ARMAN, S.Pd, M.Pd

ARMAN, S.Pd, M.Pd. lahir di desa Kabiraan Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. Provinsi Sulawesi Barat. Tepatnya pada tanggal 15 Maret 1978, putra dari pasangan...

Selengkapnya
Navigasi Web

MENDIDIK KARAKTER DENGAN FILOSOFI KOBOI

MENDIDIK KARAKTER DENGAN FILOSOFI KOBOI

Oleh : Arman, S.Pd, M.Pd (Guru SMAN 3 Majene)

Karakter tidak dapat diperoleh dengan mudah dalam kesenyapan,

Ia hanya dapat diperoleh dari pengalaman, ujian dan penderitaan

yang memperteguh jiwa dan membersihkan visi

(Hellen Keller)

Menakar tentang pendidikan karakter dalam dunia pendidikan sejatinya terkait langsung dengan kehakikian sebagai seorang manusia. Mengapa tidak, potensi karakter yang baik sebenarnya telah dimiliki oleh seorang manusia sebelum dilahirkan. Dalam pandangan Islam, ini sesuai dengan hakikat penciptaan manusia oleh Allah ke muka bumi. Bukankah manusia terlahir ke dunia dengan diawali dengan perjanjian manusia terhadap Tuhannya (QS. Al-Araf 7:172) yang artinya : Bukankah Aku ini Tuhanmu? Maka manusia menjawab, betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. Dari firman Allah tersebut sudah sangat jelas bahwa perjanjian antara manusia dengan Tuhannya sudah dimulai sejak ia dilahirkan ke bumi. Hal ini berarti bahwa potensi kebaikan sudah ada dalam diri manusia sejak pertama kali dilahirkan ke dunia.

Menurut Muchlas Samani (2010), pendidikan seharusnya diarahkan untuk membekali anak didik agar dapat sukses dalam menghadapi problema kehidupan yang beraneka ragam. Lebih jauh dikemukakan bahwa arah pendidikan seperti itu disebut sebagai pendidikan berbasis luas (broad basic education) dimana arah pendidikan tersebut diutamakan pada kemampuan anak meraih sukses kehidupan dengan berbagai dimensinya dan bukan sekedar nilai bagus dalam ijazah.

Dikebanyakan kelurga target pencapaian pendidikan karakter tampaknya baru hanya sebatas perintah yang memaksa, yang harus dituruti oleh anak, dan belum ada aktifitas nyata dalam menjabarkan budaya yang berkarakter dalam kehidupan berkeluarga. Orangtua baru pada taraf menyatakan keinginan agar siswa menunjukkan perilaku beradab, santun, dan berbudi, tetapi kita belum melakukan sesuatu untuk membantu anak berproses kepada pencapaian keinginan tersebut. Yang kita lakukan hanya menuliskan target, menyampaikan keanak perilaku yang diharapkan, serta ancaman yang akan mereka terima jika tidak bisa menunjukkan perilaku tersebut

Pendidikan karakter dalam keluarga sangat memegang peranan penting bagaimana anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan tabiatnya. Artinya bahwa, karakter anak akan tumbuh dengan baik, apabila peranan orangtua dan orang-orang yang ada disekelilingnya mau dan mampu serta dapat memahami arah dan kemauan anak tersebut. Mendidik karakter anak zaman sekarang, dibutuhkan kesabaran. Membahas tentang kesabaran dalam mendidik karakter anak, saya teringat sebuah tulisan oleh Lou Anne Johnsons yang menyebutkan salah seorang profesor dari mexico. Dia bernama Craig Cameron. Dia adalah seorang sang “profesor koboi”. Dia digelari dengan profesor koboi karena kesabarannya mendidik kuda-kuda liar yang dipeliharanya. Bagaimana dengan kesabarannya tersebut dia mendidik kuda-kuda liar tersebut menjadi jinak dan patuh pada perintah tuannya.

Istilah filosofi koboi lahir dari seorang Lou Anne Johnson yang terinspirasi dari seorang yang bernama Craig Cameron dari Mexico. Lou Anne Johnson (2009) mengemukakan bahwa, menjinakkan murid-murid liar sama dengan mengendalikan kuda-kuda liar. Lebih lanjut Lou Anne Johnsons mengemukakan bahwa seorang Cameron bekerja dengan dua kuda liar di sore hari, dimana kuda yang satu belum pernah dinaiki sama sekali dan kuda satunya lagi menolak dengan keras ketika hendak dipasangi sadel. Lou Anne Johnsons dalam ceritanya, menguraikan bahwa pada dua kondisi tersebut, Cameron mampu menaiki dan mengendalikan kedua kuda tersebut selama satu jam, tanpa pernah meninggikan suaranya ataupun menggunakan kekerasan sama sekali.

Dalam praktek menaklukkan kedua kuda liar tersebut, Cameron berkata pada semua orang yang berkumpul di arena kuda tempatnya bekerja, “hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah menganalisis jiwa setiap kuda, saya total dalam mengerjakannya sehingga saya dapat memanfaatkannya, saya ingin menghubungkan kuda tersebut dengan tingkatannya sendiri dan dengan jadwal waktunya. Jika anda ingin seekor kuda yang mempunyai perilaku baik, anda tidak dapat memaksakan segala sesuatu kepadanya, anda harus memberinya waktu untuk membaca apa yang sebenarnya anda ingin lakukan.” (Lou Anne Johnsons; 2009).

Dalam menaklukkan kuda liar tersebut, Cameron mengambil sebuah alas sadel dan berjalan menuju kuda yang ingin dia taklukkan. Kuda itu memandang alas itu dan berlari kearah yang berlawanan (persis seperti siswa kita yang melarikan diri dari pelajaran-pelajaran yang sulit dan aturan yang mengikatnya). Alih-alih mengejar kuda itu atau mencoba memojokannya, Cameron tetap saja berdiri dan menunggu sampai si kuda tersebut berhenti berlari dan karena rasa ingin tahunya, si kuda akan mendekat ke arah alas tersebut untuk mencari tahu. Cameron membiarkan kuda tersebut mengendus dan menggigit alas itu, kemudian dia menyapukannya dengan lembut alas itu kekaki dan perut si kuda itu, sebelum memasangnya dipunggung kuda tersebut. Tiba-tiba si kuda menendang alas tersebut dan berlari. Cameron mengambil alas itu dan menunggu sampai si kuda itu kembali lagi. Puas karena merasa tidak ada bahaya lagi, si kuda akhirnya berdiri tenang dan menerima alas itu dan dipasang dipunggungnya.(Lou Anne Johnsons;2009).

Deskripsi tersebut di atas, dapat diargumentasikan bahwa, bisa saja si kuda tersebut dikejar dan dipasang secara paksa alas tersebut di punggungnya, tetapi kuda tersebut pasti akan memberikan perlawanan dan penghindaran sama seperti yang dilakukan si kuda di awal tadi. Deskripsi pengalaman Cameron tersebut di atas, mungkin kita dapat membawa ruang berfikir kita pada keluarga kita sendiri. Anak-anak kita diibaratkan sama dengan kuda. Ketika jiwa mereka menolak terhadap sebuah aturan, perintah, pelajaran dan pelanggaran yang lain, kemudian memaksanya melakukan tindakan sesuai dengan yang kita inginkan maka otomatis jiwa mereka telah dipatahkan, kepribadian mereka dikungkung oleh seperangkat tindakan kita dengan metode pemaksaan. Yang pada akhirnya akan melahirkan jiwa-jiwa pemberontak, pribadi yang mall adjusted , pribadi yang liar dan melahirkan segala macam tindakan negatif. Lebih fatal lagi, ketika jiwa yang menolak tadi, melahirkan tindakan kekerasan untuk mengamankan dan menghalau diri siswa sendiri ke zona yang nyaman bagi jiwa dan kepribadiannya

Kesimpulan yang dapat diambil, pertama, bahwa mendidik karakter pada dasarnya lebih menekankan pada proses habituasi, yaitu pengkondisian, pembiasaan, pelatihan, pembimbingan dan pemberian contoh dengan cara yang berkarakter.

Kedua, mendidik karakter anak harus melibatkan seluruh aspek dan fungsi kerja otak, fungsi emosi dan psikomotorik. Ketiga, tindak kekerasan yang terjadi dalam satu keluarga menandaskan bahwa masih belum adanya regulasi yang tepat yang dikeluarkan oleh pemerintah, kemudian belum sempurnanya cara pendidikan karakter yang dilakukan oleh seorang orangtua.

Penulis berharap bahwa dalam mendidik karakter diperlukan keterlibatan semua pihak dalam mencetuskan sebuah terobosan baru untuk mendidik karakter anak. Terobosan tersebut dapat berasal dari pemangku kepentingan, para tokoh pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua steak holder dalam dunia pendidikan, terlebih orangtua dirumah sebagai peletak dasar karakter anak untuk pertama kalinya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sedap nian nih tulisan

17 Jun
Balas

Thanks pak eko atas spiritnya, semoga dapat ngebut untuk prgram satu guru satu buku.

17 Jun

Keren pak. Jadi koboi kita, Ayo!

16 Jun
Balas

Begitulah seharusnya seorang pendidik. Di sekolah atau mungkin di negeri ini, menurut saya, yang menjadi tantangan adalah melahirkan pendidik yang mau mendidik dengan cara seperti itu. Tidak semua orang tua mau belajar, bahkan mahasiswa FKIP sekalipun tidak semua benar-benar ingin belajar ilmu pendidikan, pun guru di sekolah pun tidak semua menanggap hal itu penting.

19 Jun
Balas

mantap pak arman

16 Jun
Balas

Thanks pak...

16 Jun



search

New Post