Semilir angin mengingatkan aku pada engkau, sahabat. Kala malam menyelimuti resah akan hak dan kewajiban. Kala gemuruh kota terdengar hiruk di telinga.

Senyum itu tak akan pernah terlupa. Pada tatap, dalam bayang, walau terkadang kelam. Beraromakan kuntum-kuntum rindu yang menggebu.

Sudut-sudut itu tak akan terlupakan. Bahwasanya di sanalah benih cinta tercipta. Di sanalah tersemai hasrat yang menguap. Bagaikan kereta api uap tempo dulu. Yang bergerak cepat dengan uap mengitari langit hingga gelap.

Yaa!... Satu malamku bebersamu. Satu malam yang mungkin tak akan terulang kembali. Satu malam yang membuat mata kita terbuka akan luasnya dunia. Satu malam yang telah memperkosa merenggut kewajiban utama kita.

Ingatkah engkau, sahabat? Kala hari menari bersama lentiknya jemari pada tuts-tuts tak berirama. Kala surya menampakkan kegagahannya dan kita hanya mampu mengecup salam pada kekasih nan di jauh sana.

Ingatkah engkau? Kala langkah kaki berayun pada malam gelap tak berbintang. Kala rintik hujan menyambut senyum kita penuh teduh bahagia. Dalam peluk malam kita bersama. Pada selimut yang sama kita tarik berdua. Mendongengkan kisah putri cantik yang terpuruk dalam pingitannya. Menantikan pangeran berkuda yang sangat dicinta.

Ingatkah engkau? Tentang mimpi yang kita ukir bersama. Yang akan kita petik kala ranum senja. Bersama senyum-senyum mereka, orang-orang yang tercinta.

Lalu, adakah alasan tuk kita tinggalkan mimpi kita? Tak adakah seberkas sinar yang dapat menuntunmu ke sana? Hingga kita dapat

melangkah bersama dalam suka dalam duka.

Ini adalah bekal kita. Di mana malam telah melahirkan benih kecintaan. Malam telah mengimajinasi kita dalam rangkaian aksara. Satu malam, satu buku. Aksaraku aksaramu, menyatu.