MARI MENJADI GURU INSPIRATIF

Arifah Kurnia Muhdor

Guru, profesi mulia yang banyak orang ingin meraihnya. Banyak sarjana pendidikan yang ingin segera menjadi guru. Apalagi dengan adanya pemberian tunjangan kepada guru, menjadikan profesi guru tidak hanya untuk menjadi pengajar atau pendidik yang mentransfer ilmu semata, tetapi untuk mendapatkan lowongan pekerjaan. Dari sinilah simpul permasalahan mulai muncul. Dengan adanya niat menjadi guru agar mendapat pekerjaan dan uang, secara otomatis roh seorang pendidik atau pengajar tergerus sedikit demi sedikit. Sense of teacher bergeser menjadi sense of money. Mari bahasan ini kita kerucutkan menjadi tiga tipe guru.

Tipe pertama, guru yang businessman, dari rumah niat mengajar dengan mengedepankan prinsip ekonnomi. Dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Datang ke sekolah hanya mengajar, tandatangan, pulang, akhir bulan dapat uang. Apabila mendapat tugas di luar kegiatan mengajar, bersedia asal ada honornya. Tidak ada niat untuk peduli dengan perkembangan siswa, entah perkembangan spiritualnya, karakternya apalagi kecerdasannya. Contohnya, apabila kelas kotor, siswa tidak memakai atribut, siswa berkelahi, sang guru tidak peduli sama sekali. Efek sampingnya, siswa tidak begitu akrab dengan sang guru karena tidak ada “kesan” dari sang guru.

Kedua, guru komentator. Aliran ini cenderung banyak pengikutnya. Guru tipe ini berprinsip NATO (no action talk only). Banyak berbicara, banyak protes, banyak “nggembosi” banyak ide, banyak saran tapi maaf, mereka sendiri tidak ”sembodo”. Mereka tidak mampu melaksanakannya. Mereka tidak biasa muhasabah dengan keadaan dirinya. Karena sebenarnya mereka adalah kelompok pemalas. Untuk menutupi kemalasannya itulah, mereka membuat alibi dengan banyak menentang kebijakan sekolah.

Seperti peribahasa, “tong kosong nyaring bunyinya”. Murid sangat dirugikan dengan guru pemalas seperti ini. Perkembangan murid mengalami keterlambatan dibanding sekolah yang lain yang guru-gurunya lebih rajin dan inovatif.

Ketiga, guru inspiratif. Guru tipe ini mengajar dengan hati, niat yang ikhlas untuk tidak hanya transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value. Sang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan menginspirasi. Segenap jiwa raganya ketika di sekolah totalitas untuk murid-muridnya. Sang guru mempunyai kepedulian yang tinggi untuk mengubah siswa menjadi berkarakter dan berakhlak mulia. Guru tidak pernah berpikir apakah yang dilakukan akan berhasil apa tidak, membawa keuntungan finansial apa tidak, karena guru tipe inspiratif yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini apalagi melakukan kebaikan. Yang terpenting lagi Allah sangat menghargai proses. Hasil adalah prerogratif-Nya. Man jadda wajada. Sukses yang sebenarnya adalah menjadikan anak didik kita sukses. Mari menjadi Guru yang inspiratif !