Mata Keranjang
Tantangan Menulis Hari ke-87
Oleh Bernardus Ari Kuncoro
Suatu pagi di pasar. Senin seperti biasa. Dua tas belanjaan berbahan bukan plastik siap di tangan. Kujelajahi lorong-lorong kios lauk pauk terlebih dahulu. Baru beli sayur. Dekat dengan penjual sayur, ada kios langgananku yang menjual telur.
Waktu hampir jam sepuluhan. Lalu kutengok lagi kertas belanjaan.
Dalam daftar barang belanjaan mingguan itu, tidak tertulis bahan makanan bulat berwarna cokelat yang dihasilkan oleh ayam. Tapi aku ingat, di dalam kulkasku tinggal empat telur. Mungkin istriku lupa membubuhkannya. Alhasil aku berinisiatif beli. Lantas, aku menuju ke kios itu.
Ada dua penjual di sana. Salah satunya berkulit sawo matang. Kepalanya diikat tali seperti bando orang Jepang. Laki-laki yang rajin. Cekatan. Nampaknya dia adalah karyawannya. Satunya lagi pemilik kios alias bos. Berkacamata, kulit oriental, rambut dicat warna pirang.
Sang penjual pertama yang berkulit sawo matang bertanya. "Sekarang sudah tidak pernah bawa anak lagi ke pasar ya, Ko."
"Meminimalkan risiko, Mas." Jawabku.
Sambil memilah-milah telur, sang penjual bercerita bahwa sudah lama dia tidak mendengar dan mengikuti berita terkait COVID-19.
Aku pun mengiyakan. "Sama, Mas. Tapi aku sering dengar cerita serem dari istriku, yang seorang dokter."
Penjual yang berkacamata bertanya. "Dokter praktik di mana Ko?"
Aku menjawab, "Rumah Sakit Mitra dekat sini Ko."
"Spesialis atau umum?" Tanya dia.
"Dokter spesialis Mata, Ko." Balasku. "Jadi kalau nanti ada persoalan tentang mata keranjang, bisa istriku bantu sembuhkan, ya." Kebetulan di sekitar telur itu ada keranjang-keranjang merah yang menghinggapi pikiranku. Biasa dipakai untuk mengumpulkan telur yang akan dibeli.
Suasana cair memecah keheningan. Sumringah dan gigi-gigi putih menghiasi senyum mereka. Termasuk aku.
Dulu, waktu aku duduk di bangku SMA, aku sering dijuluki jayus oleh kawan-kawan sepermainan. Jayus ini adalah kata yang umum dipakai di Jawa Tengah yang memiliki arti garing. Kriyuk. Bukan kering, lho! Sesuatu yang menurutku lucu tetapi bagi banyak kawan dipaksakan lucu.
Yang pasti, kali ini aku tidak lagi dijuluki jayus, karena mereka tertawa dengan tulus. Pede nemen, Pak Bernardus!
Kalideres, 26 Oktober 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar