ARIEF WAHYU WIBOWO,M.Pd

Lulusan S-2 Jurusan Dikdas Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang tahun 2010. Mulai menjadi PNS tahun 2005 ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Membangun Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal

Era saat ini adalah era global. Untuk menghadapi era global ini, diperlukan insan bermoral, kompeten, dan unggul. Dalam hal ini, pendidikan merupakan upaya yang paling strategis. Sistem pendidikan nasional dalam batas tertentu telah menghasilkan insan yang berkualitas, misalnya sejumlah orang yang dipercaya untuk menduduki posisi strategis di semua sektor dan di tengah-tengah masyarakat. Namun, patut diakui bahwa masih banyak pernyataan yang mengindikasikan sistem pendidikan kita ikut andil akan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan masih merebaknya dekadensi moral yang berdampak terhadap krisis multidimensional.

Untuk meminimalisasi dan memperkecil, bahkan menghilangkan krisis multidemensional, terutama perilaku tak bermoral yang meluas di masyarakat, kita perlu menata konsep dan implementasi pendidikan nasional. Dalam menjamin pendidikan nasional yang mantap, perlu dijaga konsistensi pendidikan karakter sejak dari landasan filosofis, sistem pendidikan, sampai dengan praktik pendidikan. Tujuan pendidikan tidak hanya menjadikan insan berakal, insan kompeten dan berguna, insan well-adaptive, insan agent of change, dan insan bertaqwa, melainkan insan yang utuh (Wahab, 2010).

Dalam proses pendidikan, peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki potensi moral, mental, fisik, sosial, dan emosional dengan keunikannya. Mereka sebagai co-subject-object yang memiliki kebebasan memilih. Karena itu, kurikulum pendidikan tidak hanya berupa kurikulum yang bererientasi pada peseta didik, masyarakat, atau pengetahuan dan teknologi, tetapi merupakan kurikulum eklektik dan komprehensif yang mencakup keempat ranah tersebut (student, society, technology, and spiritual oriented curriculum).

Dalam membangun dan menanamkan budaya bangsa kepada peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan menjadi agen perubahan. Guru tidak hanya kompeten, tetapi juga menjadi teladan (sikap, pikiran, dan perilaku), kreatif, dan well adaftif (profesional yang utuh). Demikian juga, ia mengupayakan terus untuk peningkatan diri. Konselor harus benarbenar profesional, yang selalu siap untuk membantu pengembangan diri peserta didik secara optimal dalam melakukan aktualisasi diri. Kepala sekolah harus memiliki principle leadership, disiplin, model, dan supervisonship skill. Kinerja pustakawan dan laboran/teknisi harus memliki jiwa dan sikap yang helpfull. Di samping itu, dalam pelaksanaan pendidikan, harus tersedia ahli terkait (psikolog, dokter) yang ramah dan suka membantu.

Pengelolaan pendidikan perlu diupayakan prinsip keadilan, kebermaknaan, dan keberamahan pada lingkungan. Pengelolaan pendidikan yang demikian dapat diupayakan melalui pendidikan yang berbasis sekolah dan berbasis masyarakat (sadar nilai) dengan pertimbangan balanced centralization-decentralization yang tetap menempatkan kepentingan daerah. Proses pendidikan dilakukan secara terpadu dengan menjadikan spiritualitas sebagai ruhnya. Dalam pembelajaran, perlu dilakukan penambahan durasi waktu efektif belajar sebagai konsekuensi logis orientasi keluaran (output) yang unggul. Di samping itu, pengelolaan pendidikan harus dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel. Untuk itu, dalam proses pendidikan perlu dilibatkan orang tua dan masyarakat, baik dalam aspek akademik, maupun aspek nonakademik (terutama aspek moralitas).

Dalam penilaian pendidikan, tidak hanya difokuskan pada hasil pendidikan, tetapi juga kepada masukan (input) dan proses (penilaian komprehensif). Penilaian pendidikan tidak hanya pada aspek akademik, tetapi juga aspek nonakademik (terutama moral menjadi penentu). Karena itu, penilaian pendidikan sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh guru, melainkan juga peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, bahkan jika mungkin melibatkan orang tua. Dalam kegiatan penilaian, tidak hanya dilakukan hanya untuk kepentingan yang bersifat judgmental, tetapi juga bersifat apresiatif dan rekognitif.

Dalam membangun karakter budaya bangsa, lingkungan pendidikan harus mengarah pada penciptaan lingkungan keluarga yang sarat dengan nilai (agama, budaya, dan kebangsaan). Kehidupan di lingkungan sekolah harus mengupayakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi pengembangan nilai. Dalam hal ini, sekolah harus mampu mengondisikan lingkungan masyarakat dengan nilai-nilai yang baik dan mengendalikannya dengan memainkan peran filter terhadap nilai-nilai asing yang masuk. Di samping itu, pemangku kepentingan pendidikan harus dapat mengawal isi media masa yang memberikan manfaat bagi penyebaran nilai-nilai dan mengendalikan isi media masa yang berpotensi merusak kepribadian anak dan bangsa.

Dalam melaksanakan pendidikan berbasis karakter dan budaya bangsa, strategi pengembangan pendidikan perlu mengonseptualisasikan individu sebagai makhluk utuh dengan menekankan pentingnya aspek moral. Proses pendidikan harus diupayakan untuk pendidikan nilai sedini mungkin dan sepanjang hayat. Program pendidikan dan kurikulum harus dikembangkan secara terpadu sesuai dengan latar belakang sosial budaya dengan menempatkan nilai moral menjadi ruhnya. Aktivitas keseharian harus menempatkan pimpinan institusi dan pendidik menjadi model dan bertindak adil, amanah, dan kasih sayang. Pembelajaran hendaknya mampu menciptakan gerakan pendidikan nilai dan mengawalnya secara berkesinambungan, baik dalam konteks pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Proses pendidikan hendaknya memberikan orientasi peserta didik baru dan melepas lulusan setiap jenjang pendidikan dengan materi nilai-nilai yang dapat diterima di masyarakat. Agar peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya, pendidikan perlu menginternalisasikan nilainilai yang dijunjung tinggi di masyarakat selama dalam proses pembelajaran dan pendidikan dengan mengupayakan lingkungan fisik dan sosial yang bersih dan menarik.

“Pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai nasionalisme di sekolah-sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan lain tidak berjalan efektif karena siswa tidak menemukan sosok teladan”.(Kompas, 3 Mei 2011:01). Akibatnya, siswa berpandangan, pendidikan karakter di era globalisasi ini hanya sekedar wacana dan tidak perlu di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan mereka merasa di bohongi dengan hanya mendengarkan materi tentang karakter baik, kejujuran, dan patriotisme, tetapi gagal menemukan sosok teladan dalam kehidupan nyata. Mereka hanya meyakini paham baru yang disebabkan adanya globalisasi di segala bidang yang justru bertolak belakang dengan nilai-nilai moral pancasila di negara Indonesia.

Penerapan pendidikan karakter sebenarnya dapat dilakukan pada berbagai jenjang, mulai dari SD (bahkan TK) hingga perguruan tinggi. Berbagai macam cara dapat dilakukan. Sekolah (termasuk perguruan tinggi) harus bisa melakukan upaya-upaya pembentukan karakter siswa melalui kegiatan pembelajaran formal mereka di lembaga tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan pembentukan karakter pada matapelajaran tertentu. “Pendidikan karakter bersifat pengajaran nilai, maka tidak perlu ada penambahan bahan kajian. Dengan demikian, pelaksanaan implementasi pendidikan karakter tidak perlu menambah alokasi waktu yang tersedia pada tiap-tiap mata pelajaran, tetapi cukup melakukan pembahasan pada metode pengajaran atau cara penyajian bahan pengajaran”(Novi, 2010:12). Selain itu, juga dicarikan tokoh-tokoh teladan dalam proses pembelajaran. Misalnya di kelas-kelas sebuah lembaga pendidikan, selain menjelaskan materi-materi tentang pendidikan karakter guru juga mencarikan tokoh-tokoh yang bisa dijadikan panutan dalam menghadapi kehidupan di era globalisasi.

Dari contoh-contoh yang telah disebutkan di atas, ada hal penting yang harus diperhatikan dalam penerapan pendidikan karakter. Hal tersebut yaitu pemberian contoh oleh guru. Pepatah mengatakan bahwa guru adalah seseorang yang digugu dan ditiru. Berdasarkan pepatah tersebut, guru haruslah senantiasa memberikan contoh terbaik kepada siswanya tentang perilaku-perilaku terpuji pembentuk karakter. Guru tidak boleh hanya memberikan perintah kepada siswanya untuk berperilaku baik, tetapi ia juga harus memberikan contoh kepada siswanya berupa perilaku yang baik pula. Dengan demikian, ada kerjasama antara guru dan siswa dalam membentuk karakter siswa.

Dari beberapa uraian diatas, manfaat pendidikan karakter di era globalisasi sangat banyak dan besar bagi kehidupan bangsa dan negara karena perannya yang sangat fital dalam pembentukan karakter warga negara berdasarkan nilai-nilai etika dan budaya bangsa. Berikut ini adalah berbagai manfaat dari pendidikan karakter.

1) Pendidikan karakter menjadikan individu yang maju, mandiri, dan kokoh dalam menggenggam prinsip.

2) Pendidikan karakter akan menjadi benteng dalam memerangi berbagai perilaku berbahaya dan gelap.

3) Pendidikan karakter sebagai Promoting Prosocial Attitudes/Values.

4) Pendidikan karakter sebagai Encouraging Intellectual/Academic Values.

5) Pendidikan karakter sebagai Mempromosikan Pengembangan Pribadi Holistik. Meliputi, Karir kejuruan perencanaan / dan komitmen, pengembangan kepemimpinan, pertumbuhan rohani mentoring dan peran pemodelan, adventure questing dan pembangunan iman.

6) Pendidikan karakter sebagai Encouraging Civic Responsibility Mendorong Tanggung Jawab Civic. Meliputi, layanan & kesukarelaan, politik tindakan, keberlanjutan dan civic keterlibatan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post