PERJALANAN EKSPEKTASI
PERJALANAN EKSPEKTASIKU
Oleh : Aning Pudjiastuti
Email : [email protected]
Angan-angan untuk menjadi seorang penulis tiba-tiba bagaikan busur panah yang dilesatkan ke langit. Bagaimana tidak, selama ini hobiku menulis lebih banyak aku tuangkan di buku Diary-ku, selebihnya coret-coret puisi dan ikut-ikutan lomba menulis tingkat lokal. Begitu HP-ku berdering dari seorang kolega mengajakku untuk ikut di acara Literasi sontak aku iyakan, meskipun pada saat iu kesibukan di lembagaku menjelang akhir tahun menumpuk. Belum lagi urusan data online dan seterusnya. Tapi semangat untuk tahu bagaimana menulis yang baik, membuat aku tidak pikir panjang sedikitpun.
Namun, keinginanku yang menggebu itu justru terhenti pada kondisi yang rumit. Sepulang dari bimtek pendidikan keluarga, badanku terasa tidak nyaman. Meriang, mual dan pusing. Awalnya masih bisa aku tahan. Namun esok harinya semakin memburuk. Dokter keluarga akhirnya jadi tempat kunjunganku sore itu. Kali ini dokter keluargaku benar-benar memintaku untuk istirahat dan minum obat teratur, terakhir sebelum aku diijinkan pulang, diberi surat rujukan untuk rekam jantung. Itu karena ada keluhan sesak dan nyeri di dadaku. Alhamdulillah hasil rekam jantungku tidak ada yang serius meski demikian dokter menyarankan agar aku tetap konsultasi dengan dokter spesialis jantung.
Aku belum menyampaikan berita gembira (setidaknya untukku) ini kepada suamiku. Saat aku menyampaikan berita ini kepada suamiku ternyata dia kurang setuju. Sudah aku tebak sebelumnya. Alasan ketidaksetujuan suamiku bisa dipahami, pertama karena kondisiku sedang sakit padahal rekomendasi dokter keluargaku mengharuskanku untuk istirahat. Kedua, aku baru saja ikut pelatihan Bimtek dua hari yang lalu selama 3 hari.
Dan itu pula salah satu penyebab kondisiku drop. Ya, kelelahan dan abai dengan asupan gizi yang masuk. Suamiku terus menerus mengingatkanku untuk patuh pada nasehat dokter, istirahat!. “Adik usianya nggak muda lagi, nggak seenerjik ketika masih muda...sudah saatnya mengurangi banyak aktifitas. Apalagi sekarang sedang sakit..mana kegiatannya jauh, di Bali”…bla bla, serentetan kata yang melarangku untuk berangkat.
Sementara aku terus merajuk minta diijinkan. Bukan aku kalau nggak bisa merayu suamiku, aku yakinkan dia bahwa aku pasti sehat, bisa jaga kondisi dan aku yakinkan betul bahwa aku ingin sekali bisa menulis. “Mas kan tahu aku seneng nulis dan pengen punya buku…lagi pula kalau aku seneng menjalaninya siapa tahu aku malah jadi sehat mas”. Dan akhirnya suamiku menyerah pada kegigihanku untuk tetap berangkat. Padahal sudah 2 hari minum obat dari dokter kondisiku belum kelihatan membaik.
Mulailah aku prepare, sebisa mungkin aku tampakkan rasa bahagia dan sehat di depan suamiku, meski tetap tidak bisa dibohongi badanku terasa lemah dan belum sanggup banyak beraktifitas. Tekanan darahku masih rendah. Tapi semangat untuk bisa berangkat dengan kondisi sehat membuat aku berusaha bagiaman caranya aku secepat mungin fit kembali. Mulai dari menghubungi teman yang jual produk kesehatan herbal, beli susu, makanan kesukaanku. Semuanya aku upayakan agar dalam waktu dua hari kedepan badanku benar-benar fit. Mungkin karena suamiku melihat kesungguhan dan semangatku untuk ikut pelatihan literasi ini, dia akhirnya ikut membantuku persiapan, termasuk menyiapkan baju-baju yang akan aku pakai selama pelatihan nanti. Memesankan tiket travel untuk perjalananku dari ponorogo ke bandara Juanda. Kembali suamiku menanyakan kepadaku, masih ada harapan aku mengundurkan diri, setelah tahu obat dari dokter hampir habis dan kondisiku belum sepenuhnya membaik. Ditambah lagi alasan suamiku tidak bisa mengantarkan aku. Dia waktunya masuk kantor, suamiku bekerja di kota Bojonegoro, 4 jam perjalanan dari rumah kami ponorogo. Aku tetap bersikukuh tidak akan mundur, toh tiket pesawat juga sudah dipesan atas namaku dari teman yang di provinsi. Maka aku tetap memantapkan diri untuk berangkat.
Sehari sebelum aku berangkat ke Bali, suamiku balik ke rumah Bojonegoro untuk bekerja. Aku melanjutkan berkemas untuk perjalananku esok. Ada harapan besar dengan kegiatan yang akan aku ikuti . Setidaknya menjawab raguku, apakah aku masih mampu menulis kembali setelah pengalamanku menulis yang belum sukses. Malamnya aku bersiap menunggu jemputan dari travel yang akan mengantarku ke bandara Juanda. Semua yang mendukung kesehatanku aku lakukan, salah satunya sebelum berangkat aku minum susu dan madu. Selang beberapa menit kemudian travel datang. Aku kenakan jasket untuk antisipasi angin masuk ke badanku yang belum begitu fit.
Perjalanan dari Ponorogo ke Surabaya biasanya lewat jalan raya Madiun Surabaya. Namun kali ini berbeda, pasalnya sopir travel dapat kabar dari teman sesama sopir bahwa jalan raya Madiun Surabaya tepatnya di sekitaran Saradan hingga Wilangan macet total. Biasanya kalau musim long weekend memang daerah itu terkenal macet. Akhirnya putar balikpun dilakukannya demi efisiensi lewat Trenggalek.
Sepanjang perjalanan sopir travel begitu kencang memacu laju mobilnya. Aku yang berada di sampingnya, hanya mampu berdoa dan beristighfar memejamkan mata. Aku terus ucapkan kalimah laa illaha illallohu, kalaupun terjadi sesuatu setidaknya aku berniat menuntut ilmu karena Allah. Akhirnya, alhamdulillah sampai juga aku di bandara Juanda, jam masih menunjukkan 4 pagi menjelang subuh.
Dengan menenteng koper besar dan lemah menyertai karena sakitku, tertatih langkahku. Dalam kondisi seperti ini, jujur aku ingin ditemani suami. Tapi aku memahami, suami seorang guru yang berdedikasi tinggi dengan pekerjaannya. Ijin kudapat darinya itu sudah cukup buatku.
Saat aku mulai masuk ruang tunggu, gagang koperku ada yang menarik dengan pelan, aku tersentak. Sekejap aku pikir orang jahat atau apa, namun subhanalloh ternyata suamiku berdiri tegap mengambil alih koper yang ku pegang. Rasa haru dan bahagia saat melihatnya ada di hadapanku. Langsung kupeluk dia. Aku tidak pedulikan ini tempat umum. Ternyata suamiku malam itu laju dari Bojonegoro ke Juanda Surabaya berniat menemui dan menemani aku sebelum aku datang duluan ke bandara Juanda. Tetap terasa berat baginya melepasku disaat kondisiku tidak fit. Antara rasa terima kasih dan sakit badanku tiba-tiba aku merasa aman bersamanya.
Suamiku meraih tanganku dan mengajak duduk di bangku kosong. Segera dia keluarkan sesuatu dari kresek putih. Lagi-lagi aku terharu, dia bawakan aku susu, roti, beberapa cemilan kue sembari berkata “Adik harus sehat, karena perjalanan jauh, apalagi disana Adik banyak aktifitas belajar”. Ku cium punggung tangannya dengan ketulusannya. speechless
Kali ini semangat untuk jadi penulis benar-benar bulat. Aku harus bisa. Aku bertekad, kelak setelah pelatihan menulis dari P4TK TK PLB aku harus menjadi penulis. Dan tulisan pertamaku aku dedikasikan untuk suamiku. Orang yang selalu tulus menguatkanku.
Kuta, 26 pril 2017

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Haru...menghinggapiku. Penulis membawaku dalam dunianya. Selamat, Bu Aning! Keren!