Asep Saefur

Menulis adalah berkomunikasi dengan rasa. Menulis adalah ungkapan rasa tak bertepi. Tak ada batas ruang. Tak ada batas waktu. Menulis adalah berkomunikasi a...

Selengkapnya
Navigasi Web
Setiap Guru adalah Idola

Setiap Guru adalah Idola

Mengajar dengan hati. Begitu ungkapan yang sering saya dengar. Saya tidak begitu paham dengan kalimat ini. Pastinya saya tahu arti kalimat itu, tetapi bagaimana melaksanakannya adalah hal yang sulit saya pikirkan. Tidak usah dipikirkan, laksanakan saja apa yang terpikirkan. Itulah suara hati saya kemudian, sehingga hari demi hari pun saya lalui apa adanya tanpa berpikir apakah saya telah mengajar dengan hati atau tidak.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang kewajiban mengajar, saya terpaksa harus menambah jam di sekolah lain alias mengajar di dua sekolah. Sebagai guru tamu yang hadir sebatas memenuhi tuntutan kewajiban 24 jam tatap muka tentunya tak banyak yang bisa saya kerjakan. Tak banyak waktu luang untuk sekedar bercengkrama dengan anak-anak, apalagi membina kegiatan mereka. Tugas saya sebagai guru tamu ya mengajar titik.

Satu semester akhirnya terlampaui sudah. Saya mulai mengajar di semester genap, sehingga di akhir semester langsung berhadapan dengan kenaikan kelas. Di akhir pertemuan di setiap kelas yang saya ajar, saya ajukan beberapa pertanyaan yang sifatnya meminta masukan tentang pelaksanaan KBM selama satu semester yang telah berlalu. Tentang metode, ulangan, penerapan disiplin, sampai pandangan pribadi, kesan dan pesan.

“Bapak mau pindah yah?” beberapa anak mengomentari. Rupanya pertanyaan yang saya ajukan ini terkesan sebagai salam perpisahan.

“Kalian yang akan pindah.” saya jawab dengan senyum. Nampak dari beberapa wajah seakan enggan untuk berpisah, entah apa alasannya.

“Kalian kan akan naik kelas. Bapak belum tentu. Mungkin tetap di kelas sepuluh, atau ikut dengan kalian.”

“Pa, Tuti nangis!” celetuk seorang siswa.

“Tuti ga mau pisah dengan Bapak” celetuk yang lainnya disambut riuh rendah teman lainnya. Saya tersenyum. Saya pikir itu sekedar gurauan mereka. Namun ternyata tidak, Tuti memang menangis. Saya baru sadar ternyata ada juga siswa yang mengidolakan saya.

Satu semester di sekolah kedua tanpa banyak berbuat, ternyata cukup menyimpan makna. Saya akhirnya merenung apa yang sebetulnya telah saya perbuat. Apakah saya telah mengajar dengan hati, sehingga ada siswa ada siswa yang menaruh rasa kagum kepada saya?

Saya bukan guru yang galak walau tak layak disebut guru yang baik. Jarang menegur walau bukan berarti tidak peduli. Saya berpikir dan percaya anak memiliki kepekaan terhadap kesopanan, bukan hanya terhadap kebenaran. Cukup dengan bahasa isyarat, bahasa tubuh, sebetulnya anak mengerti akan maksud kita. Ketika saya bicara dan ada anak yang ngobrol, saya akan diam menghentikan pembicaraan sambil memandang anak-anak yang sedang ngobrol itu. Anak itupun biasanya diam. Setidaknya akan ada temannya yang menegur. Dan selama ini cara yang saya lakukan ini cukup berhasil.

Pernah saya merasa heran dengan sikap anak-anak yang sedemikian rupa memfavoritkan wali kelasnya. Bukan apa-apa, beliau ini guru unik. Sebagai wali kelas beliau seperti tak peduli, bahkan ketika di kelas muncul keributan yang berujung perkelahian dua orang siswinya (perempuan ya), praktis beliau tak melakukan tindakan apapun. Sebagai guru? Minta ampun, ada siswanya yang keluar lewat jendela kelas pun tidak tahu. Tapi beliau sangat dusukai. Baik, dan pintar, kata anak-anak.

Peristiwa menangisnya Tuti yang padahal saya tak begitu mengenalnya (maklum baru satu semester dengan minimnya pertemuan di dalam ataupun di luar kelas) menyadarkan saya bahwa menjadi idola itu tak harus masuk akal.

Setiap guru memang berpotensi besar untuk menjadi idola bagi siswanya dalam kondisi dan alasan apapun. Boleh jadi mereka mengidolakan kita karena mata pelajarannya, cara mengajar kita, penampilan kita, kedekatan kita dengan dia, atau karena ada peristiwa tertentu yang membuat anak itu terkesan, mungkin saja sesuatu yang kita sendiri tidak pernah tahu.

Jangan pernah berpikir guru galak itu tidak memiliki pengagum, guru malas itu tidak memiliki penggemar. Seburuk apapun seorang guru dia tetap berpotensi untuk menjadi guru yang dikagumi dan diidolakan siswanya. Jika setiap guru adalah idola, “apa jadinya ketika seorang guru yang diidolakan siswanya itu menunjukkan sikap prilaku yang tak layak untuk dicontoh?”

Setiap guru adalah idola bagi siswanya. Maka jadilah guru yang baik, guru yang layak jadi idola. Ingat akan selalu ada siswa yang mengidolakan kita. Mengajarlah dengan hati, dengan segala keikhlasan, jangan sebatas menunaikan tugas semata.

(Terima kasih muridku yang telah menyadarkanku akan posisi dan kedudukanku sebagai guru. Seseorang yang pantas dan sepantasnya menjadi idola bagi muridnya.)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post