LAMPIRAN-LAMPIRAN
Aning Pudjiastuti
Email : [email protected]
Dua orang peserta pelatihan masuk ke ruangan dengan menunduk sambil tersenyum dan buru-buru. Tersirat rasa malu karena hadir terlambat saat sessi kedua pelatihan sudah dimulai. Tepat di depan meja seorang peserta, seseorang di meja tersebut langsung menyergapnya dengan pertanyaan ketus dan menyudutkan, “Saudara dari mana...saudara dari mana!”. Yang ditanya dengan wajah yang awalnya cengar-cengir malu tiba-tiba berubah kaget dan takut. Oang yang bertanya menggelengkan kepala dengan kesal.
Orang yang kesal dan marah saat ada peserta yang datang terlambat tadi bukanlah panitia atau trainer pelatihan. Dia adalah pemimpin rombongan dari suatu daerah yang membawa 6 peserta diantara 50 peserta lainnya. Usut punya usut peserta yang terlambat itu sempat tertidur di kamar hotel saat setelah break makan siang.
Tidak ada yang salah saat pimpinan rombongan memarahi anak buahnya untuk lebih disiplin. Merasa bertanggungjawab dengan personilnya, atau bisa jadi dia ingin menunjukkan pada peserta yang hadir bahwa dia punya kewajiban mengingatkan personilnya yang datang terlambat dan memalukan bagi timnya. Barangkali saja pendekatannya yang kurang tepat.
Membuat malu seseorang dihadapan umum tentu bukanlah salah satu ciri pemimpin yang bijak. Meski tujuannya bukan untuk mempermalukan. Menegur bawahan yang keliru sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk mengingatkannya. Hanya terkadang lampiran yang menyertainya membuatnya ingin menunjukkan siapa dirinya.
Lampiran-lampiran manusia hidup di dunia ini banyak modelnya. Seperti halnya pakaian dengan bermacam mode. Lampiran-lampiran itu antara lain berupa jabatan atau kekuasaan, kekayaan, ketenaran dan lain sejenisnya.
Saat sesorang bertutur kata atau bertutur sikap masih menyertakan dominasi lampirannya, sudah bisa dipastikan tutur katanya atau sikapnya kurang nyaman diterima orang lain. Apalagi disampaikan di depan publik, maka aura arogansi biasanya tercium tajam bagi orang yang menyukai suasana cinta damai.
Dari contoh kejadian diatas, akan berbeda bila pita rekaman ditarik mundur dan diulang dengan adegan yang berbeda. Saat dua personel tersebut tepat di depan maka pemimpin rombongan, sang pemimpin tetap tersenyum bijak dan berkata “silakan bapak ibu segera ambil tempat”.
Atau bila pemimpin tersebut ingin menegaskan bahwa kita harus bisa jadi contoh yang baik untuk yang lainnya, dengan kata lain jangan sampai rombongan kita mendapat citra yang kurang baik. Maka pendekatannya bisa dilakukan dengan cara personal.
Misalkan saja usai sessi pelatihan memanggil personil yang terlambat masuk ruangan tadi. Dengan tenang dan tetap menunjukkan sikap ramah namun tegas. Dan tidak di depan banyak orang. Mungkin sedikit minggir dari kerumunan peserta lainnya. “Maaf bu, kalau boleh saya ingatkan, saya harap di sessi selanjutnya usahakan jangan terlambat ya, nggak enak dilihat kalau terlambat”.
Kesan yang ditangkap bawahan pasti berbeda. Dia akan merasa berterima kasih sudah diingatkan, segan kepada pimpinan pun tetap ada. Dan tanpa merasa dipermalukan. Dengan kata lain pemimpin tidak harus menunjukkan jati dirinya bahwa ‘ini lo aku pimpinannya’. Dominasi lampiran yang membuatnya terjebak pada suasana arogansi
Memang dituntut kemampuan mengelola emosi. Dominasi lampiranlah yang menjadikan kemampuan seseorang kurang trampil mengelola emosi. Lampiran berupa ‘aku adalah pimpinan, dan aku malu dengan ulah personilku yang indisipliner. Arogansi pemimpin menjadi lampiran.
Dibutuhkan juga kemampuan untuk menilai sebesar dan sefatal apa sebuah kesalahan itu dilakukan oleh anak buah. Bila sebuah kesalahan memang fatal diperlukan tindakan tegas sebagai bentuk punishment yang mendidik.
Pada dasarnya manusia itu diciptakan Allah dengan kebaikan yang menyertainya. Fitrah baik sudah dibawanya sejak manusia dilahirkan ke bumi. Proses kehidupan yang membuat fitrah manusia itu berubah. Manusia makhluk yang dibekali potensi baik karena Alloh telah menjadikannya khalifah di muka bumi. Ya! manusia itu adalah pemimpin. Sudah dipersiapkan Alloh potensi-potensi kebaikan dalam diri manusia.
Contoh lain, seseorang yang sudah melakkukan ibadah haji merasa perlu harus mencantumkan inisial H di depan namanya, tidak terima bila tanpa inisial tersebut menyertai namanya. Atau harus dipanggil dengan panggilan haji A, Haji B. Padahal berhaji sama halnya dengan ibadah wajib yang lain, bukan untuk gelar H di depan namanya. Dominasi lampiran membuat potensi kebaikan itu memudar.
Dominasi lampiran memudarkan kebaikan, saat pemimpin berkata lantang hanya untuk memarahi bawahannya yang melakukan sedikit kesalahan. Hanya karena dia ingin orang lain tahu bahwa akulah pemimpin. Ya! inilah lampiran jabatan.
Dominasi lampiran memudarkan keikhlasan sesorang saat sedekahnya harus diumumkan dan ingin mendapatkan sanjungan bahwa ia adalah seorang yang dermawan. Dominasi lampiran kesombongan.
Cerita lain seorang pemimpin yang sedang blusukan memaki-maki seorang ibu yang ingin curhat masalah rumahnya yang kena gusur. Bukannya ditanggapi dengan baik justru mengatakan, “saya nggak punya waktu menanggapi urusan yang nggak penting!”.
Coba kita bandingkan dengan sikap seorang khalifah Umar bin Abdul Aziz saat blusukan kemudian mendapati seorang ibu sedang memasak batu demi untuk menenangkan putranya yang sedang kelaparan. Sang khalifah menagis merasa bersalah karena ada rakyatnya yang masih kelaparan. Lalu kembali memanggul sendiri gandum untuk ibu tersebut. Kenapa sang khalifah bisa melakukannya. Karena dia membuang lampiran bahwa dia pemimpin yang harus disegani dan dihormati. Lampiran itu dia gunakan semestinya.
Seorang pejabat melakukan korupsi bukan karena kekurangan kekayaan. Namun lampiran jabatan, kekayaan dan kekuasaan yang menguasai nafsunya maka ia bisa melakukannya.
Kembali pada tema pemimpin. Karena pada dasarnya setiap pribadi manusia adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggunjawabanya. Lampiran kekayaan, jabatan, kehebatan adalah titipan Allah untuk digunakan semestinya. Maka kehancuran dimuka bumi bila lampiran itu mendominasi nafsu kita. Kebaikan akan tergerus oleh lampiran yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sebelum terlambat, sebelum kesempatan berbuat baik ditutup dengan maut. Mari pergunakan lampiran yang kita punyai dengan semestinya. Dengan selalu mewarisi nilai-nilai Pemberi lampiran yaitu Allah. Karena Allah Maha baik. Dan kita seharusnya mewarisi nilai kebaikan dariNya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ceritanya menggugah loh, Bu Aning. Hanya saya kurang paham dengan judul 'lampiran-lampiran'. Mungkin yang dimaksud adalah titel atau jabatan yang dikenakannya ya. Maaf gagal paham.
terima kasih Pak Yudha atensinya. lampiran-lampiran saya maksudkan hal-hal yang melampiri sebuah sikap. Jabatan, kekuasaan, harta merupakan bentuk lampiran manusia. tapi lampiran disini semacam arogansi yang disebabkan karena jabatan, kekayaan. begitu mungkin pak Yudha...,
terima kasih Pak Yudha atensinya. lampiran-lampiran saya maksudkan hal-hal yang melampiri sebuah sikap. Jabatan, kekuasaan, harta merupakan bentuk lampiran manusia. tapi lampiran disini semacam arogansi yang disebabkan karena jabatan, kekayaan. begitu mungkin pak Yudha...,