INDAH PADA WAKTUNYA

Oleh: Arinil Djamhari Ali

“Aww.” Jemari lentik Sekar mengusap lembut pipinya.

“Senyum-senyum sendiri kaya orang gila. Ngapain?” tanyaku.

“Sakit, tahu!” jeritnya, tanpa menjawab pertanyaanku.

“Happy amat. Lagi banyak duit ya?” tanyaku asal.

Sekar mengubah posisi duduknya, wajah mungilnya menghadapku tidak lebih dari satu jengkal. Membuatku tergoda untuk mengecup lesung di pipinya.

“Mas, pernah dengar kalimat, akan indah pada waktunya?”

“Pernah.” Jawabku singkat.

“Kalimat itu sering banget kudengar, dan baru kurasakan sekarang. Saat dipaksa untuk menulis buku, berat banget rasanya. Kejar tayang, nulis sekarang untuk dipakai 2 atau 3 pekan mendatang. Nulis sendiri, lay out sendiri, edit sendiri. Semuanya dilakukan sendiri. Hanya bikin cover dan cetak yang nggak dilakuin. Setiap hari bangun pukul 01.00 shalat tahajud lanjut nulis sampai subuh. Setiap hari lembur untuk nulis buku tanpa ada insentif tambahan. Anak-anak jadi sedikit terabaikan, kamu protes karena kurang kasih sayang. Tapi ternyata sekarang, aku bisa menikmati indahnya perjuangan. Buku yang kutulis bisa untuk portofolio, Mas. Aih, bahagianya.” Sekar menjelaskan dengan begitu antusias.

Aku takjub melihatnya. Senang sekali, senyumnya telah kembali. Sudah dua bulan senyumnya menghilang. Setiap hari duduk di depan laptop dengan dahi berkerut dan bibir mengerucut. Kuliah PPG daring merampok kebahagiaannya. Bersyukur pada Tuhan, istriku sudah kembali pada jati dirinya.

#cerpen

#sekedar berbagi

#bar Setu Minggu, bar nangis ngguyu

#no ujub, no riya