Artha Kristanti

Mengajar di SMPN 5 Yogyakarta, salah satu keberuntunganku. Ditengah tengah siswa cerdas, membuat aku tidak boleh berhenti belajar dan berinovasi. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
ANAK KOST

ANAK KOST

ANAK KOST

Ibu, bagaimana kabarnya? Spontan aku menoleh. Tepat dibelakangku ada seorang pemuda gagah, menggunakan baju seragam salahnsatu sekolah tinggi kedinasan. Sangat gagah,dengan wajah yang tampan. Aku kira dia salah satu orang tua siswa yang akan menjemput anaknya. Kutebarkan senyum dan ku jawab:“Kabar saya baik”. Kutanyakan akan menjemput siapa, kelas berapa. Dengan sigap aku tawarkan untuk mengantar ke kelasnya. “ Ibu, saya Fariz anak ibu yang lulus tahun 2010” kata pemuda gagah itu sambil mencium tanganku. Ingin rasanya kupeluk dia, sambil sekuat tenaga aku tahan airmata bahagiaku. “ Mas, kamu kuliah dimana?”, tanyaku. Dengan bangga dia ceritakan dimana dia menuntut ilmu. Tak kusangka Fariz, siswaku yang “istimewa” itu bisa kuliah ditempat yang membanggakan. Terimakasih Tuhan , Kasihmu kembali Kau tunjukkan.

Fariz salah satu siswaku yang “istimewa”. Aku jadi wali kelasnya saat dia ada di kelas terakhir. Artinya aku harus berjuang saat itu agar nilai UN nya bisa menjadi bekal mencari SMA terbaik. Disekolahku ada program pendalaman materi yang bernama Galawidyatama. Di dalam program itu siswa dibagi sepuluh kelas berdasarkan ranking nilai tes penempatan/ nilai Gladiwidyatama/ nilai Tes Pendalaman Materi (TPM). Artinya siswaku akan terpencar di sepuluh kelas gala sesuai nilainya. Disamping Galawidyatama, sekolahku juga mempunyai program Gladiwidyatama. Program ini sejenis tryout untuk mengetahi sejauh mana daya serap mereka terhadap materi galawidyatama. Berdasarkan pengalaman , siswa yang berkali-kali ada di atas kelas gala sepuluh biasanya nilai UN tidak memuaskan. Akibatnya mereka tidak bisa masuk di tiga sekolah terbaik di kotaku. Fariz salah satu dari mereka. Kelas galanya tidak pernah keluar dari gala sepuluh.

“Mas, sore ini kamu akan belajar mulai jam berapa” : aku tulis pesen SMS ke nomor HP Fariz. “J 5 set 7”: terbaca balasannya di layar HP ku. Kembali kutanyakan akan belajar apa, dan dia menjelaskan materi apa yag akan dipelajari. Itulah sarana aku mendampinginya. Setiap dia akan menempuh gladiwidyatama, maupaun tes pendalama materi (TPM) tingkat kota maupaun provinsi, aku selalu pantau belajarnya. Tetapi lama-lama aku heran, kenapa tidak ada perkembangan yang membaik. Kelas galanya tidak pernah keluar dari gala sepuluh. Ada apa dengan Fariz, aku mulai penasaran.

Siang itu nilai TPM tingkat kota di bagikan. Langsung kulihat nilai Fariz, Hem..masih ada di ranking 300 an. Artinya dia kembali ada di gala terbawah. Aku sudah tidak tahan lagi. Ku datangi kelasnya, dan kupanggil dia. Kami ngobrol di laboratorium IPA, agar Fariz nyaman. Sepertinya dia sudah tahu, apa tujuanku memanggilnya. Sebelum aku bicara, dia sudah meminta maaf karena nilai TPM tidak bisa maksimal. Aku bertanya kenapa prestasinya tidak juga naik. Dia mulai gelisah dan berusaha menahan diri agar tidak menangis. Berkali kali dia mengela napas, tangannya mengepal. “Mas, ibu tidak marah dengan pencapaian nilaimu”:kataku. Dunia kita tidak runtuh kok, aku menghiburnya. Masih ada waktu dua bulan untuk belajar. Masih ada TPM kota kedua dan TPM provinsi. Dari situ kamu bisa merefleksi sejauh mana persiapanmu menempuh UN. Jangan pernah kuatir ya, Ibu selalu ada untukmu. Fariz menduduk, kulihat punggungnya bergetar. Aku tahu dia menangis. Agar dia tidak malu, aku pamit ke ruang guru sebentar.

Suasana di kelas sembilan makin panas. Semua siswaku haus soal. Berapapun soal yang kuberikan dibabat habis. Aku kadang sampai bertukar soal dengan teman-temanku guru dari sekolah-sekolah top di Indonesai. Dengan begitu siswaku bisa terpuaskan untuk mengerjakan soal. Fariz, tidak demikian. Dia masih belum panas juga. Saat itu mereka sedang mempersiapkan diri untuk menempuh TPM tingkat provinsi. Sambil tetap memantu siswaku yang lain, kembali Fariz jadi fokus utamaku. Aku berminat mengunjungi rumahnya. Aku mencari alamatnya di database sekolah. Ternyata rumahnya tidak jauh dan aku mengenal daerahnya.

Sabtu sore aku bersiap berkunjung ke rumah Fariz. Aku mampir membelikan makan ringan untuk teman belajarnya. Setelah tanya sana sini, akhirnya kutemukan rumahnya. Pintunya tertutup rapat jadi aku ketok kuat-kuat sambi memberi salam. Lama kutunggu, belum ada jawaban, pintu tetap tertutup rapat. Aduh Fariz, kemana kamu, tinggal 3 hari TPM terakhir kamu malah berpergian, batinku. Tiba-tiba ada montor berhenti di depan rumah. Aku lega karena Fariz sudah pulang. Setelah helmnya dicopot ternyata bukan Fariz. Dengan tak sabar aku menanyakan kemana Fariz. Orang itu ternyata pemilik rumah, dan Fariz selama ini hanya mengontrak satu kamar. Aku kaget dengan kondisi itu, anak seusai Fariz sudah harus hidup sendiri . Aku mulai jengkel dengan orang tuanya, kenapa mereka tega? Sepanjang jalan pulang aku tak bisa membendung tangisku. “Mas, maafkan ibu kerena selama ini tidak tahu kondisimu”: ratapku. Aku berjanji lebih memperhatikanmu.

Nilai TPM provinsi sudah dibagikan, kembali aku cari Fariz anakku. Saat melihat nilai aku tidak lagi kecewa, apapun itu sudah lebih dari cukup untuk Fariz yang berjuang setiap hari sendirian. Tiap sore aku tetap mengirimkan SMS untuknya. Hanya itu yang bisa aku lakukan karena tidak mungkin aku menemaninya. Menjelang UN, aku menelepon orang tuanya. Aku meminta agar ibunya bisa menemani di kontrakan selama dia menempuh UN. Setelah bercakap-cakap, ternyata ibunya tidak bisa. Alasanya dia harus bekerja dan saat itu dia juga harus mendampingi adik Fariz yang sedang menempuh ujian akhir di SD. Aku berusaha membujuk agar tetap mau menemani Fariz. Ternyata Ayah Fariz yang akan tinggal dengannya selama UN. Walau tidak sesuai dengan harapanku, tetapi aku sudah sedikit lega. Fariz pasti akan tenang jika ditunggui orang tuannya.

Singkat kata, Nilai UN Fariz tidak bisa maksimal. Dia tidak mungkin diterima di SMA terbaik dikotaku. Aku tahu dia sangat kecewa dan mungkin juga malu. Karena setelah itu dia tidak pernah berani menemuiku. Dari salah satu temannya aku tahu dia masuk di SMA swasta berbasis keagamanan di kotaku. Putus sudah komunikasi dengannya. Sampai siang itu dia khusus menemuiku dengan baju seragamnya. Fariz, ibu tahu kamu ingin menunjukan bahwa kamu sudah berhasil. Bangganya hati ini, melihat salah satu siswa istimewaku sudah sukses. “ Mas , ibu yakin suatu saat kamu akan menjadi salah satu pemimpin di negara kita ini”: doaku dalam hati saat melepasmu meninggalkan sekolahku siang itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sungguh guru yang mulia...

22 Nov
Balas



search

New Post