Kemudian Bunga Itu Pun Layu
Aku bersepeda di depan rumahmu, berharap bisa bertemu,
atau sekadar mengintip kamu menyiram bunga,
sekadar mencuri dengar senandung kecilmu,
dari balik pagar di bawah langit yang biru segar.
Entah kau tahu, harum semerbak bunga bermekaran di taman hatiku. Hanya itu semata sebagai tanda. Tak ada kata-kata.
Tapi itu dulu, saat kita masih remaja, saat bunga di depan rumahmu, bermekaran setiap pagi, dan saat kupandangi diam-diam, sebelum senja berangkat tua.
Aku ingin melihat senyum dan kerling matamu yang kau kirim malam tadi,
dalam surat bersampul mimpi.
Kini aku tiba di depan teras rumahmu,
di depan pas bunga ros yang layu, tepat sebelum mayat diberangkatkan menuju liang lahat pada satu senja yang basah.
@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar