Anik Zahra

Anik Zahra adalah nama pena dari NI'MATUZ ZAHROH. Ia adalah seorang guru Bahasa Inggris di MTsN 5 Jombang, seorang ibu dari tiga orang anak, dan penyuka mu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Memeluk Hujan  -Part 4

Memeluk Hujan -Part 4

#TantanganGurusiana

#Tantangan_365HariMenulis

#Tantangan_Hari_Ke6

.

Memeluk Hujan

-Part 4

Meskipun telah menjadi seorang ilmuwan yang sukses, tetapi penantianku pada hujan tak terhenti. Ruang kantorku serba tertutup rapat. Tak ada interaksi udara luar dan dalam gedung. Begitu pula interaksi atmosfer antara pemandangan di luar dengan di dalam gedung. Tak ada jendela. Ketika hujan turun, aku tak akan mengetahuinya. Aku hanya tahu dari obrolan teman sejawat yang baru saja dari luar kantor. Aturan di kantorku sangat ketat, para pegawai tak di izinkan sembarangan keluar-masuk ruangan. Aku merasa menjadi manusia yang terpenjara oleh pekerjaan.

Aku juga pernah meminta Sarah -kekasihku menceritakan tentang hujan. Setiap kali kami bertemu, cerita tentang hujanlah yang selalu ingin kudengar.

“Aku heran, kamu lebih peduli pada hujan ketimbang aku. Aku ini calon istrimu, Mas! Tak bisakah kamu memberiku sedikit perhatian?” keluh Sarah.

Aku tak bisa mengelak. Lalu, kuceritakan hubunganku dengan hujan. Tapi sayang, kisah hidupku dan hujan justru membuatku kehilangan Sarah. Ia meninggalkanku dengan kisah hujanku.

Di saat aku mulai berada pada titik kejenuhan, aku nekat bolos kerja. Musim hujan tengah puncak-puncaknya. Sepanjang hari kuhabiskan waktuku duduk di alun-alun kota. Menantikan hujan. Mendung tebal merenggut biru langit. Seketika wajah langit menjadi seram, seolah-olah hendak mencengkeram bumi. Angin pun bertiup sangat kencang.

Aku makin bergairah saat gelegar halilintar dan kilatan-kilatan petir menyambar-nyambar. Aku semakin tak sabar menantikan hujan. Aku akan menyambutnya dengan sukacita saat turun nanti. Gerimis mulai mengundang, tetesan pertama jatuh tepat di keningku. Rasa penasaranku pun memuncak. Aku tersenyum bahagia.

“Hujan … hujan …, ayolah cepat turun!” gumamku.

Tak lama kemudian, hujan deras menghujam tanah. Aku berlarian menerjang hujan lebat, berloncatan seperti anak kecil. Tak kuhiraukan lagi sepatu pantovel yang kukenakan. Kubiarkan tubuhku basah. Kubiarkan angin dingin menyergapku. Bahkan aku tak peduli apa kata orang-orang. Mereka berlarian menepi, mencari tempat berlindung.

Aku juga tak peduli petir yang menyambar-nyambar. Bagiku, itu sensasi hidup, setelah sekian lama aku menjalani hidupku yang landai. Tak berdenyut, juga tak pasang surut. Aku pun tenggelam dalam sensasi hujan, makin dalam makin mengasyikkan. Makin tak ingin kulepaskan hujan.

“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mendatangkan hujan untukku,” seruku berkali-kali. Dan, itulah teriakan terakhirku di tengah hujan.

Setelah hujan reda keesokan harinya, terpampang jelas di headline beberapa koran yang menulis: Seorang ilmuwan teladan di sebuah perusahaan bonafit tewas tersambar petir.

Hujan selalu punya rahasia dan cerita yang tidak akan habis untuk disampaikan. Ajaibnya, mampu menenangkan yang riuh, mendamaikan yang musuh. Dan terkadang juga mencemaskan yang jauh. Sebuah kematian yang membahagiakan.

T.A.M.A.T

Jombang, 6 Desember 2020

#Tulisan_Ke146

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ending yang mengenaskan. Keren salam kenal salam literasi. Izin follow Bun

06 Dec
Balas

Terima kasih sudah membaca bunda... salam kenal juga Bun

07 Dec



search

New Post