Aku tak dapat melupakan kenangan itu. Suara ledakan hebat yang memekakkan telinga serta desingan peluru yang terdengar jelas di sekitar jendela membuat tubuhku selalu gemetar setiap mengenangnya. Layaknya gempa bumi, kurasakan rumah kami berguncang keras ketika ledakan tersebut terjadi.

"Ditto! Ayo, cepat!"

Hatiku terasa hancur melihat Ibu yang bersusah payah menyelamatkan kami keluar dari rumah. Penyakit Remathoid Artistic yang dideritanya tentu saja sangat menghambat pergerakan tubuhnya.

Sungguh, aku tak dapat melupakan kenangan itu. Aneka pemandangan mengerikan yang aku lihat ketika kami berhasil menyelamatkan diri dengan menumpangi taksi yang kebetulan lewat di depan rumah. Puing-puing bangunan berserakan di jalan, orang-orang yang berlari sambil berteriak, serta pemandangan mengerikan lainnya yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Semuanya menjadi satu dalam tajamnya pisau yang berhasil menyayat hatiku sampai relung terdalam, meninggalkan luka yang aku tak tahu kapan akan pulih.

Hanya itu? Tidak!

Aku bahkan harus melihat tubuh Ayah yang telah hangus terbakar. Hatiku menjerit. Air mataku seakan kering oleh kejamnya tragedi pengeboman di Bali.

Apa dosaku? Aku hanyalah anak berusia 10 tahun yang ingin menikmati masa kecil dengan bahagia. Aku tak meminta apa pun selain menjalani kehidupan penuh cinta bersama keluarga.

Aku sangat terpenjara di dalam trauma berkepanjangan. Bahkan ketika usiaku telah bertambah 17 tahun sejak kejadian itu, aku masih belum mampu menghapus luka tersebut dari hatiku. Sampai kapan aku harus bertahan menghadapi perihnya rasa ini?

_____________

Jombang, 8 Mei 2021.

#TantanganGurusiana

#Tantangan_365HariMenulis

#Tantangan_Hari_Ke20