Ardhiana Amran

Ardhiana Amran lahir di Jakarta, 1 Maret 1971. Alumni IKIP Padang (sekarang UNP) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru di SMP Negeri 3 Kotab...

Selengkapnya
Navigasi Web
KUSENTUH HATIMU

KUSENTUH HATIMU

Lanjutan...

Lukamu adalah Lukaku

Pagi ini aku dikejutkan dengan keramaian di ruang guru. Ada siswa yang sedang diadili. Kedapatan bolos berkeliaran di pasar. Lebih parah lagi, satpam di satu-satunya mall di kota kecil ini, datang melapor, bahwa siswa tersebut telah mengutil beberapa barang. Setelah dijemput Pak Purba, baru keamanan mall melapaskannya. Hampir semua guru yang ada di ruang itu, memberikan komentar dan cacian. Tak jarang ada juga yang menjewer telinganya, mencubit pinggangnya dan memukul punggungnya. Aku menyeruak di antara kerumunan. Ingin tahu siapa siswa tersebut.

“Panggil saja orang tuanya! Biar tahu, kalau anaknya bandel!” ucap Pak Purba. Siswa tersebut nampak meradang. Kepalanya tegak menantang.

“Astaghfirullah al azim.” Aku terkejut. Siswa itu ternyata Tegar Ramadhan. “Maaf, Pak Purba. Mohon ijin untuk membawa anak saya ini. Saya wali kelasnya.” jelasku.

“O, iya Ibu silahkan!” Pak Purba menunjuk ruang BP. Aku segera menarik Tegar memasuki ruang BP dan menutup pintunya. Aku tak ingin guru lain ikut mengadilinya. Seringkali kulihat kebanyakan guru akan ikut menangani siswa berkasus yang dibawa ke ruang guru, tanpa tahu duduk persoalan yang sebenarnya.

“Duduklah! Tenangkan dirimu dulu, sebelum kamu menjawab pertanyaan ibu!”

Aku ke luar mengambil segelas air untuknya. Nafasnya masih terlihat memburu. Wajahnya yang keras menatap hampa dinding ruang bimbingan konseling itu. aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu. tangannya mengepal. Sesekali ia meninju telapak tangannya sendiri. Seakan ingin melampiaskan kemarahan dan kekesalan hatinya.

“Minumlah! Air ini akan membantu menenangkan hatimu.” Ia melengos tak menggubris permintaanku. Kutarik sebuah kursi dari sudut ruangan itu. kuletakkan tepat di hadapannya. Aku duduk, kuraih kedua tangannya yang masih mengepal. Ia mencoba melepaskan peganganku. Semakin kueratkan. Aku tak ingin melepaskannya.

“Tegar, sudah, Nak.. tenanglah. Tarik nafas dalam-dalam. Jangan biarkan kemarahan hatimu menguasai akal sehatmu. Tenanglah, Nak. Tolong ibu. Ibu tak ingin guru-guru lain menghukummu. Bantu ibu, Nak!” setengah menangis akhirnya apa yang menjadi keresahanku ke luar juga. Tegar tampak terkejut mendengar perkataanku, namun kekerasan hatinya hanya sedikit mengubah ekspresinya saat itu.

“Lihat ibu!” kuangkat wajahnya yang menunduk.

“Ada apa denganmu, Nak? Apa yang ingin kamu tunjukkan pada semua orang sebenarnya? Mengapa kamu membiarkan semua guru membencimu? Apa itu yang kamu inginkan, Tegar? Sanggupkah kamu jika ibumu mengetahui semua perbuatanmu?”

“Gak usah bawa-bawa ibu saya, Bu!” Tegar meradang, namun kurasakan kepanikannya.

“Kalau begitu, biarkan ibu bersamamu, Nak. Biarkan ibu mengetahui apa masalahmu. Lihat ibu, Nak, kamu percaya dengan ibu?” untuk pertama kalinya anak itu membalas tatapanku. Seakan ingin meyakinkan dirinya akan kebenaran ucapanku.

“Gak sekarang, Bu. Saya lagi malas ngomong.” Nadanya masih terdengar ketus.

“Baiklah, kapan pun kamu siap. Ibu akan menunggu penjelasanmu.”

“Ijinkan saya ke luar, Bu!”

“Baik, ibu akan ijinkan kamu ke luar dari ruangan ini dengan syarat. Kamu harus kembali ke kelas sampai pelajaran berakhir dan selama seminggu ini, kamu harus tetap hadir di sekolah. Bagaimana?”

“Iya, Bu.” Jawabnya lesu. Ku gandeng tangannya ke luar hingga melewati guru-guru yang masih asyik membahas kenakalan Tegar. Sejenak kesunyian muncul di antara mereka. Aku terus berlalu, mengantarkan Tegar ke kelasnya dan aku melangkah memasuki kelas IX-C yang terabaikan dengan kehebohan ini. Aku minta maaf atas keterlambatanku. Segera kumulai kegiatan pembelajaran.

Saat jam istirahat, kepala sekolah memanggilku ke ruangannya. Rupanya kejadian siswa kelasku bolos dan mencuri di mall telah sampai ke telinganya.

“Bu Melati, tolong selesaikan masalah ini secepatnya. Panggil orang tuanya, dan minta siswa tersebut buat perjanjian. Begitu juga orang tuanya, buat perjanjian di atas materai. Jika anaknya masih membolos, maka siap dikeluarkan dari sekolah kita!”

“Baik, Bu.” Tak ada kata lain yang sanggup kusampaikan.

Hatiku berkecamuk. Sanggupkah aku menyelesaikan masalah ini? Apakah memanggil orang tuanya adalah jalan menyelesaikan masalah ini? Aku tak tahu. Aku merasa gagal sebagai seorang guru. Aku ingat kritikan Pak Heru yang menilaiku membiarkan banyak kejadian yang telah dilakukan Tegar. Ya, aku sadar gerakanku terlalu lambat dalam menghadapi permasalahan siswa. Aku masih saja sibuk dengan keheranan dan ketakutanku sendiri melihat tingkah laku siswa-siswa di sekolah ini. Andi, Rio, Bayu, Tegar dan masih banyak lagi siswa-siswaku yang spesial. Kukatakan spesial, karena mereka telah mampu menyita pikiranku dan mengacaukan perasaanku.

Langkahku tetap mantap meski hatiku lunglai. Kumasuki kelas berikutnya dengan semangat seperti biasa. Kelas IX-F salah satu kelas yang mampu menghiburku. Keaktifan dan kelucuannya membuat senyumku terus mengembang. Belajar di jam terakhir tak menyurutkan semangat belajar mereka. Aku larut dengan keasyikan belajar bersama mereka, meski tak kupungkiri, pikiranku hanya kepada Tegar. Wajah keras kepalanya tergambar jelas dalam ingatanku. Terkadang seorang guru harus pandai menyembunyikan hati. Bekal teori mata kuliah teater saat kuliah dulu, harus kuterapkan dalam menghadapi setiap permasalahan.

-ooOoo-

Udara pagi ini begitu sejuk. Kutarik nafas dalam-dalam menikmati keramahan hari. Mentari menyembul dari persembunyiannya dengan malas. Warna kuning keemasan tampak membias pudar. Namun tak mengurangi kemolekan lukisan alam yang mampu memunculkan rasa nyaman dalam tampilan magis karyaNYA. Semoga hari ini penuh dengan berkahMU Ya Rabb. Suara batinku penuh harap.

Kubuka pintu ruang guru yang masih tertutup rapat. Belum ada satu guru pun yang hadir. Padahal jam telah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Beberapa siswa di pelataran kelas nampak asyik dengan gawainya. Aku melangkah ke meja piket, menyambut kedatangan siswa.

Mataku terus mencari sesosok tubuh kecil yng sangat kuharapkan kehadirannya. Siswa yang datang semakin ramai. Kuperhatikan satu persatu, tak juga kutemui. Bel tanda masuk telah berbunyi. Tegar yang kunanti tak juga kulihat. Apakah ia tidak hadir? Ke mana anak itu? Mungkinkah ia luput dari pandanganku tadi? Semoga saja, harapku.

Aku memasuki kelas pertamaku di hari ini, kelas IX-E.

“Assalammualaikum.” Pandanganku langsung mengarah pada tempat duduk yang kosong, tempat duduk Tegar dan juga Bayu.

“Ada kabar tentang mereka?”

“Tidak, Bu.” jawab mereka serentak. Kulihat Siti berdiri menghampiriku.

“Bu, tadi saya bertemu Tegar. Dia menitipkan surat ini untuk Ibu.”

“Surat? Terima kasih, Siti.” kubuka cepat amplop surat tak bernama itu. Kubaca kalimat demi kalimat tulisan rapi itu dengan hati bergetar dan penuh pertanyaan.

Malam sunyi, 11 November 2007

Untuk Ibu Melati

Sebelumnya saya minta maaf, karena hari ini saya tidak hadir sesuai janji saya pada ibu. Saya tahu ibu akan kecewa dengan saya. Bahkan mungkin ibu akan membenci saya seperti guru yang lainnya.

Ibu, saya memutuskan untuk bercerita pada ibu…saya mencoba untuk menuruti permintaan ibu. Saya merasa ibu berbeda dengan guru lain. Sepertinya saya ingin percaya dengan ibu.

Saya terlahir sebagai anak tertua dari satu adik perempuan. Belakangan saya baru tahu, bahwa orang yang selama ini saya anggap bapak, ternyata ia bukanlah bapak kandung saya. Ibu menikah dengan bapak saat saya berada dalam kandungan dan bapak tidak mengetahui hal ini sebelumnya.

Saya tidak ingat kapan tepatnya, yang saya ingat saat itu bapak pulang dalam keadaan mabuk. Saya terbangun saat mendengar tangis ibu dan hardikan bapak. Saya melihat ibu dipukuli dan ditendangi bapak. Saya menjerit, menangis mencoba lindungi ibu dari pukulan bapak yang bertubi-tubi. Bapak semakin marah. Saya pun turut dipukul bapak. Sejak saat itu bapak memanggil saya dengan panggilan ‘anak haram’.

Saya benci dengan panggilan itu, Bu. Saya merasa sangat hina, tetapi bapak lebih menghina ibu saya. Ia memanggil ibu dengan panggilan ‘lonte’. Ibu hanya menangis. Tak mampu berkata bahkan tak mampu melawan bapak saat tubuhnya dipukuli. Saya sedih melihat ini semua, Bu..karena saya, ibu mendapat siksaan terus menerus. Saya tidak berguna, Bu…saya gak mampu menolong ibu saya.

Kemarin ibu saya berulang tahun. Saya ingin melihat senyum di wajah ibu. Saya ingin memberikannya bedak dan lipstik. Agar ibu cantik seperti dulu. Tidak kumal dan kucel. Saya ingin ibu memakai baju yang layak. Tidak melulu dibalut daster yang robek dan dijahit sana-sini. Tapi, saya gak punya uang. Entah setan apa yang merasuki saya untuk mencuri di mall.

Saya tidak berguna ibu. Saya tidak tahu diri. Saya tidak ingin melihat ibu saya menangis saat ia dipanggil ke sekolah. Saya tidak sanggup, tidak akan pernah sanggup melihat ibu menangis karena saya. Ibu pasti akan mendapatkan pukulan yang lebih hebat dari bapak. Benar apa yang dikatakan Pak Heru, saya orang yang gak pantas hidup!

Bu Melati, maafkan saya tidak bisa mematuhi permintaan Ibu untuk masuk sekolah selama seminggu ini. Meski hanya seminggu yang Bu Melati minta, saya sudah tidak bisa. Semua sudah percuma. Tak ada artinya lagi saya bertahan Salam santun

Tegar

Aku tertegun. Air mataku mengalir tanpa malu. Kisah Tegar mampu merobek perasaanku. Semua siswa menatapku. Tiba-tiba terdengar suara Bayu memanggilku dengan keras.

“Ibu Melati! Ibu..! Ibu Melati! Cepat, Bu..tolong Tegar! Ibu cepat!”

“Ada apa, Bayu? Ada apa dengan Tegar? Apa yang terjadi?”

“Ayo, Bu..Ayo! Cepat!” Bayu menarikku. Setengah berlari kuikuti ia. Bayu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi menuju suatu tempat. Ia berhenti di pinggir rel kereta api.

“Itu Tegar, Bu.” tunjuk Bayu pada sosok kecil yang kukenal. Ia Nampak duduk di tengah rel.

“Astaghfirullah al azim. Tegar!” berlari kudekati Tegar. Ia tak mendengar teriakanku. Laju kereta terdengar mendekat. Aku terus berteriak memanggilnya. Tegar menoleh. Ia terkejut melihatku. Berdiri namun tak beranjak dari tengah rel.

“Ibu ngapain ke sini? Gak usah urus saya, Bu! Pergi!”. Aku tak mempedulikan ucapannya. Aku terus mendekat.

“Tegar! Ke sini, Tegar! Cepat, Nak..menjauh dari rel itu! Dengar ibu, Nak..Allah tidak menyenangi perbuatan seperti ini.”

“Bu, Allah itu memang udah gak sayang dengan saya! Jadi sekalian aja, biar Allah tambah benci sama saya!” air mata membasahi pipi Tegar. Suara kereta semakin dekat.

“Tegar! Kemarilah, Nak..!” kuulurkan tanganku mendekatinya. Kulihat kepanikan di matanya, saat melihatku telah berada di tengah rel dekat dengannya.

“Ibu ngapain? Pergi, Bu! Pergiii..!”

“Tidak, Nak..ibu menyayangimu. Jika menurutmu ini akan menyelesaikan masalahmu. Ibu akan di sini bersamamu.”

“Tidak, Bu..jangaaan!”

“Tegaaarrr!”

“Awaassss…!!!” jerit Bayu histeris. Ia yang sejak tadi diam tak berani mendekat, kini bersimpuh di tanah. Matanya nanar menatap dua tubuh yang tergeletak diam. Bayu tak mampu berucap. Badannya bergetar hebat. Air mata dan keringat telah membasahi wajahnya. Siang itu, mentari benar-benar enggan menampakkan keberadaannya. Sunyi dan gelap.

“Ibu Melati, bangun. Bangun, Bu!” Tegar menangis pilu. Ia bersimpuh di samping tubuh seorang guru yang baru saja menyelamatkan nyawanya. Tepat di detik terakhir nyaris saja kereta menggiling tubuh keduanya. Bayu yang menangis ketakutan bergerak menghampiri kala melihat temannya duduk.

“Tegar, kau tidak apa-apa?” Bayu mencoba membantunya berdiri.

“Aku tidak apa-apa, Bayu. Lihat bu guru!” Tegar menangis sambil mengelap darah yang mengalir di pelipis guru berhati mulia tersebut.

“Ibu, bangun, Bu. Maafkan saya. Maafkan saya, Ibu…”

“Aku mencari bantuan dulu, Tegar.” Bayu segera berlari mencari bantuan. Tak ada seorang pun di sekitar kejadian. Ia berlari ke jalan besar, lalu menghentikan kendaraan yang lewat. Sebuah angkot berhenti.

“Pak, tolong saya. Guru saya terluka di sana. Tolong, Pak!” meski tampak ragu, supir angkot itu bergegas turun dan mengikuti Bayu.

“Masya Allah!” Bapak itu segera mengangkat Bu Melati. Bayu dan Tegar mengikuti sambil menangis.

“Bawa ke Rumah Sakit Umum ya, Pak! Tegar , aku akan ke sekolah. Kau tenanglah!” ujar Bayu seraya menghampiri motornya.

-ooOoo-

Bu Melati telah siuman. Setiba di rumah sakit tadi, dokter dan perawat segera melakukan pengobatan. Tegar tak mau menjauh dari bu Melati. Ia terus menatap Bu Melati dengan sedih.

“Ibu..maafkan saya. Tolong maafkan saya, Ibu!” Tegar meraih dan mencium tangan Bu Melati. Air mata kembali mengalir di pipinya.

“Ibu sudah memaafkanmu, Nak.” Bu Melati menjawab dengan senyum. Tubuhnya masih terlihat lemah. Meski tidak ada luka yang berarti, kejadian tadi membuatnya shock. Ia tak mengira dengan apa yang telah ia lakukan tadi untuk menyelamatkan Tegar.

“Bersyukurlah, Nak… Allah masih melindungi kita, dan memberi kesempatan padamu untuk memperbaiki langkah hidupmu. Percayalah, tak ada seorang ibu yang ikhlas melihat hati anaknya terluka. Apa yang menjadi luka hatimu adalah luka ibumu juga.” Kugenggam erat tangannya. Ia menatapku penuh haru.

Pak Purba dan beberapa guru memasuki ruangan diikuti dengan Bayu. Mereka tampak terkejut. Aku segera memberi kode kepada Pak Purba untuk tidak memarahi Tegar.

“Alhamdulillah, saya dan Tegar tidak apa-apa, Pak..Bu.. hanya lecet-lecet saja sedikit.”

“Syukurlah, Bu Melati. Semoga lekas pulih ya, Bu juga Tegar.” Bu Rahma menyalamiku dan membelai kepala Tegar.

“Semoga kejadian ini menjadi sebuah pembelajaran berharga pada kita semua, terutama Tegar.” Bu Istina melengkapi.

Peristiwa yang menggemparkan isi sekolah dan juga mengejutkan suamiku, semoga segera terlupakan. Ada hikmah di balik semua ini. Semoga, harapku.

-ooOoo-

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post