TOLERANSI DI LERENG SELATAN GUNUNG LAWU.....
Tantangan Hari Ke-3
#TantanganGurusiana
GEMAWANG, sebuah desa kecil yang terletak di lereng selatan Gunung Lawu. Berada di perbatasan antara Kecamatan Girimarto dengan Kecamatan Jatipurno, Kabupaten Wonogiri. Desa dengan 8 Lingkungan, dengan sistem pemerintahan kelurahan yang dipimpin oleh seorang Lurah, merupakan bagian dari kecamatan Girimarto. Sama seperti desa desa lain dilereng selatan gunung lawu, daerah ini merupakan daerah pertanian dengan sawah dan ladang yang merupakan lahan untuk mata pencaharian wwarganya. Meskipun sebagian besar warga usia produktifnya adalah para perantau ulung yang menjelajah hampir semua daerah di Indonesia. Mereka sebagian besar adalah penjual mie ayam dan bakso, penjual jamu untuk yang perempuan, dan ada pula yang bekerja sebagai kontraktor bangunan maupun hanya sebagai pekerja bangunan.
Banyak cerita menarik dari desa tempat kelahiranku, tempatku menghabiskan waktu kecilku bermain dan menuntut ilmu samapi lulus SMP sebelum akhirnya aku juga pergi meninggalkan desa ini untuk menuntuk ilmu di sebuah SMA favorit di kota Wonogiri, pulang 2 minggu sekali bahkan bisa sebualn sekali, sampai akhirnya aku benar benar meninggalkan desa ini dan hanya kembali setahun sekali atau 2 kali ketika lebaran dan liburan sekolah.
Desaku ini bisa menjadi sebuah contoh adanya toleransi yang benar benar bisa aku rasakan langsung, dan juga pada akhirnya memberikanku pelajaran akan toleransi baik antar suku maupun antar agama. Ya, desa ini mayoritas adalah pemeluk agama Islam, sekitar 70 %, 28 % pemeluk agama Nasrani dan sisanya adalah pemeluk agama Katolik. Sepertinya komposisi ini wajar dan biasa saja, tapi banyak hal menarik dalam kehidupan bermasyarakatnya. Gemawang memiliki 6 masjid, 4 mushola, dan 4 gereja nasrani. Dari gambaran ini sedikit terlihat bahwa kehidupan beragama di desa ini sangatlah dinamis.
Toleransi di desa ini benar benar sangat terasa, tidak ada pertikaian antar ata perselisihan antar pemeluk agama, bahkan kegiatan keagamaan disini bisa berjalan dengan lancar dan baik. Ketika perasaan Idul Fitri, setelah melaksanakan sholat bersama di lapangan desa, kami terutama anak anak kecil dan remaja berjalan bareng keliling kampung, biasanya satu lingkungan, mampir kesemua rumah tanpa terkecuali, entah rumah itu pemiliknya beragama Islam, Kristen maupun Katolik. Yang menarik, tetangga yang lain keyakinan itupun seperti ikut merayakan hari kemenagna kami umat Islam, mereka menyediakan kue, permen, jajanan, dan bahkan beberapa orang menyiapkan juga angpao untuk kami yang masih kecil kecil.
Ketika masih di desa ini, aku sering menjadi jubir ketika mampir kerumah tetangga tetangga ini :
“Kulo kalian sedoyo rencang meniko, setunggal silaturahmi, kaping kalih kulo makili rencang-rencang ngaturaken sugeng riyadi, ngaturaken sedoyo kalepatan mugi dipaingi pangapunten saking Pak de soho Budhe sekalian” Itu adalah sekelumit kata pembuka yang sering kami sampaiakan ketika mendatangi rumah rumah itu, baik yang muslim maupun non muslim.
Ketika menyambut hari Ramadhan, kami warga muslim mengadakan selametan/ tasyakuran bahkan hampir tiap rumah mengadakan, kami undang semua warga tanpa terkecuali, tanpa melihat apa agama mereka. Pun demikian ketika menyambut malam takbiran, selamat yang warga muslim lakukan tetap mengundang semua warga, tanpa ada kecuali. Begitu pula ketika pada bulan Desember, ketika hari Natal tiba, maka warga Kristen dan Katolik akan mengadakan syukuran dengan mengundang semua warga tanpa membeda bedakan agama.
Kami di desa ini sudah sangat paham akan arti dan implementasi TOLERANSI. Ketika acara ibadah, maka warga yang tidak seakidah tidak akan ikut, kami hanya sebagai penonton dan membantu menyiapkan jamuan yang akan diberikan. Kami tahu, bahwa agama tidak bisa dipaksakan, maka tidak aneh ketika di desa ini, dalam 1 keluarga terdapat agam yang berbeda. Ayah ibunya Kristen, anaknya Islam, atau ada juga yang Ayah ibunya Islam, anaknya kristen. Kami tidak pernah berselisih tentang hal itu. Bagi kami yang Islam, “LAKUM DINUKUM WALIADIN”.
Jangan kaget juga ketika waktu sholat, waktu ngaji, anak anak yang sedang bermain bareng diingatkan oleh tetangga yang non muslim untuk sholat dan ngaji dulu. Sama juga ketika waktunya iadah Minggu, tetangga yang muslim mengingatkan anak anak yang beragama Kristen untuk mengikuti kebaktian dulu di gereja.
Kami yang remaja pun sudah tahu bagaimana bersikap toleran itu, walaupun kadang kadang karena saking akrabnya, saking kami bisa saling menghargai, kadang kami bercanda yang kalau didengar orang yang tidak paham, kami dianggap melecehkan agama. Saling bercanda dengan ajaran agama teman. Itu semua kami lakukan karena kami semua paham, toleransi, dan juga karena saking akrabnya kami, sehingga tidak muncul kasus pencemaran agama maupun penistaan agama di lingkungan kami. Saya hanya membayangkan, kalau ada orang bukan warga desa ini, datang, tidak paham, kemudian mendenagr kami bercanda, mungkin akan marah karena beda pemahaman, atau bahkan akan melaporkan kami semua ke Polisi dengan aduan pencemaran agama.
Ya, itulah gambaran toleransi yang biasa kami lakukan bersama di desa kami, tanpa adanya gesekan antar agama atau mungkin perselisihan. Kami bisa hidup tenang, damai, menjalankan ibadah masing masing dengan tenang, dan bisa mengembangkan kegiatan keagamaan masing masing tanpa meninggalkan aplikasi toleransi.
Maka, jika ingin melihat implementasi toleransi antar agama, bisa kunjungi desa ini untuk belajar bagaimana saling menghargai.....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar