Aku sudah berbulan-bulan tinggal bersama pemilikku tersayang. Dia adalah seorang siswa kelas 6 sekolah dasar yang sangat pandai. Wajahnya yang rupawan dan senyumnya yang manis membuat aku tak sanggup kalau harus berpisah dengannya.

Malam hari adalah malam penuh kesepian bagiku. Tinggal tertutup dalam kurungan lembut bersama pulpen-pulpen lainnya. Pagi hari sampai menjelang sore adalah hari-hariku yang berbunga. Aku menjadi pulpen kesayangannya yang ia gunakan untuk menulis.

Semua prestasi yang ia raih, aku turut hadir bersamanya. Jawaban-jawaban dari soal yang ia kerjakan menggunakan diriku. Semua catatan manis yang ditulis di diarynya, adalah bersamaku. Hanya aku satu-satunya benda yang tahu segala rahasia yang ia miliki.

Beberapa hari terakhir aku termenung. Rasa sedih mulai menghinggapi diriku. Rasa hatiku mulai gundah gulana. Pikiranku sudah sangat kacau.

Kulihat tinta yang tersisa yang ada di dalam tubuhku. Sisanya hanya tinggal sedikit. Entah tinggal berapa hari lagi sisa nyawaku. Tak terasa air mata mulai mengalir. Namun aku sadar, air mata tak mungkin bisa mengisi tintaku.

Aku sering berdoa supaya aku tak pernah dipisahkan darinya. Cintaku padanya sudah terlalu dalam dan aku tak sanggup kalau harus berpisah dengannya. Oh ... nasibku.

Hari yang mengerikan pun akhirnya tiba. Ketika itu sedang ada ulangan harian di dalam kelas. Ujung penaku menari-nari di atas lembar jawab ulangan. Tiba-tiba .... deg ... aku tersendat.

“Ya Allah!” aku berteriak tertahan di tenggorokan.

Sudah tidak ada lagi bekas tergores dari tarian ujung penaku. Aku terpaku. Inikah saatnya. Inilah hari akhirku. Inikah hari terakhir aku bersama dengan dia yang sangat aku cintai.