telah ku persiapkan. Tugas sederhana yang sudah menanti mereka. Seketika, melati kehilangan senyum di raut mukanya. Sebaliknya, Rafif menyambutnya dengan penuh semangat. Tak ku lihat sedikitpun trauma yang membelit Rafif. Lega yang kurasa. Selang beberapa saat, ku amati apa yang mereka fikirkan. Melalui tulisan, Rafif bercerita dengan rapih, hanya ada beberapa yang terlewat. Good job nak, Sambil ku usap rambut lepeknya. Lembar kerja melati ternyata masih terlihat bersih. Ku dekati ia perlahan. Ku bantunya dengan memberikan klu-klu khusus yang mudah dimengerti. Tangannya bergerak dan senyumnya kembali merebak. Ku berikan kalimat penyemangat. Melati tidak seperti yang lainnya. Ia butuh pengulangan beberapa kali, sampai neurotransmitter menyampaikan pesanku pada otaknya. Ia bukannya tidak bisa. Gurunya hanya perlu lebih sabar. Mengulang semua penjelasan untuknya.

Saat ku hampiri Lyla. Tangannya memberikan kertas kerja yang sudah terisi penuh dengan tulisan. Seolah menolak bantuan, ia mencoba menghindari tatapan ku. Ia berdiri tegap diantara pot-pot berisi Bunga yang sedang bermekaran. Mataku bergerak cepat membaca tulisannya yang hampir tak memiliki cacat. Aku berdecak kagum. Tapi hatiku tidak sepenuhnya lega. Hampir selama satu jam penuh, tak ketemui suara Lyla. Ada apa dengannya? Tak terhanyut dengan lamunanku, segera ku apresiasi tentang hasil kerjanya. Lyla tersenyum. Aku mengacungkan dua jempol tangan ke arahnya.

Ada tantangan baru yang mengusik hati. Ku temukan informasi baru mengenai Lyla, sang perfectionist. Dilatarbelakangi rasa penasaran tentang jenis suara Lyla, ku fikirkan sebuah cara unik untuk membuatnya bersuara. Mungkinkah ia berjenis sopran yang memiliki suara memekik. Tapi rasanya tidak mungkin, jika melihat kepribadiannya yang tenang. Atau mungkin alto yang menjadi penyeimbang sopran di rumahnya. Lupakan sejenak mengenai tuntutan kompetensi pelajaran IPA. Lyla membutuhkan ku. Setidaknya untuk bercengkarama renyah bersama teman-temannya di dalam kelas. Hari itu pelajaranku berakhir. Guru lain sudah menunggu di luar ruangan. Aku menutupnya dengan Doa. Sambil berlalu, ku acak satu persatu rambut mereka. Terdengar suara protes, kecuali Lyla yang hanya menyisir rambut panjangnya sambil tersenyum ke arahku.

Hampir seminggu kufikirkan bagaimana ku kemas pelajaran IPA untuk trio kwek-kwek, teman istimewa ku. Sebuah metode yang aku sendiri belum yakin, mendengung di dalam pikiran. Tak kuasa ku lawan intuisi, tanganku mulai mencari beberapa gambar untuk projek baruku. Saat potongan gambar selesai digunting. Aku mulai tersenyum. Kubayangkan esok menjadi hari yang akan menyenangkan. Meski terdapat sedikit napas ragu yang coba kusingkirkan.

Kerangka permainan tradisional, engklek, sudah ku gelar di halaman depan mushola sekolah. Ku isi setiap kotak dengan sebuah gambar hewan yang sengaja ku letakkan secara terbalik. Muridku terlihat bersemangat untuk bermain. Ku jelaskan aturan permainan yang telah mengalami modifikasi ini. Tugas mereka adalah menerangkan cara perkembangbiakan hewan yang mereka pilih dalam setiap kotaknya. Melati melempar koin engklenya di kotak nomor tiga. Ia mendeskripsikan apa yang ia tahu mengenai ayam. Penjelasannya penuh dengan semangat. Hal ini sangat mudah baginya. Tanpa sebuah kesengajaan, orangtua Melati memelihara hewan unggas yang selalu berkokok di pagi hari. Rafif memperoleh kucing dan aku baru menyadari, ternyata ia memiliki pengalamam buruk dengan hewan ini sewaktu kecil. Ke duanya terlihat sangat senang. Poin terpentingnya mereka memahami perkembangbiakan ke dua hewan tersebut. Meski ditambah dengan penggalan-penggalan cerita pribadi yang mengundang gelak tawa.

Kali ini, Lyla terlihat ragu. Ia melemparkan koin engkleknya di kotak paling ujung. Kakinya melangkah sesuai dengan aturan main. Saat langkahnya berhenti di kotak yang ia pilih, matanya menatapku memohon pertolongan. Aku tersenyum, memikirkan apa yang selama ini aku bayangkan. Lyla harus melawan ketakutannya kali ini. Ku ajak melati dan Rafif bersorak untuknya. Ia terpaksa mengangkat kertas dengan gambar Anjing berbulu putih. Mulutnya terangkat dengan singkat. Lyla kembali menatap kami. Hanya ada anggukan sebagai balasan tatapannya. “Salah, tidak akan mengurangi rasa sayang kami padamu”. Kalimat yang kuterikan disambut tepuk tangan Rafif dan Melati. “Ayo Lyla” kedua temannya kembali bersorak. “Tidak ada yang salah dalam proses belajar, Lyla. Karena itulah kita disini”. “Belajar bersama dari banyak kesalahan.”

Kalimat terakhirku membuat Lyla mulai bernyanyi. Suaranya merdu. Ia ternyata mezzo sopran. Nada yang berayun diantara nada A3 di bawah C natural sampai dengan A5. Suaranya tidak melengking. Ia sangat anggun dalam bertutur. Kedua temannya bertepuk tangan untuk penjelasannya yang sangat brilliant. Aku menemukan banyak fakta dengan permainan sederhana ini, termasuk tentang Lyla yang menyukai seekor anjing.

Sebuah games sederhana yang mengukir cerita kami hari ini. Tak tergambarkan betapa bahagiannya berhasil keluar dari keadaan yang menyulitkan. I will never forget you, my trio Kwek-kwek. Anak-anak yang mengajarkan ku tentang arti perjuangan.

Refleksi

§ Setiap peserta didik memiliki keunikan dan potensi yang perlu kita gali. Tak terkecuali mereka yang istimewa.

§ Disaat hafalan yang marak diajarkan untuk materi IPA, lawanlah arus popular tersebut dengan menerapkan prinsip-prinsip IPA yang ada disekitar kita. Hal tersebut bertujuan untuk menumbuhkan sikap berfikir kritis pada peserta didik.

§ Metode belajar tidak terbatas hanya pada diskusi, ceramah atau presentasi. Masih banyak yang kita bisa gali. Berusahalah sedikit lebih keras, sehingga kita akan melihat generasi Z yang tumbuh dengan kreativitas. Seperti pada permasalahan engkle yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.

§ Kunci dalam segala keberhasilan adalah tidak menyerah. Karena dengan begitu, pikiran akan mendorong tubuh kita untuk melakukan usaha yang lebih keras.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan2 bunda

03 Nov
Balas

Ruarrrr biasa, pak guru punya banyak cerita yang "sarat makna" dengan bahasa kalbu tingkat dewa.Salam sehat dan sukses selalu buat pak guru.

03 Nov
Balas

Terimakasih Bunda Rai.. semoga bs menginspirasi seperti thlisan2

03 Nov



search

New Post