Anitya Wahdini

Anitya Wahdini lahir di Jakarta. Lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, tahun 2005. Bekerja sebagai jurnalis di salah satu med...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Sungai Meluap
Foto diambil oleh salah satu tetangga saya

Ketika Sungai Meluap

Jika melihat atau mendengar banjir, saya sungguh mati rasa. Bukan karena saya tidak punya rasa empati atau antipati terhadap isu bencana, justru kebalikannya.

Saya sendiri mengalami banjir beberapa kali. Terparah di bulan Januari 2020 lalu ketika saya menyaksikan betapa wilayah sekeliling perumahan saya bak terkena tsunami kecil. Jalanan penuh lumpur, barang-barang yang lazim ada di rumah (seperti misalnya sofa dan kulkas) bergeletakan di jalan, dan mobil-mobil ringsek terhantam tembok atau saling bertumpuk. Ngeri!

Hingga saat ini, masih bergidik rasanya jika membayangkan episode satu tahun lalu itu. Trauma.

Lalu, mengapa saya mati rasa?

Jawabannya sederhana. Saya lelah. Lelah ketar-ketir saat titik muka air di hulu sungai Cileungsi yang melintas di depan rumah saya mulai naik. Lelah ditakut-takuti orang-orang yang berpikiran negatif seolah mereka makhluk maha benar yang paling paham soal bencana. Lelah membersihkan lumpur pasca banjir. Lelah melihat tetangga-tetangga saya yang berkali-kali terdampak banjir. Lelah mendengar isu bahwa pemerintah (pemkot Bekasi, pemda Bogor, dan pemprov Jawa Barat) akan segera menggarap proyek pelebaran sungai sehingga katanya tahun 2023 wilayah saya bebas banjir. Lelah dipandang iba oleh orang-orang yang saya tahu hanya bermaksud baik. Lelah dengan segala harapan palsu.

Dan malam kemarin, sungai kembali meluap.

Beruntung siang tadi airnya hanya meluap sampai ke jalan, tak mampir ke dalam rumah. Sebenarnya saya masih sangat bersyukur. Rumah saya lebih tinggi daripada rumah-rumah di sekitar. Jika banjir hanya di jalanan, maka di rumah saya pun tak sampai menyentuh garasi. Jika Januari 2020 lalu tetangga-tetangga saya harus menyaksikan rumah mereka terendam sebatas pintu, maka saya "hanya" setinggi satu meter. Bersyukur, memang. Akan tetapi melihat pemandangan seperti ini terus-menerus, manusia mana yang bisa berkata bahwa ia tetap tegar. Semua pasti lelah. Bahkan lebih lelah dari saya.

Saya hanya bisa menanti dan menagih janji pemerintah yang sudah saya sebutkan di atas tadi. Kapankah mereka akan merealisasikan semua janjinya? Jangan biarkan orang-orang lebih lelah dari ini. Sudah cukup!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ketika Sungai Meluap, keren ulasannya

08 Feb
Balas

Terima kasih, Bu Fit. Salam :)

09 Feb

Mantab ulasannya bu..sukses selalu

08 Feb
Balas

Sukses juga, pak. Terima kasih :)

09 Feb



search

New Post