KUSENTUH HATIMU
Lanjutan...
Pembangkang Ulung
Tegar Ramadhan, nama yang indah. Doa dan harapan setiap orang tua akan terlihat pada pemberian nama untuk anaknya. Begitu yang selalu kudengar dari para orang tua terdahulu. Mengingat nama itu, aku yakin ia terlahir dari orang tua yang baik. Lalu apa yang menyebabkannya menjadi pemarah seperti itu? aku penasaran. Sejak kejadian di hari pertama sekolah itu, hingga kini belum terlihat batang hidungnya.
“Siapa yang tidak piket hari ini, Nak?” sapaku pada salah satu siswa kelas IX-E yang sedang piket membersihkan kelas. Sebagai guru yang juga mendapat tugas piket, aku berkeliling memeriksa setiap kelas.
“Tegar, Bu. Dia gak masuk sekolah dari Selasa, Bu.”
“Hm..berarti sudah tiga hari hingga hari ini. Ke mana anak itu?”
“Gak ada kabar, Bu.” Siti menjawab.
“Malah enak, Bu kalo Tegar gak masuk. Kelas jadi aman. Gak ada yang ganggu dan mengancam. Uang saku kami juga aman, Bu.” Jelasnya lagi.
“Baiklah, lanjutkan tugas piketmu ya, Siti!” kulanjutkan mengecek kebersihan kelas lainnya.
Hari ini kegiatan belajar mengajar dimulai. Jadwal telah dibagikan oleh Pak Purba. Rekan-rekan kerjaku banyak yang protes dengan jadwal yang telah dibagikan. Macam-macam saja komentarnya.
“Waduh, yang benar aja Pak Purba, masa saya sampai lima hari sih?” Bu Nina dengan suara kerasnya mulai pasang wajah sewot.
“Mendinglah lima hari, saya ini sampai enam hari. Sehari ada yang hanya dua jam saja. Kebangetan, ini sih cuma buat kotor baju aja!” Bu Supri ngedumel.
“Gak apa, Bu Supri, kita PNS memang jam kerjanya enam hari. Kasihan Pak Purba susah payah membuat jadwal. Kita jalani saja, Bu.” Bu Rahma berusaha menenangkan rekan-rekannya. Ia sendiri mendapatkan jadwal mengajar selama enam hari. Aku tersenyum menyimak perbincangan tersebut. Tak pernah kudengar protes seperti ini sebelumnya. Pak Rizal waka kurikulum, akan membaginya sesuai kedudukan kami di sekolah. Wakil kepala sekolah enam hari, guru yang mendapat tugas tambahan sebagai wali kelas, piket, kepala laboratorium maupun kepala perpustakaan lima hari, dan guru yang hanya mengajar saja empat hari. Tak ada protes setelah jadwal selesai. Aku mulai memahami perbedaan ini.
Kumasuki kelas IX-F, setelah kudapatkan data tentang siswa-siswaku. Sudah kuputuskan, hari ini aku akan pergi ke rumah Tegar. Anak pertama dari dua bersaudara. Tertera pekerjaan ayahnya adalah wiraswasta, sementara ibunya Ibu rumah tangga. Tinggalnya tak jauh dari sekolah, sekitar 1,5 km saja.
Ada rasa bersalah mengapa saat peristiwa ia dipergoki Pak Heru merokok di mushola, aku tidak memanggilnya. Saat itu aku hanya berpikir tidak ingin terburu-buru. Kupelajari dulu situasinya. Sambil menenangkan hati agar dapat menentukan langkah apa yang akan dilakukan. Kenyataannya aku membiarkan masalah ini hingga tiga hari, dan selama itu Tegar tidak muncul di sekolah.
Hari pertama kegiatan belajar mengajar kugunakan untuk berkenalan, membuat kesepakatan tentang tugas, warna sampul buku yang berbeda tiap kelas, dan penyampaian silabus untuk satu semester serta memberikan tes secara langsung tentang pengetahuan umum mereka terhadap materi Bahasa Indonesia yang telah mereka pelajari. Ada satu temuan yang membuatku terkejut. Salah siswa di kelas IX-C tidak bisa membaca. Bagaimana ia bisa lulus SD dan naik kelas hingga SMP? Akan kucari tahu penyebabnya. Sungguh hal yang membuatku merasa sangat prihatin.
Waktu belajar berakhir. Laju si hitam, kukemudikan dengan pelahan. Sesekali berhenti untuk membaca nama gang tempat Tegar tinggal bersama orang tuanya. Yup! ini dia. Mobil kuparkir tepat di depan rumah Tegar.
“Assalammualaikum…” kuketuk pintu rumah yang Nampak sepi itu.
“Waalaikumsalam. Siapa ya?” suara lirih wanita terdengar menjawab salamku.
“Saya wali kelasnya Tegar, Ibu.”
“Oo, ya sebentar.” Tak lama pintu pun terbuka. Seorang wanita yang kuperkirakan usianya lebih muda dariku, mempersilahkan masuk dan menyalamiku.
“Ada apa ya, Bu?” wajahnya tampak cemas. Ia terlihat lusuh. Wajahnya sama sekali tanpa polesan bedak. Butir keringat terlihat mengalir di pelipisnya. Ia tampak lelah, membuatnya terlihat tua dari usianya. Kulihat tumpukan baju yang menggunung.
“Ibu sedang menyetrika?”
“Iya, upahan Bu. Lumayan buat makan sehari-hari, bantu uang sekolah anak-anak, Bu.” Jelasnya.
“Alhamdulillah ya, Bu. Syukurlah.”
“Begini, Ibu. Nama saya, Melati. Tujuan saya datang ke sini, yang pertama adalah untuk bersilaturahmi. Saya ingin mengenal orang tua Tegar. Kedua, saya ingin menanyakan kabar Tegar. Apakah ia sakit?”
“Sakit? Nggak, Bu. Tegar nggak sakit. Ada apa memangnya? Apa ia jatuh? Berkelahi atau apa, Bu?”
“Maaf, Ibu sudah tiga hari ini Tegar tidak masuk sekolah. Itu sebabnya saya ingin tahu kabar Tegar.”
“Hahh..nggak sekolah? Tiap hari berangkat, Bu. Ibu salah orang pasti. Ibu tunggu aja. Sebentar lagi Tegar juga pulang.” Baru saja selesai wanita itu berbicara, Tegar pulang. Setengah berlari ia masuk ke rumah. Mungkin kaget melihat ada mobil parkir depan rumahnya. Selanjutnya Tegar tampak terkejut melihatku sedang berbincang dengan ibunya.
Aku tersenyum menatapnya. Ia terlihat gugup. Tak kulihat lagi kemarahan di wajahnya. Tak ada lagi sikap kerasnya. Ia tampak lembut dan kalem, dan ia menyalamiku. Seketika aku berubah pikiran.
“Oo, namamu Tegar juga ya? Wah ternyata benar apa yang Ibu katakan. Saya salah orang. Maafkan saya ya, Bu.”
“Iya, Bu gak apa-apa. Kalau gak begini, ibu belum tentu ke rumah saya.” Ia tersenyum. Kelegaan jelas terpancar di wajahnya. Aku tak sanggup melihat wajah lusuhnya terluka jika mendengar apa yang dilakukan anaknya.
“Kalau begitu saya permisi. Tegar, ibu pulang dulu ya. Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Subhanallah. Anak itu begitu santunnya. Ada apa ini? Mengapa perangainya sangat jauh berbeda saat pertama aku melihatnya. Tiba-tiba Tegar sudah berdiri di sisi mobilku. Ia mengetuk jendelanya.
“Mengapa ibu mencari saya? Mengapa ibu tidak bilang ke ibu saya, kalo saya bolos sekolah? Ibu mo baik-baikin saya ya? Percuma, Bu..saya gak percaya! Udah, ibu gak usah sok peduli!” Tegar berlalu meninggalkan aku yang masih terpana mendengar ucapannya.
“Tegar! Tunggu!” aku bergegas mengejarnya. Ia berhenti dan menatapku benci.
“Dengar ibu! Sudah kewajiban ibu sebagai wali kelasmu untuk mengetahui siswanya yang tidak hadir selama tiga hari berturut-turut tanpa kabar berita. Hal ini ibu lakukan untuk semua siswa ibu, bukan hanya kamu. Bukan karena ibu ingin membaik-baikkan kamu. Mengapa sikapmu begitu lembut dihadapan ibumu? Itu karena kamu tidak ingin ibumu kecewa dan sedih dengan perbuatanmu kan? Itu juga yang ibu lakukan untuk ibumu. Demi menjaga hati seorang ibu. Ibu tidak akan sampaikan tingkah konyol yang kamu lakukan. Tahukah kamu, Tegar? Sikapmu yang sembunyi-sembunyi ini adalah sikap membangkang. Kamu menjadi pembangkang ulung, dengan mengelabui orang tuamu!” aku berbalik, kembali ke mobil dan pergi dari hadapan siswa kecil berwajah keras, yang kini diam terpaku menatap kepergianku.
Sepanjang perjalanan pulang, air mata terus membasahi pipiku. Tiba-tiba rasa rindu pada ayah dan ibu menyeruak di hatiku. Betapa besar jasa mereka yang telah menjadikan aku seorang guru lulusan perguruan tinggi negeri. Tanpa kerja keras mereka, aku tak kan mungkin jadi sarjana. Ya Allah, lindungi kedua orang tuaku. Bahagiakanlah mereka.
-ooOoo-
Setelah kunjungan ke rumah Tegar kemarin, aku berharap anak keras kepala itu akan masuk. Ya, ia memang masuk hari itu. lagi-lagi ada saja yang menyebabkan ia jadi bahan perbicangan guru-guru.
“Bu Melati, ampun deh saya menghadapi Tegar. Bikin naik darah. Bawaan saya mau gampar anak itu terus. Bikin kesal.” Lapor Bu Nina geram.
“Apa yang hari ini Tegar lakukan, Bu Nina?”
“Dia seperti biasa gak buat tugas. Gak mengerjakan latihan, malah sibuk mengganggu teman-temannya. Pena temannyalah yang disembunyikan, buku temannya yang dirobeknya. Haduh..seperti menghadapi anak sekolah dasar!”
“Masya Allah…anak itu…” aku tercekat.
Hari-hari berlalu tanpa perubahan yang berarti. Tegar semakin sering bolos sekolah. Bahkan anak itu mempengaruhi teman-temannya untuk tidak masuk sekolah dan pergi main ke penyewaan ‘play station’. Bu Istina guru PKn pernah mencari keberadaan mereka. Berdasarkan sumber yang bisa dipercaya, ternyata benar, mereka berada di tempat penyewaan ‘play station’. Subhanallah, sangat jauh berbeda kehidupan pelajar masa kini dengan masa ketika aku SMP. Pesatnya kemajuan teknologi membawa dampak buruk bagi pelajar. Orang tua, guru dan masyarakat harus lebih ekstra dalam pengawasan terhadap anak-anak. Di sisi lain, ini adalah tantangan terbesar bagi anak-anak. Mereka harus memiliki benteng pertahanan yang kuat untuk mengendalikan sikap yang telah meracuni akal sehatnya.
Bersambung...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wah .. jadi penasaran apa sebenarnya yang terjadi dengan Tagar, bagaimana cara Bu Mel mngatasi siswa badung seperti Tagar .. jadi semacam studi kasus ini ya Nanda .. Keren .. salam sukses. Izin follow ya sayang
Terima kasih, Ibu.. dengan senang hati. Mohon simak lanjutannya ya, Ibu..