
Amplop Biru
Kukayuh sepedaku lebih cepat. Perkirku, tidak sampai lima menit aku sudah akan sampai di rumah kos. Benar saja. Adzan Maghrib terdengar berkumandang dari mushola samping rumah kos ketika aku memarkir sepeda ontelku di garasi. Tepatnya gudang bukan garasi, karena selain beberapa sepeda milik kami anak-anak kos, ada juga barang-barang milik bapak kos yang jarang dipakai. Segera aku letakkan barang bawaanku. Sedikit berkeringat itu sudah pasti, karena jarak rumahku ke kos hampir 40 kilometer. Lelah juga terasa, tapi semua harus diatasi. Setelah agak reda keringatku, aku bergegas mengambil air wudhu agar tidak ketinggalan jamaah. Nurma tetangga kamarku sudah menungguku.
Sepulang dari mushola, aku membongkar barang yang kubawa dari rumah. Yang pertama kuambil dari ranselku adalah bungkusan berisi makanan kecil yang akan kutitipkan ke warung ibu kos dan 2 warung tentangga kos. Ya, seminggu sekali aku menyetor makanan ringan yang kuambil dari tetanggaku yang punya usaha kecil. Orang menyebutnya slondok , terbuat dari singkong. Makanan yang menjadi ciri khas kampung halamanku. Tak banyak yang kubawa. Hanya 3 kg yang sudah kupilah untuk 3 warung dan terbungkus kemasan kecil eceran anak kos. Lumayanlah buat tambahan uang saku dan uang foto kopi. Kebutuhan utama mahasiswa waktu itu adalah foto kopi materi kuliah.
Segera kuantar daganganku ke tiga warung langgananku itu yang akan diganti dengan uang hasil penjualan dagangnku minggu lalu. Kadang habis, kadang masih ada sedikit sisa. Begitu seterusnya. Kubongkar juga bekal sayuran hasil kebun yang sudah dipetikkaan ibu untukku. Ini juga menghemat uang saku yang memang terlalu terbatas. Dengan sayuran itu kami sekos berempat ; aku, Nadia, Nurma dan Trisna akan memasak sendiri makanan kami agar bisa berhemat. Teman-temanku itu juga membawa bahan sayuran mentah dari rumah mereka. Ada beras dan telor asin juga yang dibekalkan untukku. Cukup buat seminggu. Kami masak nasi dan sayur bergiliran sesuai jadwal yang disepakati . Senin dan Kamis kami semua puasa kecuali sedang ada tamu bulanan. Tidak ada aktifitas di dapur kos kami yang masih menggunakan kompor minyak di hari itu. Yah begtulah nasib anak kos dengan serba keterbatasan. Tapi itu tak mengurangi semangat kami untuk mencari ilmu.
Kulihat jadwal kuliahku . Jam pertama hari Senin ada mata kuliah Cross Cultural Understanding. Matakuliah yang paling disukai mahasiswa di kelasku. Bukan saja karena si cantik Miss Irene , penutur asli dari negara Paman Sam yang mengajar, tetapi juga karena materi kuliah yang menarik membuat kami merasa tertantang. Kelas CCU selalu hidup dan banyak diskusi. Kusiapkan buku-buku dan ringkasanku yang terkait mata kuliah itu. Kulihat lagi jadwalku. Jam kedua dan ketiga tidak ada kelas. Artinya dari jam 9 sampai masuk lagi pukul 1 siang aku kosong jam. Biasanya kugunakn untuk mojok mengerjakan tugas di perpustakaan pusat. Aku harus masuk lagi pukul satu siang dengan mata kuliah paling sulit menurutku. Linguistics. Pengampunya dosen paling killer di kampusku. Tak tahulah. Sebenarnya mata kuliah ini menarik dipelajari. Yang membuatnya menjadi momok adalah anggapan kami yang terbawa ketakutan dengan dosen.
Senin pagi aku melenggang hanya berdua dengan Trisna ke kampus. Dua teman kosku yang lain masuk jam 9. Kami berempat kuliah di kampus yang sama dengan empat jurusan yang berbeda. Aku dan Nurma satu SMA. Nurma dan Nadia satu fakultas beda jurusan. Kami akrab dan saling membantu. Itulah iklim kekeluargaan yang aku suka dan membuat kami berempat krasan bersama-sama. Aku dan Trisna berpisah di depan masjid kampus. Aku ke kanan dan Trisna lurus. Belum banyak yang datang waktu aku masuk ruang kuliah. Sedikit menyapa yang sudah di dalam, kuambil tempat duduk nomor 2 dari depan. Kursi terdepan sudah semua terisi. Belum lagi duduk , Ikhwan menyodorkan buku catatanku yang dipinjamnya Sabtu lalu.
“Nih bukumu. Trims ya. Catatanmu rapi juga. Tapi ada sedikit yang terlewat dan sudah kutambahkan.” begitu katanya.
“ Oke, makasih ya. Sedikit ngantuk biasalah ada yang kurang. Betewe, trims juga sudah dilengkapi. “ jawabku.
Anak itu mengambil kursi di sebelahku. Pukul tujuh kurang lima menit Miss Irene masuk ruangan. Dengan gaya khasnya yang murah senyum dan lincah, dia menyapa kami. Menariknya dari mata kuliah ini, kami jadi memiliki pemahaman lintas budaya dan cara menyikapi perbedaan budaya kami dan budaya mereka si Empunya bahasa. Pengetahuan ini sangat diperlukan bagi mahasiswa yang mau melanjutkan studi ke luar negeri , ingin bekerja atau sekedar berwisata. Semua dikemas dengan cara yang menarik oleh Irene. Hampir dua jam tak terasa kelas berakhir. Begitulah ketika kita senang. Waktu jadi terasa begitu singkat. Itu yang harus kami ciptakan di kelas ketika sudah mengajar kelak. Menjadikan kelas hidup dan tidak membosankan.
Kukemasi buku dan alat tulisku. Ada sesuatu yang hampir terjatuh dari sela-sela buku catatanku yang dipinjam Ikhwan. Amplop. Amplop apaan? Ikhwan yang masih duduk di sebelahku memahami keherananku.
“Sudah, baca nanti di rumah. Atau mau ke perpus bareng aku?” tanyanya.
Perasaan tidak enak karena penasaran membuatku tercengang. Tapi kubiarkan rasa penasaran berkecamuk sampai ada kesempatan membuka amplop warna biru muda itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Waduh, jadi ingat lagunya Iwan Fals, Budhe. Buku ini aku pinjam. Dilanjutkan ceritanya, lho. Tak tunggu pokokmen...
Hehehe... gaya lama. Anak sekarang gak kenal model begitu ya jeng. Oke, ada lanjutannya ya. Ditunggu aja.
Asik ceritanya
Manarik ulasannya bu
Teri.akasih bu Elva. Masih tetus belajar. Terimakasih sudah singgah. Salam litetasi bu
Keren ceritanya. Duh ikhwan itu,,, amplop biru itu... mantap bunda
Belum model hp bun. Terimakasih apresiasinya. Sukses buat bunda cantik