Bapak Darimana?”

“Dari bekasi, Pak”

“Kalau Bapak, darimana?”

“Dari Sulawesi Barat pak”

“Kalau Bapak darimana?”

“Dari Majalengka”

Dialog tersebut di atas, adalah isi dialog pertama diantara peserta Bimtek Literasi Penulisan Buku di Bogor. Kalimat itu-itu saja yang berputar dan berkutat di seluruh peserta yang baru tiba di hotel tempat kegiatan dilaksanakan. Darimana…? dari ini…!, darimana…?, dari daerah ini…! bertugas dimana…? sekolah ini…!. Itulah kalimat yang saya dengar di hari pertama kegiatan.

Kata darimana itu pulalah yang membuat ronah muka saya memerah dan tertunduk malu. Mengapa tidak, karena kebiasaan saya, disetiap ada kegiatan, saya selalu membawa surat undangan kegiatan beserta lampiran nama-nama peserta kegiatan. Setiap saya bertemu dengan seseorang yang tampangnya seperti peserta, atau setiap peserta yang berkenalan dengan saya, saya memberikan tanda di lampiran undangan tersebut, dengan maksud supaya saya gampang menyapa nantinya.

Biasanya sih sangat jelas terlihat kalau seseorang tersebut adalah peserta kegiatan, apalagi kalau peserta itu berasal dari daerah, seperti saya yang berasal dari daerah. Biasanya sih peserta dari daerah itu yah, matanya liar, memelototin orang, memandangi orang yang hadir dan ada disekelilingnya seolah memasang muka curiga atau ketakutan, namanya juga orang daerah masuk kota.

Sampai seseorang masuk di hotel Arch. Mata yang sedikit mengantuk, dan rasa letih terlihat jelas pada dirinya menghampiri meja petugas hotel, kemudian bertanya “panitianya mana yah, jam segini belum ada panitianya”. Nyelonong aja ini Bapak, saya saja yang lebih dulu hadir, ngga seperti itu, guman saya dalam hati. Tidak lama kemudian dia menyuruh saya mengambil gambar dengan memakai handphonnya. Setelah itu dia mengambil posisi duduk tidak jauh dari saya. Ini kesempatan saya bertanya pada orang tersebut. Bapak darimana yah? Dari Surabaya jawabnya singkat, sambil memainkan handphonnya seolah-olah enggan untuk menjawab. Sesekali matanya tertutup, mungkin mengantuk atau capai menempuh perjalanan jauh dari Surabaya. Tiba-tiba bapak tersebut, balik bertanya kepada saya, Bapak darimana?, “saya dari Sulawesi Barat” jawab saya singkat. Oh Mamuju-kan, saya pernah ke Mamuju, ngeri kalau saya ingat, Mamuju itu katanya singkatan dari maju mundur jurang. Spontan dia menjawab seolah kaget mendengar kata Sulawesi Barat. Saya dari Majene pak tetangga dari Mamuju.

Sayapun mengambil undangan beserta lampiran tersebut dengan maksud untuk menandai bahwa bertambah lagi peserta dari Surabaya. Dengan suara yang sopan saya bertanya, “Bapak dari SMA atau SMK, bapak guru penjas atau guru BK yah”, sambil saya melihat satu persatu nama-nama yang ada di lampiran tersebut. Tiba-tiba bapak tersebut menjawab, saya eko, narasumber. Astaga, dengan muka merah saya menutup dan melipat kembali undangan tersebut dan tertunduk malu,

Tetapi dibalik rasa kaget dan sedikit malu tersebut, terselip rasa bangga dan senang. Saya telah bertemu dan bertatap muka langsung dengan orang-orang yang kelak akan mengantarkan dan mewujudkan impian saya akan terbitnya sebuah buku karangan sendiri. Dalam hati saya mengucap syukur kepada Tuhan sembari melihat orang tersebut yang tidak lain adalah mas Eko Prasetyo yang sudah terlelap tidur di sofa hotel.