KUSENTUH HATIMU
Pembagian Tugas yang Menakutkan
Pagi ini aku teringat tempat tugasku yang jauh di pelosok. Sebuah kampung kecil dengan hamparan sawah dan deretan kebun kopi yang menyebarkan aroma harum yang khas. membuatku betah berlama-lama menghirup segarnya udara.
Kubuka kaca helm dan kubiarkan angin dingin menerpa wajahku. Kuminta suamiku melambatkan laju si Tiger seraya memeluk erat tubuhnya. Sungguh perjalanan pagi yang menyenangkan, meski harus kutempuh dengan waktu yang cukup lama.
Jarak dari rumah mungil yang baru saja kami beli dengan mencicil selama 15 tahun ke sekolah tempatku mengajar cukup jauh, kurang lebih 75 km. Jika mengunakan kendaraan umum, aku harus berjejal dengan para pedagang sayuran yang menjemput rejekinya di pasar tradisional, di kota ini. Bus yang kunaiki itu pun hanya melalui jalan lintas Sumatera saja. Sehingga aku harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jasa ojek dan menempuh jarak kurang lebih 15 km.
Ufh..anganku melayang. Gambaran kenangan indah sekolah kampung itu begitu menggoda. Siswa-siswanya yang santun dan penuh semangat, sangat jelas tergambar dalam ingatanku. Uraian air mata wajah-wajah polos mereka, menyelipkan rasa bersalah yang masih bersemayam hingga kini.
Apa boleh buat. Bukan tanpa pertimbangan keputusan ini diambil. Usia sekolah gadis kecilku, dan keinginan memberikan pendidikan formal yang terbaik, membuat kami harus pindah dan menetap di kota. Aku pun lalu mengurus pindah mengajar di sekolah kota yang dekat dengan rumah kami. Tiga tahun bolak-balik menempuh jarak yang jauh dengan mengendarai motor, adalah hal yang mengkhawatirkan untuk rahimku.
Aku tersentak oleh rengek manja gadis kecilku. Ia telah siap berseragam sekolah TK-nya, duduk di meja makan menanti sarapan pagi yang kubuat. Kesibukkanku di dapur seakan berkejaran dengan kesibukkan anganku yang melayang jauh ke pelosok desa. Segera kuletakkan sepiring nasi serta makanan yang selesai kumasak di hadapannya. Bergegas kusiapkan pula bekal makan siang suami tercinta, sambil mengingatkan gadis kecilku untuk memakan sayur. Setengah berlari ke kamar mandi, aku masih mengingatkan Caca dan Gege untuk menyiapkan makanan kecil yang telah tersedia, sebagai bekal di sekolahnya nanti.
Pagiku berlalu dengan begitu cepat. Aku tiba lebih awal di sekolah. Hari ini adalah kali pertama aku mengikuti rapat dinas di sekolah baruku. Rapat pembagian tugas untuk awal tahun ajaran baru. Rapat yang menentukan tugasku di sekolah ini. Mengajar di kelas mana, dan tugas tambahan apa nantinya yang akan diberikan padaku.
Lagi-lagi anganku mengembara. Teringat masa bersama dengan siswa-siswa kelasku, menata kelas agar selalu terlihat bersih dan rapi. Menambah tampilan kelas dengan tanaman-tanaman hias di pot kecil, yang disusun di sudut kelas dan teras kelas. Mereka yang tidak mau memakai sepatu dalam kelas, dengan semangat membuat rak sepatu dari bambu dan menyusun rapi sepatu-sepatu pada rak hasil karya mereka. Tak sadar aku tersenyum. Rindu dengan keceriaan dan semangat mereka. Kututup anganku, saat satu-persatu rekan-rekan baruku mulai berdatangan.
“Assalammualaikum. Bagaimana kabarnya, Ibu?”, sesosok wajah berwibawa menyapaku dengan ramah.
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillah sehat, Bu.’ Jawabku sambil menyambut jabatan tangannya penuh hormat.
Sosok berwibawa itu adalah kepala sekolah, Bu Endah. Perantauan asal Jogjakarta yang telah mengabdi di tanah Lampung selama puluhan tahun. Terlihat tak banyak bicara dan lebih betah dalam ruangannya. Hanya sesekali ia duduk di ruang guru dan mengobrol. Saat jam belajar, kadang ia berkeliling mengecek kelas-kelas yang tidak ada gurunya. Sosok yang cukup kusegani dan mengingatkanku pada sosok yang tak kalah berwibawanya. Sosok yang menjadi teladan bagiku. Rajin, ramah dan pekerja keras. Beliau adalah kepala sekolah di tempat mengajarku yang lama.
Sebagai anggota baru di sekolah tersebut, aku masih menyimak situasi dan kondisi di sini. Sekolah dengan area kecil tetapi memiliki jumlah siswa yang banyak. Jumlah guru pun banyak. Nyaris tak sesuai dengan ukuran luas sekolah yang kecil. Sekolah di tengah kota ini, dikenal sebagai sekolah yang cukup baik. Siswa, staf Tata Usaha maupun guru, didominasi oleh mereka yang berlatar budaya penduduk asli Lampung.
“Kamu sangat tepat sekali pindah ke sekolah ini, Bu Melati. Sangat tepat. Jadi, kamu tak usah ragu!”, suara keras Bu Nina seraya menepuk bahuku, membuatku tersentak.
“Eh, Iya Bu…In syaa Allah saya tidak ragu.” jawabku tergagap.
“Di sini ini orangnya memang banyak yang keras-keras. Siswanya banyak yang beringas, beda dengan tempatmu dulu. Banyak orang Jawa, makanya kalem-kalem ya, Bu Melati. Benar kan kata saya?” Bu Nina terus berbicara diikuti gerakan-gerakan unik khasnya. Aku tersenyum menatapnya. Meski bergaris wajah keras, dan suara yang selalu keras, aku merasakan Bu Nina adalah orang yang baik dan tulus.
“Nanti rapat, Bu. Ibu pasti jadi wali kelas. Hati-hati aja. Siswa-siswa di sini, luar biasa nakalnya.” Bu Rahma ikut nimbrung dalam obrolan kami.
“Kita keras, orang tuanya gak terima. Bisa datang bawa golok mereka sekampung.” Lanjutnya. Aku bergidik mendengarnya. Ya Allah, benarkah keputusanku untuk pindah ini adalah benar?
“Apalagi kelas 8E. Huuu..luar biasa anak-anaknya. Mending kalau otaknya ada isi. Meski bandel, masihlah ada bagusnya. Ini sih boro-boro. Bikin sakit hati aja.” Jelasnya lagi.
Beberapa guru ikut menimpali cerita Bu Rahma. Mereka saling bersahutan dan melengkapi cerita dan kejadian tentang kelas super itu. Aku menyimak dalam diam. Meski ada rasa takut, di sisi lain hatiku, aku penasaran dengan cerita tentang siswa-siswa tersebut.
“Ayo, Bu..kita rapat di ruang laboratorium!” ajak seorang guru yang kuamati sejak tadi, lebih banyak diam. Bu Dewi, demikian kutahu namanya saat ada guru lain menyapanya tadi. Kuperkirakan usianya tak jauh berbeda denganku. Masih cukup muda. Ia memakai kerudung yang dipanjangkannya hingga menutup dada dan pinggulnya. Anggun, begitu aku menilai penampilannya.
“Oo..iya, ayo..”aku berdiri mengikuti ajakannya. Senyumku terus berkembang setiap berpapasan dengan guru-guru lain yang belum kukenal semuanya. Di antara mereka, ada yang membalas senyumku bahkan menganggukkan kepalanya, namun tak sedikit yang hanya melirik penuh selidik. Wow…sepertinya pertempuran batin kan segera dimulai. Cerita baru kan menghiasi buku harianku.
“Okelah kalau begitu. Semangat Melati Putihku!” batinku bergumam penuh semangat.
Hingga menjelang siang, rapat belum juga selesai. Perdebatan alot antara wali kelas dan guru mata pelajaran mengenai siswa yang tidak naik kelas, menjadi perdebatan panjang yang berujung pada akhir sebuah keputusan kepala sekolah.
“Bapak Ibu, pemerintah mencanangkan belajar Sembilan tahun. Coba pikirkan, jika siswa kita tidak naik kelas, pasti ia malu dan tidak mau sekolah lagi di sekolah kita. Ia akan pindah sekolah. Sementara tadi kita dengar dari wali kelasnya, kalau anak tersebut dari keluarga yang tidak mampu. Itu berarti ia tidak mungkin pindah sekolah, karena tidak punya biaya untuk itu. Kalau sudah begitu akhirnya siswa kita tersebut putus sekolah. Coba Bapak Ibu pikirkan kembali. Jika ia putus sekolah, apakah ia akan menjadi lebih baik?” jelas Kepala Sekolah dengan wajah sendunya.
Sejenak suasana menjadi hening. Aku tertegun. Sangat berbeda suasana rapat kenaikan kelas di sekolah baruku ini dengan sekolahku di pelosok desa itu. Setiap guru mata pelajaran akan menyampaikan permasalahan atau data otentik yang membuat ia memberikan nilai rendah terhadap siswa. Dan jika ada siswa yang harus tidak naik, kepala sekolah membimbing dan menghargai keputusan guru mata pelajaran, asalkan bisa menunjukkan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Keputusan rapat adalah keputusan bersama, yang artinya jika kelak akan ada masalah yang timbul dari keputusan itu, kita akan bersuara sama. Tidak ada yang saling menyalahi ataupun menyesali.
Hari semakin terik. Keputusan akhirnya ditetapkan. Hanya ada satu siswa yang tidak naik kelas, tapi dibuat naik kelas dengan catatan pindah ke sekolah lain. Hm..aku jadi berpikir. Jika siswa yang sudah dinyatakan tidak naik kelas tetapi diubah jadi naik kelas asalkan pindah sekolah. Menurutku itu sama artinya melecehkan diri sendiri. Guru yang sudah memberikan nilai rendah, akan mengubah nilainya agar siswa tersebut memiliki nilai yang mencukupi untuk dinyatakan naik kelas. Situasi apa lagi ini? Aku terdiam kelu.
Rapat dilanjutkan dengan pembagian tugas mengajar untuk tahun ajaran baru. Aku mendapat tugas mengajar kelas IX-C, IX-D, IX-E dan IX-F. Serta tugas tambahan sebagai wali kelas IX-E. Hampir semua peserta rapat saat itu terkejut. Berbagai komentar riuh terdengar menanggapi pembacaan pembagian tugas tersebut.
“Wah, guru baru kok dikasih kelas sembilan. Sanggup apa nggak dia nanti?” Pak Irsan berkata perlahan.
“Wali kelas 9E pula. Apa gak bahaya nanti itu? Kelas paling brutal, paling bodoh, paling heboh dan banyak kata paling lainnya itu. Semua yang jelek-jelek, pas untuk mewakili julukan kelas itu.” Timpal Bu Nina seraya menatapku dengan kasihan.
“Harus galak, Bu. Jangan dikasih hati, ntar ngelunjak.” Pak Heru guru olah raga ikut berkomentar.
“Hahaha…gaya kamu, Pak Heru. Gak kapok ya, didatangi wali murid yang ngamuk?” Bu Nina terbahak.
Aku hanya terdiam dan berusaha tersenyum mendengar komentar-komentar tersebut. Jujur saja, meski sudah hampir sepuluh tahun menjadi guru, ada rasa takut yang diam-diam menjalar di hatiku. Bayangan karakter asli orang Lampung yang banyak kudengar, jelas mempengaruhi pikiran dan perasaanku. Ya Tuhan, mengapa pula mereka tak memberiku kesempatan untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu di tempat baru ini? Mengapa aku langsung ditugaskan menjadi wali kelas untuk kelas yang terkenal menakutkan bagi mereka yang bahkan sudah lama mengabdi di sekolah ini? Persiapan apa yang harus aku lakukan menghadapi kelasku nanti? Semangatku lenyap. Aku melangkah gontai pulang ke rumah.
Bersambung...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren cerpennya.
Terima kasih, Uni..