Asep Saefur

Menulis adalah berkomunikasi dengan rasa. Menulis adalah ungkapan rasa tak bertepi. Tak ada batas ruang. Tak ada batas waktu. Menulis adalah berkomunikasi a...

Selengkapnya
Navigasi Web

Menjelang Perhelatan

Keringat dingin menetes di kening. Napas panjangpun terhembus. Ada belenggu menohok dada. Sungguh aku tak tengah memikirkan diriku, yang terbayang hanyalah bagaimana geliat dunia pendidikan ke depan.

Aku sadar akan posisiku yang tak lebih dari sebutir pasir yang terombang ambing gulungan ombak di hamparan pantai. Berteriakpun takan terdengar, berlari sekalipun takan mampu mengejar apa-apa. Namun aku teramat sadar. Aku bukanlah lagi diriku. Aku adalah bagian dari bulir-bulir organisasi. Ada asa yang harus kujelmakan, ada visi yang harus kuwujudkan. Aku adalah hamparan pasir di pantai yang nyaman tuk bermain, bentangan yang indah tuk dipandang.

Seribu mata kini terasa menghujam ulu hatiku. Memandang tajam penuh tanya. Ke mana saja engkau seharian ini? Satu bulan ini? Satu tahun ini? Serasa sejuta tanya itu menerpa benakku ketika satu kegiatanpun tak jua tergelarkan.

Aku sadar kegiatan bukanlah segala-galanya, namun bukankah kegiatan itu cerminan jiwa organisasi? Kami tak bermimpi dengan gelimang puji, kami hanya ingin hadir dalam gerak langkah membangun negeri. Menjadi napas para guru yang tengah terengah-engah merajut asa para siswa. Kami ingin menjadi bahu tempat bersandar para guru yang lelah dengan beribu tuntutan peningkatan mutu.

Dan kini. Aku adalah organisasi, yang tak bisa lagi mengeluhkan aku. Terkadang benakku bicara "dapat apa kamu dari tetes keringat yang kau persembahkan untuk organisasimu?" Namun nuraniku membelaiku mesra. Bukankah dari awal hadirmu di organisasi itu kamu sudah tahu? Maka haruskah kau korbankan organisasimu hanya karena ego tanyamu?

Napasku berpacu deru, ketika sebuah kegiatan tak mampu wujudkan tajuk. Miris rasanya ketika sambutan anggota mencibir kecil. Aku tahu sesungguhnya mereka masih setia, akulah yang tak mampu membaca inginnya beratus anggota.

Aku teringat ketika aku diminta Pa Ketua untuk berdiri di hadapan berpuluh guru. Baru kali ini aku melihat tatapan penuh harap akan terkocornya segudang ilmu dari peluhku. Aku malu. Mereka tak mengenalku, namun mereka begitu berharap banyak atasku. Aku malu karena sesungguhnya aku tak lebih dari mereka.

Di atas podium kini kuberdiri memandang deretan kursi kosong. Kupejamkan mata sejenak. Kurasakan sorot mata peserta yang dahaga akan perubahan. Kurasakan kegalauan hati pemerhati pendidikan yang menggerutu karena pendidikan di Indonesia kurang mutu. Kurasakan jerit guru di depan kelas penuh peluh yang karyanya seakan tak ada harga. Pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal.

Esok organisasiku bertekad mengubah keluh. Tak ada guna, guru berteriak minta dihargai. Fakta bicara guru belum mampu mempersembahkan kebanggaan untuk negeri ini. Tak perlu mengelak dengan sejuta dalih, karna itu takan pernah ada arti.

Esok keluh itu kita ganti dengan langkah nyata. Literasi kata kunci, begitu para pemerhati bicara. Menulis, menulis, menulis adalah tuntutan tersendiri. Literasi tak sebatas membaca, tapi harus diiring menulis.

Kupandangi deretan kursi kosong yang terdiam dalam hening. Bibirku tersenyum. Teringat beberapa rekan guru telah wujudkan buku. Yang lain menebar artikel di majalah dan koran. Tak sedikit yang berkarya lewat media online yang kian menjamur. Geliat literasi telah melangkah jauh di kalangan guru. Menulis telah membawa energi lebih. Inikah awal kemajuan pendidikan Indonesia?

Besok, deretan kursi itu kan terisi. Mereka adalah pejuang-pejuang pencerdas bangsa. Besok mereka kan berlatih menarikan jemari, menuangkan galau yang selama ini mereka pendam akan kasihnya pada anak negri. Biarlah dunia tahu bahwa peluh yang membasahi kening bukanlah hasil sertifikasi. Peluh itu adalah sayang yang tak berhalang. Biarlah dunia tahu, bahwa marahnya seorang guru bukan emosi brutal tanpa etika, marah itu adalah wujud kasih tak bertepi.

Aku jadi teringat guruku yang bercerita demikian bahagianya ketika beliau menceritakan anak didiknya telah menjadi orang terpandang. Padahal aku tak yakin apakah anak didiknya itu masih ingat pada gurunya yang saat itu bercerita bangga atas kesuksesannya.

Spanduk telah terpasang, kursi berjajar rapi. Ruangan untuk pelatihan menulis besok telah siap. Kini seiring langkahku tinggalkan ruangan, diantara hela napas, kupanjatkan sebuah doa, Yaa Allah tak ada hendakku selain memajukan negri ini. Semoga langkah kami ini ada dalam ridho-Mu. Aamin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post