Artha Kristanti

Mengajar di SMPN 5 Yogyakarta, salah satu keberuntunganku. Ditengah tengah siswa cerdas, membuat aku tidak boleh berhenti belajar dan berinovasi. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Uang Bukan Satu-satunya Alasan

Uang Bukan Satu-satunya Alasan

UANG BUKAN SATU-SATUNYA ALASAN

“Mam, mana guru les privat Fisikanya,”rengek anakku. Sudah berkali-kali anakku meminta les privat. Dia mengeluh kesulitan belajar Fisika. Waupun sudah belajar di bimbel ternama , dia tetap ingin ditemani guru les privat. Sudah beberapa guru Fisika SMA aku hubungi, tetapi tidak ada yang mau memberi les privat. Beberapa guru beralasan tidak membutuhkan tambahan penghasilan karena sudah menerima tunjangan sertifikasi. Aku putus asa karena waktu Ujian Nasional makin dekat dan aku belum juga mendapatkan guru les privat. “Mas, maaf ya, Mama sudah cari tetapi belum dapat,”jelasku perlahan sambil memeluk pundaknya. Aku akhirnya menawarkan mahasiswa PTN terkenal untuk menjadi guru les privatnya. Dengan berat hati dia menerima. Lega rasanya.

Sejak aku menikah, aku memutuskan untuk tidak memberi les privat. Alasan kerena kesibukkan mengasuh kedua buah hatiku. Setelah mereka beranjak dewasa dan sudah mulai dapat mengurus diri sendiri, aku tetap belum mau memberi les. Alasanku sekarang sama dengan guru-guru yang lain, karena sudah menerima tunjangan sertifikasi. Aku tidak lagi membutuhkan penghasilan tambahan. Pengalaman saat aku kesulitan mencari guru privat anakku membuat aku berpikir ulang. Ternyata memberi les privat tidak semata-mata mencari uang. Yang lebih penting dari itu adalah pelayanan sebagai guru untuk membantu siswanya. Aku kembali sadar bahwa uang bukan selalu menjadi alasan.

“Bu, ada tamu,” kata mas Tri laboranku. Aku bergegas meninggalkan setumpuk buku laporan pratikum yang belum selesai kukoreksi. Ada seorang Bapak yang sudah duduk diruang tamu. Dia memperkenalkan diri sebagai wali murid salah satu siswaku. Intinya dia ingin meminta aku memberi les anaknya. Aku tertegun, kembali teringat rengekan anakku. Tekadku aku harus menerima permintaannya. Wajahnya tampak bahagia.”Terimakasih Bu, atas waktunya, semoga menjadi berkah anak saya,” katanya tulus. Ternyata sebelumnya dia sudah diberi tahu banyak orang, kalau aku tidak pernah mau memberi les privat.

Semenjak itu banyak sekali permintaan wali murid untuk memberi les anaknya. Aku harus pandai membagi waktu. Karena walaupun anakku sudah remaja mereka masih tetap membutuhkan perhatianku. Salah satu siswaku yang minta les adalah anak pengusaha terkaya di kotaku. Aku diminta memberi les dua kali seminggu. Sebenarnya aku keberatan, tetapi melihat nilai ulangan IPA nya tidak pernah diatas lima. Aku menyanggupinya. Aku siapkan ringkasan materi dan soal latihan lebih banyak. Aku yakin siswaku tidak bodoh tetapi malas belajar. Kerena kedua orang tuanya sangat sibuk, di bulan pertama aku belum pernah ketemu dengan mereka. Bagiku tak masalah. “Bu, jika nanti akan pulang, manemui saya dulu ya,” kata seoarang perempuan muda. Aku kira dia famili siswaku. Tentu aku menyanggupi. Jam lima aku pamit pulang dan tak lupa mencari perempuan muda tadi. Ternyata dia ada di belakang mesin kasir. Sambil sibuk melayani konsumen, dia bertanya berapa uang yang harus dibayarkan untuk jasa ku memberi les privat. Deg, aku benar-benar tersinggung. Karena aku diam saja, dia langsung mengambil uang dari mesin kasir dan memberikan padaku. Tanpa dimasukan dalam amplop. Aku hampir membuang uang itu di mukanya, tetapi karena tahu ada banyak konsumen yang antri membayar, aku urungkan niat itu. Kuterima uang itu dengan sedih. Sepanjang jalan aku menangis. Muncul rasa marah karena jasaku hanya dihargai dengan lembaran lembaran uang. Sesampai di rumah, aku langsung telepon orang tua siswa itu, intinya aku tersinggung dengan sikap kasir tokonya. Tanpa diduga malam itu mereka datang bersama kasir untuk meminta maaf. Luluh hatiku saat melihat kasir itu beruraian air mata, aku tahu apa yang dia takutkan. Akhirnya aku memaafkan mereka dan akan tetap memberi les privat tetapi dengan syarat kasir tersebut tidak dipecat. Mereka menyanggupi.

“Nak, ajak temanmu untuk les IPA dirumah,” kataku pada salah satu buah hatiku. Inilah kesempatan untuk membuat anakku mau belajar. Aku juga memberi pesan kepadanya bahwa lesnya gratis. Ternyata ada dua sahabatnya yang berminat. Ditambah anak sopir sekolahku dan anak laboranku jadi terkumpul lima anak yang akan les. Tiap hari Rabu, jam empat sore anakku sudah siap. Dia menunggu teman-temannya datang. Aku bahagia melihat dia bersemangat. Nilai ulangan harian dia dan teman-temannya pun meningkat tajam. “ Bu, Aswin semalan cerita, baru kali ini dia memahami materi IPA,” kata laboranku. Dia berterimakasih karena sekarang anaknya makin rajin belajar. Aku kembali bahagia. Uang bukan alasan.

Dikelasku ada lima siswa yang orang tuanya dikatagorikan penduduk miskin sehingga mereka memegang KMS atau Kartu Menuju Sejahtera. Nilai ulangan harian mereka jauh di bawah KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimal. Aku sudah ingatkan untuk belajar lebih keras, tetapi tidak juga ada peningkatan. Akhirnya aku tawari untuk les privat. Mereka terkejut bukan kepalang, aku tahu yang dipikirkan. Segera aku yakinkan bahwa lesnya gratis. Harapanku mereka akan rajin berangkat les. Tetapi ternyata tidak, hanya dua anak yang rutin datang. Aku sedikit kecewa, ternyata tidak semua siswaku mempunyai semangat untuk belajar keras. Walau tidak membayarpun mereka tetap tidak mau belajar. Uang bukan alasan.

“Bu sudah dengar protes orang tua Sekar,”kata Bu Tri salah satu temanku. Dia menjelaskan bahwa Ibunya Sekar baru saja protes karena anaknya masih ikut ulangan perbaikan walau sudah les privat denganku. Seketika panas wajahku, itu tandanya aku marah luar biasa. Sebelum memuncak aku segera ke laboratorium Fisika. Pintu langsung kukunci dari dalam. Aku tenangkan diriku, sambil berdoa terus menerus. Aku sangat kecewa karena jasaku dihargai dengan cara lain. Orang tua Sekar salah jika mengharapkan nilai anaknya otomatis tinggi jika les privat denganku. Menyesal aku memberi les anaknya. Dari awal sudah aku ingatkan bahwa memberi les privat tidak ada hubungannya dengan memberi nilai ulangan. Aku juga ceritakan jika Sekar sulit diajak konsentrasi saat belajar. Tangannya tidak bisa lepas dari pansel pintarnya. Berangsur angsur aku mulai tenang, kuambil ponsel dan mulai menelpon ibunya Sekar. Intinya aku tidak mau disalahkan dengan rendahnya nilai anaknya. Ikut les privat bukan jaminan otomatis mendapat nilai tinggi. Tugasku hanya menemani belajar, jika anaknya tidak juga mau belajar, tentu saja nilaianya akan tetap rendah. Segera aku tutup telponnya sebelum dia sempat memberi alasan. Terbukti uang bukan alasan.

Beberapa tahun kemudian ada gadis cantik mencariku. Ternyata dia adalah Sekar siswaku dulu. Dia baru saja diwisuda di Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi PTN ternama di kotaku. Sambil membawa bunga dia meminta maaf atas kesalahan orang tuanya. Di SMA dia baru sadar bahwa talentanya memang tidak di bidang ilmu eksak. Makanya dulu dia betul-betul tidak paham jika harus belajar IPA. Oleh karena itu dia mengambil juruan IPS dan berhasil menjadi lulusan terbaik di SMA. Prestasinya yang stabil mengantarkannya masuk PTN dengan jalur undangan. Aku peluk dia, sambil mendoakan agar bisa menjadi psikolog handal.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post