Mengajar di dua tempat hanya karena tuntutan memenuhi kewajiban 24 jam tatap muka, tentu melelahkan. Ingin berteriak, namun nurani membelai rasa bekata lirih "jika kamu lelah maka iklaslah, penatmu akan hilang, semangatmu akan menggebu, namun jika kamu menggerutu maka lelahmu justru akan kian berlipat."

Berpikir cerdas sering kali tertipu dengan berpikir malas. Terkadang memang mencari jalan senang malah terbius dengan upaya bermalas-malas. Menyegerakan pekerjaan bukan agar cepat selesai namun agar cepat beristirahat.

Penat, ternyata bukan lelah terkuras keringat. Penat, adalah jenuh berpikir mengingkari kenyataan. Karena hidup dalam hayalan, bukan hidup dalam kenyataan.

Ingin itu adalah harapan, sebuah cita akan hasil sebuah upaya. Hayal adalah pendustaan atas apa yang ada, sebuah harapan kosong tanpa usaha.

Iklas itu ternyata bukan pasrah. Iklas adalah sebuah kegigihan melawan ketidaksenangan. Gigih dengan upaya terencana yang nyata gerak dan langkahnya. Gigih adalah pengendalian emosi yang hanya berharap pada ridho illahi.

Mengajar di dua tempat walau hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban 24 jam mengajar, ternyata menyenangkan. Semua karena satu kata "iklas".

_sebuah catatan kecil_