Asep Nurjamin

Asep Nurjamin lahir di Garut Jawa Barat pada tanggal 16 Maret 1962. Penulis dan pembaca. Sejak tahun 1982 menjadi guru dan pernah mengajar pada hampir semua jen...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kemudian Bunga Itu Pun Layu

Kemudian Bunga Itu Pun Layu

Aku bersepeda di depan rumahmu, berharap bisa bertemu, atau sekadar mengintip kamu menyiram bunga, atau mencuri dengar senandung kecilmu, dari balik pagar di bawah langit yang biru segar. Entah kau tahu, harum semerbak bunga bermekaran di taman hatiku. Hanya itu semata sebagai tanda. Tak ada kata-kata. Tapi itu dulu, saat kita masih muda, saat bunga di depan rumahmu, bermekaran setiap pagi, dan saat kupandangi diam-diam, sebelum senja berangkat tua. Aku ingin melihat senyum dan kerling matamu yang kau kirim malam tadi, dalam surat bersampul mimpi. Kini aku tiba di depan teras rumahmu, di depan pas bunga ros kesukaanmu, yang tunduk layu, tepat sebelum mayat diberangkatkan, menuju liang lahat pada satu senja yang basah. @salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Puisi nan indah, menggelorakan romansa cinta yang terpendam. Rasa yang tertorehkan meski tak bersua, hanya menatap bunga menjadi pelipur rindu yang mendera. Ya, itu dulu. Tapi kini berbeda, bungamu telah layu, seiring kepergian yang takkan pernah pulang. Puisi cinta menyayat hati. Terimakasih, Bapak Asep.

21 Dec
Balas

Komentar yang luar biasa. Saya suka membacanya. Insyaa Allah ini akan jadi motivasi saya untuk menulis lagi. Salam literasi, Bu Sri

22 Dec

Saya pun mengalaminya pak, sang bunga desa memikat hati, kecantikan bak mentari, suaranya laksana siulan burung, seolah dirinya selalu menari dipelupuk mata, melihat rumahnya saja sudah teramat senang, itulah rasa sebagai pengemar berat rasa. Sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah.

21 Dec
Balas

Begitulah, Pak Mulya. Kita punya masa lalu yang penuh romansa kini tinggal kenangan yang mengharukan. Terima kasih atas komentarnya yang sangat menyentuh. Salam literasi

22 Dec



search

New Post