Hari sudah mulai gelap, laki-laki 43 tahun itu kini tengah masuk ke dalam rumah yang terbilang kecil tapi masih tetap bernuansa kental dan erat akan pedesaan, tidak ada kesan minimalis sama sekali seperti yang kebanyakan orang kota metropolitan katakan. disekeliling rumahnya hanya ada hamparan sawah dan ladang milik tetangga yang terlihat hijau memikat ketika siang hari. Terasa sunyi dan dingin pada malam hari, karena memang seperti kebanyakan di pedesaan suasana malam hari selalu demikian. Yang terdengar hanya suara jangkrik dari sisi kanan dan sisi kiri rumah yang saling bersautan, suara azan dan lirih munajat juga terdengar menyejukkan dan selalu membuat rindu bagi setiap orang yang pernah tinggal di desa. Setiap orang yang dibesarkan di desa pasti akan merasa begitu rindu dan ingin Kembali ke masa dimana mereka masih anak-anak yang taunya hanya makan bermain belajar dan tidur, atau bahkan mengaji di masjid atau di musholla. Ketika suatu waktu meninggalkan desa pergi ke tanah rantau dan mendengar suara kumandang azan disana ia hanya tinggal sebatang kara. Dibukanya perlahan laci yang penuh dengan kenangan pahit, iya, pahit. kenapa ia sebut begitu? karena dia tahu betul apa yang sudah menimpa dirinya sepuluh tahun yang lalu. Beberapa lembaran kertas bertuliskan kata-kata sampah tak berarti dan kotak kecil tersimpan didalam laci tersebut dengan begitu rapi, pikirannya masih menerawang jelas akan ingatan-ingatan yang masih menggurat seakan membuat lena, menggelayut dan menitikan air mata akan kenangan mereka sewaktu masih bersama. Apa yang mau disesalkan sekarang? Mau menyalahkan takdir? Menyalahkan keadaan atau bahkan menyalahkan diri sendiri yang seakan rapuh dengan ketidak berdayaan. Dokter muda itu kini sudah menikah dengan pilihan orang tuanya dan sudah mempunyai dua orang anak laki-laki.