ANIS KURNIAWAN

Seorang Pendidik Lulusan UM (IKIP) Malang Tahun 2009, saat ini mengabdi di SMAN 1 Waway Karya Lampung Timur...

Selengkapnya
Navigasi Web
ABAD 21, SIGNALNYA 1 STRIP “EDGE” DAN GURU “NGANGGUR”

ABAD 21, SIGNALNYA 1 STRIP “EDGE” DAN GURU “NGANGGUR”

Dewasa ini para guru dan praktisi pendidikan lain disibukkan dengan pembelajaran abad 21, katanya sih untuk menyiapkan anak didik menghadapi revolusi industri 4.0. Abad 21 merupakan adalah penanda saat semuanya terbuka, akan banyak kita jumpai tantangan yang sebenarnya adalah peluang. Zaman millenial dengan perubahan dahsyat dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga manusia dituntut untuk memiliki kualitas sumber daya yang unggul dan berdaya saing tinggi. Pembelajaran yang bisa mendorong anak didik menguasai kompetensi minimal yang terangkum dalam 4C (critical think, creative thing, collaboration dan communication). Ada pernyataan menarik pada sebuah kutipan gambar yang dikirimkan seorang kawan lewat media sosial saat mengikuti kegiatan ISODEL di Bali penghujung tahun 2018 kemarin. Tertera “Hari ini kita menyiapkan para siswa untuk memasuki dunia kerja yang belum tercipta, dengan menggunakan teknologi yang belum ditemukan, untuk menyelesaikan permasalahan yang juga belum diketahui” (Richard Riley, Secretary of State of Education USA 1993-2001).

Wow, menurut saya ini pernyataan yang cerdas dari dari negara cadas. Mungkin sekilas terbaca aneh, semakin di kaji malah muncul banyak tanya, mungkin juga ada yang bingung, “kok begitu tulisannya-la terus kita ini disuruh ngapain? wong ndak tahu mau di bawa kemana anak-anak sekarang ini? mau jadi apa? mau kerja apa? terus nantinya mau ngapain setelah sekolah? Celoteh rekan kerja saat istirahat di ruang dapur sambil nyruput kopi jempol. Pertanyaan yang sekilas seperti sederhana tapi menggelitik untuk dijadikan acuan berpikir kritis dan kreatif untuk bersama-sama memunculkan solusi dari permasalahan yang muncul pada pertanyaan sederhana tersebut.

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan di abad 21 tidak terkecuali dalam pembelajaran di sekolah formal. UNESCO (2002) menyatakan bahwa pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran memiliki tiga tujuan utama: 1) untuk membangun ”knowledge-based society habits” seperti kemampuan memecahkan masalah (problem solving), kemampuan berkomunikasi, kemampuan mencari, mengoleh/mengelola informasi, mengubahnya menjadi pengetahuan baru dan mengkomunikasikannya kepada oranglain; 2) untuk mengembangkan keterampilan menggunakan TIK (ICT literacy); dan 3) untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran.

Untuk mendorong kesiapan SDM di era global melalui pendidikan di sekolah pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran. Jika aliran listrik dan internet lancar memadai hal tersebut bukanlah hal yang sulit untuk diimplementasikan oleh guru. Bisa kita bayangkan bagaimana guru di daerah SM3T, atau daerah terpencil lain yang masih sulit terjangkau internet dan listrik “byar-pet”. Terkadang ada signal masuk “E” hanyalah 1 provider saja dan harus merogoh kocek pribadi guru dan peserta didik untuk membeli paket data. Jika guru itu kreatif akan banyak hal yang mereka buat untuk bisa mengintegrasikan TIK dalam pembelajaran menggunakan kabel atau nirkabel dengan wifi terbatas non kuota internet, hanya untuk mengenalkan materinya dengan menggunakan TIK. Semua memang dituntut untuk kreatif, tetapi dalam prakteknya, belum semua guru memahami apa yang dimaksud dengan mengintegrasikan TIK ke dalam proses pembelajaran. Banyak yang berpendapat pokoknya kita sudah ngajar pakai laptop dan proyektor, maka itulah integrasinya, padahal itu hanya mengunakannya untuk menyampaikan slide demi slide yang memudahkannya dalam berbicara di depan anak didiknya.

Pemilihan kelas maya untuk belajar dan memberikan evaluasi seperti fasilitas schoology, google classroms, quizizz, kahoot, rumah belajar kemdikbud dan banyak aplikasi lain adalah penawaran menarik untuk pembelajaran abad 21, tapi harus diketahui dan digaris bawahi bahwa itu hanya untuk kelas-kelas dimana listrik menyala dan akses internet bagus. Lalu fasilitas apa yang bisa dinikmati pembelajaran abad 21 secara offline? Masihkah bisa mereka bersuara lantang pembelajaran itu harus menggunakan IT jika dihadapkan pada problema uang ada, beli kuota juga bisa tapi signal tidak ada. Listrik memang masih menyala, 2 jam pembelajaran hidup dan sisanya mati total sampai bel pulang dipukul (pakai lonceng, bel dipencet tidak bunyi). Kreatif yang digaungkan, mereka dengan listrik dan internet lancar jauh terbang tinggi dengan kreatifitasnya karena terus difasilitasi, sedangkan dipelosok masih mencari satu setrip signal hanya untuk mengunduh contoh media pembelajaran berbasis IT, sungguh suatu keadilan sosial bagi seluruh guru dan peserta didik Indonesia.

Penghapusan TIK sebagai mata pelajaran sebenarnya bagus untuk wacana integrasi TIK dalam setiap mata pelajaran, sehingga tidak ada lagi konsep pembelajaran terpisah (antara TIK dan mata pelajaran lain). Walaupun dalam kenyataannya malah “bubrah”, Jika Anda diberikan suatu pertanyaan, Apakah TIK di sekolah telah dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran atau masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari? Apakah siswa sudah belajar dengan TIK atau siswa masih belajar tentang TIK? Kenyataan yang dapat dilihat dibeberapa sekolah adalah guru TIK “nganggur” tidak dapat jam ngajar, Laboratorium komputer sepi tak berpenghuni dan pembelajaran mata pelajaran berlangsung tetap seperti biasa, yang kreatif mengintegrasikan TIK akan tetap dengan kreatifitasnya, sedangkan yang malas tetap juga tidak terbantu oleh guru TIK yang sedang “nganggur” tadi.

Permendikbud No. 35 (untuk SMP) dan No. 37 (untuk SMA) tahun 2019 merupakan gebrakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun baru dengan menambahkan mata pelajaran Informatika yang disejajarkan dengan mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan. View Kompetensi Dasar yang ditawarkan juga sangat berbeda dan lebih menggigit. Sekilas kegembiraan dan rencana-rencana terbayang, walaupun mungkin belum terlintas tentang terbatasnya tenaga pendidik mata pelajaran sains yang kompeten untuk membelajarkan TIK di sekolah bahkan mungkin tidak ada. Wacana ini akan sangat efektif jika guru TIK kembali mengajar secara reguler, bukan jam bimbingan, sehingga tidak ada lagi kasus guru “nganggur”. Padahal seharusnya guru TIK adalah orang yang paling berperan mewujudkan integrasi TIK dan kemanfaatannya untuk setiap pembelajaran disekolah, dengan munculnya kembali mata pelajaran TIK semoga tidak kembali mengarah pada konsep pembelajaran terpisah, TIK harus tetap terintegrasi untuk seluruh mata pelajaran. SEMOGA.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post