Senja kali ini kurasakan sangat hening. Tak ada gelak tawa para anak lelaki berkejaran bermain layang-layang di pinggiran pantai. Tak ada ibu-ibu yang asyik ngerumpi sambil menemani bocah cantik mereka bermain tanah. Tak tampak juga para bapak yang pulang dengan seember ikan hasil tangkapan yang masih menggeliat. Pantai ini terasa amat mencekam. Para penjual pun tak terlihat mengemasi barangnya.

Di salah satu sudut pantai nampak sekumpulan anak berpakaian lusuh, tak terurus, raut muka menggambarkan kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang tak seharusnya merenggut wajah-wajah mungil itu. Jemari kecil mereka tak hentinya mengusap air mata yang menganak sungai di pipi mungil mereka. Di antara mereka ada yang berusaha menyembunyikan rasa sakit dengan mengelus luka yang terbalut perban dengan wajah menyeringai. Tatapan mereka sayu dan kosong.

Tampak sesosok wanita berseragam rapi keluar dari mobil abu-abu bertulis “Panti Asuhan Kasih Bunda”. Menyapa para malaikat kecil itu dan meminta mereka masuk dengan lembut. Selamat tinggal para anak yatim piatu. Tsunami ini boleh merenggut nyawa ayah dan ibu mereka, namun tsunami ini tidak berhak merenggut masa depan mereka. Masih ada belaian kasih sayang yang siap mengembangkan sayap-sayap para malaikat kecil yang rapuh.