Menghapus Stigma "Bela" Suku Lauje
(Catatan Ditengah Euforia Peringatan 74 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia)
Suku Lauje adalah suku yang banyak mendiami wilayah kecamatan Tinombo, Palasa, Tomini dan sebagian Mepanga, kabupaten Parigi Moutong. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa suku Lauje juga mendiami wilayah Tolitoli. Ditinjau dari wilayah geografis, suku ini terbagi dua. Suku Lauje yang mendiami dataran rendah (penulis memberi nama: suku Lauje Luar) dan yang hidup di dataran tinggi atau pegunungan (suku Lauje Dalam).
Umumnya, suku Lauje Luar memiliki taraf hidup yang lebih maju dibanding suku Lauje Dalam. Suku Lauje Luar memiliki akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Sementara suku Lauje Dalam relatif masih terbelakang. Mereka akrab dengan alam. Meskipun sebagian sudah memeluk agama kristen dan islam, tetapi masih memegang kuat tradisi nenek moyang mereka. Sebagian lainnya masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Untuk menyambung hidup, suku Lauje Dalam masih bergantung dari hasil hutan, seperti damar, rotan, kayu manis, umbi hutan, dan lain-lain. Tidak heran jika tempat tinggal mereka berpindah-pindah. Bila hutan di sekitar mereka tidak lagi memberi hasil, maka mereka segera angkat kaki ke tempat lain. Selain itu, mereka akan meninggalkan rumah jika ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka beranggapan orang meninggal bisa mendatangkan bala berupa penyakit.
Penduduk yang hidup di dataran rendah memberi sebutan untuk suku Lauje Dalam dengan istilah to bela (orang bela). Sebutan “bela” ternyata memiliki pengertian yang berbeda bagi masing-masing suku yang mendiami daratan rendah dan di pegunungan. Bagi suku di dataran rendah, “bela” diartikan sebagai orang yang terbelakang (suku terasing).
Sedangkan bagi suku Lauje Dalam yang hidup di pegunungan, “bela” bermakna keluarga, saudara, teman, atau sahabat.
Penulis teringat masa-masa kuliah. Ketika liburan panjang tiba, sering dimanfaatkan untuk mudik. Setahun baru berjumpa dengan orang Lauje Dalam. Biasanya mereka selalu menyapa penulis dengan sapaan akrab, “diapa inito hi bela” (baru kelihatan lagi, kawan). Sapaan “bela” adalah sebuah penghargaan tulus dari suku Lauje Dalam untuk orang lain.
Sayangnya, sebutan “bela” masih merupakan stigma yang sampai hari ini masih melekat kuat di kalangan masyarakat di luar suku Lauje Dalam. Labeling “bela” yang salah kepada suku Lauje Dalam tanpa sadar justru membatasi bahkan menghalangi upaya untuk menaikan harkat dan martabat mereka.
Stigma “bela” merupakan bentuk penjajahan yang menempatkan mereka pada posisi yang tertinggal. Bagi suku Lauje Dalam akan merasa terjajah secara psikologi. Mereka dipasung dengan cara berpikir yang keliru, bahwa orang-orang di luar mereka selalu lebih pandai, lebih hebat, dan terhomat. Sebutan “bela” sebagai stigma selayaknya dihilangkan dari mindset orang-orang luar. Tidak memandang to bela sebagai orang yang terbelakang dalam peradaban atau tertinggal secara ekonomi.
Pemerintah daerah sudah berupaya menaikkan taraf hidup mereka. Melalui program relokasi tempat tinggal mereka dengan cara membangun pemukiman yang mudah diakses. Diberikan sebidang tanah untuk pertanian mereka. Tak lupa pula kemudahan dalam akses pendidikan dan kesehatan. Namun, upaya pemerintah sering menemui jalan buntu. Sebagian besar suku Lauje Dalam lebih memilih kembali ke hutan.
Kegagalan program pemerintah dalam upaya menaikan taraf hidup suku Lauje Dalam, menurut hemat penulis, disebabkan oleh pendekatan yang kurang tepat sasaran. Pendekatan yang dilakukan lebih didasarkan pada narasi “bela” sebagai stigma, yakni narasi kemiskinan, ketidakberdayaan atau kebodohan. Tak pelak lagi, program yang dicanangkan pun berupa program pengentasan kemiskinan, perbaikan taraf hidup, atau pemberantasan aksara. Padahal narasi “bela” adalah narasi kearifan lokal. Narasi “bela” lahir dari rahim komunitas suku lauje asli yang sejak lama bersahabat dengan alam.
Seyogianya pendekatan pembangunan “memanusiakan” suku Lauje Dalam diarahkan pada narasi “bela” sebagai simbol kekuatan kearifan lokal yang penuh dengan kekeluargaan, persaudaraan dan persahabatan.
Narasi “bela” yang sudah mengakar dan tertancap kuat di relung hati mereka menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk melahirkan proyek-proyek semacam pengentasan kemiskinan, perbaikan taraf hidup, atau pemberantasan aksara.
Menghapus stigma “bela” yang juga melekat erat dibenak suku Lauje Luar atau non lauje bukan pekerjaan yang ringan. Pun melarang menggunakan sebutan “to bela” dan menggantinya dengan sebutan “suku lauje dalam” atau “suku lauje asli” tidak akan menyelesaikan masalah. Sepatutnya pemerintah memberi ruang untuk bangkitnya simbol-simbol “bela”melalui literasi budaya. Setidaknya dimulai dari hal yang sederhana.
Menggaungkan makna “bela” sebagai bentuk kekeluargaan, persaudaraan, atau persahabatan patut dicoba. Sebagai contoh, membuat jargon, “Li ite jojo to nu bela” (kita semua bersaudara) dalam berbagai acara atau kegiatan mulai dari tingkat dusun, desa atau kelurahan, kecamatan sampai dengan pemerintah daerah. Memberi nama fasilitas umum dengan mencantumkan kata “bela”, misalnya Gedung Pogombo’u Bela (bisa diartikan sebagai gedung pertemuan dalam suasana persaudaraan), Sekolah Bela Mapande (sekolah sahabat pintar), Puskesmas Bela Mesehat (puskesmas sahabat sehat), dan sebagainya.
Program menjauhkan mereka dari habitat hidup mereka bukanlah tindakan yang bijak seperti yang selama ini dilakukan. Tentu saja program relokasi di beberapa tempat ada yang berhasil. Tetapi tidak sedikit yang mangkrak. Berhasil pada program fisik tetapi gagal membangun paradigma “bela”.
Mereka yang mulai tersentuh oleh pendidikan dan bergaul dengan suku Lauje Luar atau non Lauje mudah terpengaruh. Mereka pun ikut-ikutan memaknai “bela” sebagai stigma. Mereka menolak disebut “bela”. Tentu saja ini tidak kondusif. Bisa memicu terjadinya friksi, baik sesama suku Lauje Dalam maupun dengan suku Lauje Luar atau non Lauje.
Saatnya program pembangunan fisik seperti fasilitas perumahan, pendidikan, kesehatan, pertanian, atau sarana ibadah ditempatkan di lingkungan habitat mereka. Memang tidaklah mudah. Mengingat tempat tinggal mereka yang selalu berpindah-pindah, akibat dari ketiadaan skill bertani. Program pembangunan fisik disarankan juga berbarengan dengan program penguatan life skill suku Lauje Dalam.
Ditengah euforia perayaan 74 tahun Indonesia merdeka, kita masih menyaksikan sebagian rakyat Indonesia belum keluar dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Peringatan HUT ke-74 Republik Indonesia sejatinya menjadi momentum untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Waullahu a’lam bisshawab.
*)Penulis adalah guru kimia di SMAN Madani Palu. Suku Lauje asal Bobalo Kabupaten Parigi-Moutong.
Dimuat di Harian Radar Sulteng, Rabu 22 Agustus 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar