Hidupnya dengan hidupku sungguh kontras ibarat langit dan bumi. Aku terbata-bata membaca garis hidup yang harus dijalani sampai detik ini yang dulu sangat kubenci. Tapi, setelah ditempa kesulitan demi kesulitan pandanganku tersadarkan bahwa ini adalah ujian. Hidup rekannku yang bergelimang materi, diberi kemudahan karier bahkan jodoh serta buah hati dalam bersamaan dapat membuat iri siapa saja. Aku pun dulu beranggapan bahwa dengan mulusnya perjalanan hidupnya pasti tiada hambatan. Tapi, lagi-lagi aku keliru dan salah besar.

Rinai ya itu nama rekanku lahir saat hujan gerimis kehidupan yang sempurna di mata orang lain tidak buat dirinya. Karena ibunya sangat sempurna mengurus semua kebutuhan, penampilan bahkan asupan gizinya. Pilihan kuliah sampai urusan jodoh. Semua dijalani seperti robot yang dikontrol dari jauh. Ia tidak berhak memilih. Hanya ikuti dan jalani. Sang ayah tidak berani karena patuh pada ibu yang otoriter. Jika ia boleh memilih mau bebas bermain dan menikmati masa mudanya yang hanya belajar dan belajar. Mendengar ceritanya baru lisanku bersyukur dan setiap skenario Sang Pencipta pasti itu yang terbaik. Tiada lagi keluhan meskipun semua berjalan perlahan tapi pasti mulai tercapai cita-cita. Cemoohan dan cacian telah menjadi langganan pembicaraan. Belum lagi tatapan aneh melihat wajahku yang sudah tua tapi berjibaku dengan bangku kuliah diusia yang tak muda lagi. Tetap menyemangati diri.

Kini rekannku berujung perpisahan pada rumah tangga dengan buah hati yang masih bayi karena jiwa muda yang berontak. Bukan menggurui masihkah tidak percaya dan benci pada Sang Pencipta alam. Masihkah mengatakan manusia yang paling menderita.