ARIFIN

Arifin terlahir di Jepara pada tahun 1973. Dia anak kampung. Untuk menyelesaikan pendidikan di tingkat SD, dia rela tidak memakai sepatu hingga dia duduk di kel...

Selengkapnya
Navigasi Web
MEMANDIRIKAN SISWA

MEMANDIRIKAN SISWA

Kemandirian merupakan salah tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Siswa yang mampu mengelola diri secara mandiri menjadi harapan guru dan orangtua. Pada saatnya nanti mereka akan berpisah dari orangtua mereka dan hidup mandiri. Mandiri dalam arti mampu mengelola proses belajarnya sendiri, memilih dan menentukan gaya belajarnya sendiri, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab hidup mereka sesuai tahapan perkembangan psikologisnya.

Bagaimana cara memandirikan siswa? Dari pengalaman saya mengelola kegiatan bidang kesiswaan di sekolah menengah atas (SMA), ada beberapa prinsip yang perlu diterapkan ketika kita ingin mengembangkan kemandirian siswa. Prinsip-prinsip itu adalah build, empower, facilitate, guide, dan leave.

Prinsip pertama adalah build, membangun. Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah membangun rasa percaya diri siswa. Guru bersama siswa membangun kesadaran akan masa depan, membangun semangat belajar, kemauan untuk berubah, dan membangun wawasan tentang wilayah tugas.

Rasa percaya diri siswa perlu dibangkitkan secara intrinsik, dari dalam diri siswa. Siswa diajak untuk membuka potensi terpendam mereka yang luar biasa. Caranya dengan banyak melakukan dialog terbuka. Para siswa diajak membangunkan singa tidur dalam diri mereka. Mereka dituntun untuk melacak kehebatan-kehebatan yang bersemayam dalam diri mereka yang tidak mereka sadari. Kita sadarkan bahwa sebenarnya mereka itu hebat dengan keunikan masing-masing.

Setelah para siswa mulai mampu membangun semangat, kesadaran , dan kemauan belajar, langkah berikutnya adalah empower. Prinsip ini mengarahkan siswa untuk berani menggali ide-ide segar dan mengimplementasikannya dalam situasi nyata. Dalam kegiatan OSIS misalnya, pengurus OSIS dipandu melahirkan ide baru yang lebih segar tentang program OSIS. Pengurus OSIS didorong untuk tidak membeo program-program OSIS sebelumnya. Mereka ditantang untuk melahirkan program baru yang lebih mencerahkan sekaligus menghibur.

Program baru yang tercipta kemudian diterjemahkan ke dalam tahapan pengorganisasian. Para siswa diberi kesempatan untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membagi tugas, mengeksekusi keputusan, dan mengevaluasi program kegiatan secara mandiri. Mereka dilatih memikul tanggung jawab. Program dan kegiatan yang biasanya selalu dikelola oleh guru, diserahkan kepada para siswa.

Guru lebih banyak memerankan diri sebagai fasilitator (facilitate) dan pembimbing (guide). Guru memberikan peluang-peluang dan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi secara bebas dengan tetap memberikan tawaran bantuan yang diperlukan. Pintu komunikasi dan dialog tetap dibuka untuk memberikan arahan (guide) agar para siswa dalam menjalankan peran dan tanggungjawab tidak keluar terlalu jauh dari batasan norma-norma bersama.

Jika dalam beberapa tahapan sudah tampak bangunan kemandirian yang bertanggung jawab, guru atau orangtua secara bertahap memberikan kepercayaan kepada siswa. Sedikit demi sedikit kewenangan diberikan. Jika satu kewenangan mampu dilakukan dengan baik, kewenangan itu ditambah lagi dengan porsi tanggung jawab yang lebih besar. Demikian seterusnya sehingga para siswa mampu dan terbangun percaya diri dalam berkreasi. Maka , tahapan terakhir adalah leave, tinggal dan lepaskan.

Mengapa leave? Leave adalah proses menyapih untuk memutus ketergantungan yang berketerusan. Para siswa harus membuat keputusan, menyusun rencana program, dan melaksanakan secara mandiri. Mereka tidak boleh terus-menerus “menyusu” gagasan dan kerja pada guru. Mereka harus melepaskan diri dan guru harus rela melepas mereka dengan ihlas.

Kendala proses memandirikan siswa biasanya justru muncul dari para guru, bukan dari para siswa. Para guru pada umumnya memiliki penyakit takut ditinggal. Mereka khawatir tersaingi dan pengaruhnya menjadi redup. Maka , dalam membangun kemandirian dibutuhkan sikap berani dan ihlas untuk melepas, sikap sukarela memberikan arahan, sikap saling percaya, dan sikap optimisme tentang terbangunnya kemandirian siswa yang lebih baik. Biarlah dalam beberapa kegiatan, siswa atau organisasi siswa yang merancang dan mengeksekusi.

Jika kemandirian siswa telah terbangun, maka sebenarnya para guru lah yang dibuat enak. Guru cukup memberikan arahan seperlunya, siswa akan bekerja secara mandiri. Guru tinggal memantau, mengarahkan, dan melakukan evaluasi kegiatan bersama. Guru yang sukses sejati adalah guru yang mampu membuat siswanya mandiri. Wallaahu a’lam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post